TAK ADA jalan lain. Hanya jalan ini yang dimilikinya. Mengorbankan diri, membohongi hati, karena tak ingin cinta ini memberikan banyak luka lain yang lebih tidak siap akan datangnya perubahan.
Malam menjatuhkan diri dalam balutan gelap. Sandi berharap semua luka dapat tersimpan dengan baik.
Lelaki itu tak sanggup berjanji. Dia juga tak mampu memberikan kata pasti bahkan untuk kenyamanan hati dan hidupnya sendiri.
Adakalanya takdir memiliki tangan yang kejam. Merenggut semua keindahan bahkan untuk sepotong impian yang baru dan begitu manis tereguk.
Sepertinya banyak scene kehidupan yang memang ditakdirkan buruk pada perjalanannya.
Benarkah setiap cobaan yang diberikan bisa membuat jiwa jadi tegar, atau malah terpuruk lebih dalam pada kesengsaraan. *
Hana tak berhasrat lagi melanjutkan pembicaraan itu. Dia memilih mundur. Tak ada gunanya menuntut sesuatu yang mustahil bisa terwujud.
Ternyata hanya sampai di situ saja romansa cinta antara dirinya dengan Sandi Lakaran. Pria yang dikiranya paling romantis se jagad maya.
Sikap Sandi yang berubah seratus delapan puluh derajat membuat Hana geram. Amarah yang tersulut susah payah dipendamnya.
Dia yang terlalu naif dalam memaknai perhatian lelaki itu, hingga dengan mudah terjebak di dalam romansa kepalsuan cinta dunia maya.
Hana memutuskan offline, karena tak mau berlarut-larut di dalam kesedihan dan keputusasaan. Akal sehatnya memerintahkan
Hana untuk tidak berharap lagi.
'Hana, oh Hana. Apa yang telah kau lakukan? Cinta apa yang telah kujalani?' Sesuatu dalam dirinya tiba-tiba mempertanyaan keadaan.
'Apakah benar dalam urusan yang dinamakan cinta, harus selalu bermuara kepada hubungan seks?' Hana tak sanggup menjawab pertanyaan dari akal sehatnya itu.
Dengan galau dia menghempaskan tubuh ke ranjang. Dikatupkannya matanya rapat-rapat.
'Mengapa menangis? Dulu dosa itu kau lakukan dengan penuh keterpesonaan. Sekarang, mengapa kau malah memaknainya dengan tangisan?' Akal sehat dalam diri Hana kembali mengejek apa yang telah terjadi.
'Sejak awal mestinya kamu berfikir. Apa benar hanya seks tujuan dari cinta antara pria dan wanita.' Hati Hana bergetar.
Ingin rasanya lari dari tudigan-tudingan di dalam kepalanya itu. Namun ia tak sanggup mengenyahkan akal sehatnya yang terus saja mendakwa.
'Bukankah cinta dan kasih sayang itu sendiri adalah bentuk lain dari pengorbanan dan penghambaan. Dan seks adalah bentuk penghambaan tertinggi dari dua makhluk yang saling mencintai?' Ego Hana berupaya mencari alibi atas apa yang terjadi.
'Pernyataan bodoh! Kau bahkan mulai mencari-cari pembenaran untuk kesalahanmu sendiri.' Hana malu ditegur sekeras itu oleh akal sehatnya sendiri.
Dia meraih bantal dan membenamkan wajahnya di sana. Hana ingin menghentikan ceracau di kepalanya, tapi usaha itu sia-sia belaka.
Ego Hana yang merasa terusik, kembali mencari cara untuk membenarkan kesalahan
'Tak perlu menjadi wanita picik, seolah tak butuh sentuhan dan belaian. Apa yang telah terjadi adalah hal biasa dalam urusan cinta. Bukankah tanpa seks, cinta hanyalah bualan tanpa makna.' Sebuah analisa yang hampir masuk akal bukan?
Akal sehat segera membantah pernyataan Ego Hana. 'Dasar bodoh! Aku tahu, semua ungkapan kacau-balau yang kau kemukakan, tak lain hanya demi membela 'AKU' dalam dirimu yang terlalu naif dalam memaknai cinta dan kebahagiaan.'
'Mengapa kau tak berani membuka mata dan belajar jujur, untuk melihat segala kepalsuan ini? Mengapa?' tanya akal sehat Hana berang.
Ego Hana tertegun, ia kembali kehilangan cara untuk membela kekeliruan dan kekhilafan itu.
'Tanpa adanya kesadaran akan kepalsuan diri, mana mungkin kau akan menyadari kekeliruan.' Akal sehat bagai tak puas. Ia terus saja mengecam Ego Hana dengan sinis.
Melihat Ego Hana terdiam, akal sehat semakin berani memberi penilaian. 'Mestinya kamu paham bahwa nafsu birahi itu bukanlah cinta. Bahwa cemburu, kecewa, benci, dendam, kesengsaraan, permusuhan, semua ini tidak terkandung dalam cinta."
Ego Hana tak senang mendapat teguran bertubi-tubi seperti itu. 'Cukup!' serunya meradang. Hana gemetar menyadari tak satu pun yang salah dari apa yang dituduhkan akal sehat kepadanya.
Namun ego tetaplah ego, sesalah apapun diri, tetap saja ada alasan yang dikemukakan sebagai alibi untuk membenarkan semua hal yang sudah terjadi.
'Seks bukan sesuatu yang jahat, bukan pula sesuatu yang kotor. Seks itu sesuatu yang indah, yang wajar, dan suci bila dilandasi oleh rasa cinta kasih.' Ego Hana menuturkan perasaan terdalam yang dirasakan Hana Aura saat dia memutuskan menyerah pada rayuan Sandi.
Akal sehat tertawa menyejek. 'Oh, ya!' serunya. 'Lihat sekarang. Kau dicampakkan begitu saja, setelah semua hal yang kau anggap sakral itu terjadi dan membebani kehidupan nyatamu.'
'Lihat apa akibatnya bila menjadikan dirimu sebagai hamba yang terlalu memuja seks. Sesuatu yang murni itu bisa berubah menjadi sesuatu yang amat kotor, yang akan merusak tatanan kehidupanmu sendiri.' Dengan mudah akal sehat mematahkan ego di diri Hana Aura.
Wanita itu membiarkan buliran bening jatuh membasahi permukaan wajahnya. Matanya memandang jauh, mencoba menembus kegelapan malam.
Di antara keheningan, ia masih berharap mendapatkan jawaban dari perseteruan sengit di dalam dirinya.
Hana butuh pemahaman tentang cinta, kasih sayang, hawa nafsu dan kepalsuan, yang berasal dari luar dirinya sendiri.
Namun, mana berani Hana menceritakan rahasia hitam yang telah merusak kesuciannya sebagai seorang wanita sekaligus seorang istri.
Apakah yang terjadi antara dia dan Sandi bukanlah cinta, melainkan hawa nafsu belaka?
Tidak ..., tak mungkin begitu! Cintaku pada Sandi adalah cinta yang suci dan bersih, bisik hati Hana membantah.
Buktinya Hana tak peduli dari mana asal lelaki itu, apa pangkatnya, tampan atau tidak wajahnya.
Sandi adalah kekasih hatinya, belahan jiwanya. Tempatnya melabuhkan kasih-sayang. Padanya Hana pernah bermimpi tentang makna kata hidup bahagia.
Kalau kemudian terjadi sesuatu yang buruk, itu semata-mata karena khilaf dan keliru dari gejolak rasa rindu mereka berdua.
Hana menelan ludah. Dia tak tegar dalam menahan godaan, dan kurang pula memelihara keimanan, sehingga benih cinta kasih jadi salah tersemaikan.
Konsekuensi yang mesti ditanggungnya atas kesalahan tidak main-main. Hana menyesal. Dia jera dan tak mau melakukan kesalahan lain yang lebih fatal.
Lelaki itu dengan lantang mengatakan kalau dia sama sekali tak pernah mencintai Hana. Biarlah ....
Pada kenyataannya, Hana memang tak pernah bisa membenci lelaki itu. Lelaki yang begitu dalam mengukir rasa cinta di hatinya.
Kesalahan tak harus dibalas dengan kesalahan, bukan? Hana Aura bertekad untuk merawat janin di rahimnya baik-baik.
Orang tuanya mungkin bersalah, tapi cikal bayi ini sama sekali tak berdosa, tak mengerti apa-apa. Dia akan tetap terlahir sebagai makhluk lucu dan suci.
Biarlah ayahnya biologisnya tidak mau mengakui dan menerima kehadirannya. Toh, bayi ini masih punya ibu. Ibu yang memiliki kasih sayang yang tak padam ditelan waktu.*
~ Happy reading Beib ~