HANA Aura bosan berada di dalam air sendirian. Tiga kali menyelam menikmati pemandangan terumbu karang yang indah, ternyata tak membuat suasana hatinya jadi lebih baik.
Di atas geladak speedboat, Haikal terlihat sibuk sendiri dengan joran yang tak pernah disentuh seekor ikan pun.
Hana muncul ke permukaan, lalu berenang mendekati speadboat yang mengambang tak jauh dari tempatnya berada. Wanita itu berhasil mencapai dinding speadboat dan melambaikan tangan ke arah suaminya,
"Bantu aku naik, Mas!" seru Hana.
"Sudah, berenangnya?" tanya Haikal sambil menarik tangan istrinya.
Hana mengangguk. Dia sedikit mengayunkan tubuh, untuk membantu dorongan tenaga dari tarikan tangan Haikal.
Hup! Tubuh ramping itu berhasil naik dan mencecahkan kaki ke geladak. Air yang menetes dari tubuhnya membasahi lantai tempatnya berdiri.
Haikal membantu melepaskan pengikat tanki oksigen yang terpasang di kedua bahu istrinya. Tangki oksigen itu di bawanya masuk ke bagian dalam speedboat
"Nih, handuk!" kata Haikal begitu muncul kembali di galadak. Dia menyodorkan handuk lebar berwarna putih tulang pada istrinya.
Hana menerima handuk yang disodorkan Haikal dengan ekspresi datar. "Makasih," katanya. Handuk lebar itu langsung dibalutkan ke tubuhnya yang basah kuyub.
"Kok cepat sekali selesai berenangnya, Sayang. Biasanya kamu tahan berlama-lama di bawah sana?" Pertanyaan Haikal dibalas dengan sebuah kedikan bahu oleh Hana Aura.
Selesai mengeringkan tubuh, wanita cantik itu memilih duduk di buritan.
"Sayang, kok manyun gitu sih?" goda Haikal. Matanya nyalang menatap tubuh seksi istrinya yang hanya mengenakan swimsweet yang begitu lengket ke tubuhnya.
"Biasa aja kok," jawab Hana. Dia sama sekali tak memalingkan wajah saat menjawab pertanyaan itu.
"Kamu cantik dengan posisi begitu," puji Haikal. Sekali lagi diliriknya wanita yang tengah duduk sambil memeluk lutut di buritan.
Swimsweet yang basah dan lengket di tubuh Hana Aura, benar-benar menggoda iman. Sayang sekali, dorongan untuk memeluk tubuh nan menawan itu sirna, begitu melihat ekspresi cemberut di wajah istrinya.
Pandangan mata lelaki itu beralih ke arah joran yang dikaitkannya pada sebuah brakcet di dinding speedboat. Sudah setengah jam lebih, namun tak seekor pun ikan yang tertarik untuk datang dan memakan umpan yang diberikannya.
"Kok sikapnya nesu 'gitu, sih." Pertanyaan Haikal masih tidak berjawab. Hana malah menatap jauh ke laut lepas.
Belakangan sikap Hana memang sering uring-uringan. Apalagi sejak terakhir kali dia bicara lewat video call dengan Sandi Lakaran. Hana sudah kehilangan cara untuk menyelesaikan masalah yang tengah dihadapinya.
Beban pikiran itulah yang membuat Hana sulit untuk bersikap wajar di depan suaminya. Rasa berdosa di tambah lagi dengan rasa kesal karena selalu diabaikan, telah membuat hatinya sering merasa dongkol tanpa sebab.
"Andai saja ada wanita yang baik yang mau kuperistri. Aku bersedia meninggalkan istriku, saat ini juga." Begitu keluhan yang disampaikan Sandi tentang sikap buruk istrinya kepada Hana.
"Bila istriku bisa sepertimu, Han. Aku sepertinya rela menghambakan diri seumur hidup hanya dengan mencintaimu saja." Saat itu Hana terlambung mendengarnya. Tawa Sandi yang menyudahi kalimat itu benar-benar membuat hatinya berbunga-bunga.
Bagaimana tidak, lelaki romantis dan tampan seperti Sandi Lakaran tiba-tiba menyatakan perasaan terdalamnya, justru saat Hana tengah merasa diterlantarkan oleh Haikal suaminya. Gayung itu pun bersambut. Cinta yang telah layu karena merasa terabaikan mulai bermekaran kembali
"Aku mencintaimu Han. Suatu saat nanti, aku ingin mencarimu, memelukmu dan merasakan semua keindahan yang kau miliki." Tulisan itu dibaca Hana, begitu dia membuka whatsappnya di suatu pagi.
Setiap waktu rayuan demi rayuan ditulis dan diucapkan Sandi Lakaran. Hana yang terlambung. Akhirnya dia pun memberanikan diri untuk datang ke acara temu penulis onlen di Anyer waktu itu.
Hana merasa bersalah karena tak mampu menjaga diri. Tak kuat imannya melawan godaan lelaki dunia mayanya itu.
Sandi dan suasana cottage yang sepi, membuat Hana gagal melawan rayuan iblis di kepalanya. Lalu perbuatan terkutuk itupun terjadi.
Sekarang dia mendapat ganjaran dari kesalahan itu. Hana hamil dan Sandi menolak untuk menikahinya.
"Maaf Han, aku tak pernah mencintaimu." Itu adalah kalimat paling buruk yang pernah didengar Hana seumur hidupnya.
Selama ini Hana berfikir, bahwa dosanya bisa sedikit berkurang andai saja Sandi mau memperistrinya. Namun, harapan selalu tak seindah kenyataan.
Hana ikhlas melepas Haikal, demi mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilakukannya. Namun tidak dengan Sandi. Lelaki itu malah menolaknya mentah-mentah.
'Sepertinya aku tak cukup berharga, untuk menggantikan posisi istri yang selama ini telah mengabaikannya?' Hati Hana bagai disayat sembilu, membayangkan isi pikiran Sandi lewat persepsinya sendiri.
Nasi sudah jadi bubur. Sudah tak bisa diperbaiki lagi. Menyesal pun sudah tidak ada gunanya lagi.
Yang bisa dilakukan Hana hanya memelihara kehamilannya hingga bisa melahirkan dengan selamat.
Tapi semua itu tidaklah mudah. Hana tak sanggup berdusta untuk yang kedua kalinya. Perasaan bersalah kian hari kian menggunung dihatinya.
Namun ego di dalam diri wanita itu mendakwa. Kesalahan tak hanya tertuju pada dirinya saja. Hana mencari kambing hitam.
Dia mulai melirik sosok lain sebagai orang paling bertanggungjawab atas semua kekhilafan yang telah dilakukannya.
Andai saja Haikal lebih perhatian kepadanya. Andai saja Haikal tak terlalu workaholic, tentu dia tak akan sampai terperosok sejauh ini.
Mana mungkin hasrat dan gairahnya bisa muncul, bila waktu kemesraan dan kebersamaan saja harus selalu dijadwal lebih dulu.
Kalau pun waktu itu tiba, semangat dan antusiasme Hana yang sudah sirna dan menguap entah kemana. Haikal sering menyindir kalau sudah begitu kejadiannya.
Apakah karena hal itu, hingga tujuh tahun membina rumah tangga bersama Haikal, mereka belum juga dikaruniai seorang anak pun?
***
"YANG ngajak liburan siapa, yang lebih semangat, siapa?" Haikal menyindir Hana, di tengah kesibukannya memancing.
"Hm," jawab istrinya masih acuh.
"Sayang...!" Seru Haikal berusaha menarik perhatian Hana.
"Perasaan yang mengusulkan liburan ini, sayang deh." Haikal membalikkan tubuh. Memperlihatkan dada bidangnya yang telanjang.
Laki-laki itu berdiri, lalu berjalan mendekati istrinya. Wanita cantik itu didekapnya dengan penuh cinta.
"Jangan marah gitu, dong. Meskipun kalau marah Sayang tetap cantik. Tapi, marah-marah tetap saja tak baik untuk kesehatan." Nafas Haikal terasa hangat menyentuh belakang telinga Hana.
"Aku nggak marah kok, cuma kesal aja." Suasana hati Hana masih saja belum berubah.
"Ya, apapun namanya. Memendam amarah dan kekesalan tetap tidak baik. Bukan hanya untuk kesehatanmu, tapi juga untuk kesehatan hubungan kita." Diingatkan begitu, sikap Hana sedikit melunak.
"Kelamaan desposisinya, Mas." Hana dengan wajah masih cemberut akhirnya membuka mulut.
"Jadi ceritanya Sayang lagi ngambek, nih?" Haikal membalikkan tubuh istrinya.
Ditatapnya mata Hana yang tiba-tiba berkabut. "Hei! Ada apa ini, kok Sayang jadi kebawa perasaan, sih?"
Tubuh Hana berguncang dalam dekapannya. Sikap sabar yang diperlihatkan Haikal membuat rasa berdosa yang sejak tadi ditahannya terasa berkali lipat memberati hati Hana.*
~ Happy reading Beib ~