["KARENA banyak sekali yang akan dikorbankan."] Jarinya ternyata telah menulis sebuah jawaban. Jawaban yang hingga kini pun belum bisa diyakini kebenarannya.
["Bukankah Mas Sandi dan istri sudah tidak cocok lagi? Kalau soal anak-anak, aku toh bersedia menerima dan memperlakukan mereka seperti anak-anakku sendiri."]
Sandi tak langsung membalas jawaban Hana Aura. Kepalanya pening. Dia mencsroll mouse berulang-ulang, sehingga layar laptopnya pun naik turun mengikuti perintah dari mouse yang digenggamnya.
Sandi menghela nafas sebelum menulisi chatting room itu kembali. ["Masalahnya bukan hanya itu, Hana. Kamu dan aku masih mempunyai pasangan yang sah."]
Sandi berhenti mengetik beberapa saat lamanya sebelum melanjutan kembali, ["Anak-anakku juga masih terlalu kecil untuk dipisahkan dari ibu mereka."]
["Apa pun kondisinya, Laura adalah ibu dari anak-anakku. Kalau pun aku sudah kehilangan begitu banyak rasa cintaku padanya, tidak demikian dengan anak-anak."]
["Aku akan memperlakukan mereka seperti anak-anakku sendiri."] Hana masih terus memberi solusi.
Sandi tercengang membacanya. Tiga bulan tidak bertaut, tiba-tiba Hana datang dan mencecarnya dengan topik yang amat berat. Terus terang, Sandi sama sekali tidak siap.
["Hana, engkau adalah wanita yang lembut dan baik hati. Bagiku engkau adalah matahari."] Hana tak menduga Sandi akan menulis kalimat gombalan seperti itu.
[Tetaplah jadi matahari yang bisa menerangi dan memberi kehangatan pada orang-orang di sekitarmu."] Hati wanita itu benar-benar sedih, menyadari kalau Sandi sedang berusaha bermain kata-kata dengannya.
["Maksud Mas Sandi?"] Dia berusaha mengenyahkan pemikiran kalau Sandi sedang berupaya menghindari tanggungjawab.
["Kita memang sama-sama saling mencintai. Tapi bukan hanya aku yang mencintaimu Hana. Suamimu juga."] Ya, Tuhan. Hana menggigil begitu menyadari apa yang dikhawatirkannya akhirnya terjadi.
["Lalu apa masalahnya? Aku siap meninggalkan suamiku kalau Mas bersedia menikahiku."] Hana menulis kalimat pamungkas, untuk saat ini dia bahkan rela merendahkan harga dirinya sendiri.
["Apa kamu benar-benar sudah tidak mencintai suamimu lagi?"] Pertanyaan macam apa itu? Saat ini yang Hana butuhkan adalah pertanggungjawaban, bukan masalah cinta dan semacamnya.
["Ini sama sekali bukan persoalan cinta Mas, tapi ...."] Hana tiba-tiba merasa jengah.
Wanita itu dapat merasakan kalau Sandi tidak benar-benar ingin berempati dengan apa yang tengah dirasakannya.
["Aku harap kamu mengerti, Han. Aku sangat mencintai anak-anak. Aku bahkan ikhlas mengorbankan diri dan rasa cintaku padamu demi mereka."] Kalimat yang ditulis Sandi benar-benar melukai perasaan Hana.
["Hm ..., begitukah?"] Hana terdiam. Sandi pun demikian.
Lelaki itu tidak percaya apa yang barusan dibacanya. Semua begitu mendadak. Semua begitu tiba-tiba.
Mana yang harus dipilihnya?
Laura yang begitu cuek dan selalu mengecewakannya atau Hana yang cantik dan memesona, yang datang menawarkan sebuah jalan keluar untuk semua kesepiannya.
Sandi merasa kepalanya berdenyut. Bila bicara soal cinta, tak perlu dipungkiri. Sandi sudah lama mengalihkan cinta Laura pada Hana.
Sebagai manusia biasa, siapa sih yang tak kepingin memiliki pasangan memikat, tak hanya secara rupa. Sikap dan perlakuan yang lembut yang selalu mampu menentramkan adalah hal paling utama.
Rasa cinta yang dirasakan Sandi pada Hana bukan cinta biasa. Bukan sekedar cinta untuk pelampiasan rasa sepi dari hubungan yang tak harmonis antara dirinya dengan Laura.
Tidak, sama sekali bukan itu. Tapi, bila harus meninggalkan semua yang sudah sekian lama dijalaninya bersama Laura?
Apakah Sandi Lakaran sanggup kehilangan semua yang telah diraihnya selama ini? Bagaimana dengan Bagas, Liliana dan Aila?
Apakah ketiga anaknya bisa dengan mudah memahami apa yang tengah dirasakan ayah dan ibu mereka.
Kenapa Sandi merasa sangat kejam bila sampai melakukan semua itu pada keluarganya?
Pada dasarnya Sandi memang tak pernah siap berpisah dari anak lelaki dan para bidadari kecilnya.
Bila bicara soal hati. Jujur saja, hatinya ikut sakit ketika melihat Hana terluka. Namun tak bisa pula dipungkiri, tubuhnya pun ngilu saat membayangkan ketiga buah hatinya harus terpisah dari ibu mereka.
Apalagi bila membayangkan Laura membawa semua anak-anaknya pergi, ketika perpisahan itu benar-benar terjadi.
Lelah menulis, Hana menyalakan video call. Sandi menerima pengalihan panggilan itu. Begitu camera menyala, yang pertama kali dilihatnya adalah wajah Hana yang sembab. Sandi benar-benar tak enak hati menyaksikan pemandangan itu
["Mas Sandi ternyata tidak benar-benar mencintaiku,"] isak Hana, bahunya terguncang menahan kesedihan.
["Tidak Hana! Bukan begitu maksudku. Please, dengar dulu apa yang ingin kujelaskan."] Sandi berusaha membujuk wanita yang tengah terluka itu.
["Nggak perlu, Mas. Aku sudah tahu maksud di balik semua ucapanmu. Aku sudah tahu sebagai apa aku selama ini bagi Mas Sandi?"] Nada suara penuh lumuran kekecewaan itu benar-benar membuat Sandi terenyuh.
Tapi disimpulkan seperti itu, hati Sandi jadi terusik juga. ["Oh, ya. Menurutmu sebagai apa?"] tanyanya ingin tahu.
Ditatapnya wajah Hana Aura dengan pandangan yang begitu dalam. Namun, tak lama setelah itu, wajah Hana menghilang dari layar. Meskipun panggilan video call itu masih berlangsung dan belum diputuskannya.
Sandi terhenyak. Apa yang bisa dilakukannya untuk menenangkan keadaan ini? Mengapa semua menjadi kacau begini?
Pada saat aku bersusah payah menahan emosiku pada Laura, Hana malah datang dan menuntut tanggungjawabnya?
Pernikahan bukanlah cerita main-main. Butuh pemikiran yang panjang. Bila keadaannya seperti sekarang, mana mungkin dia bisa berfikir dengan proporsional.
Kalau saja Hana tahu galaunya perasaan Sandi selama tiga bulan ini, karena rasa kehilangan yang begitu dalam? Dia tak akan mececar lelaki itu sampai begitu rupa.
["Betapa bodohnya aku, karena selama ini percaya dengan rayuan Mas."] Kalimat Hana benar-benar menyudutkan.
Lelaki itu melotot mendengar kalimat yang diucapkan Hana. Ia tak percaya Hana sanggup melontarkan kata-kata itu.
["Tidak Han, aku sama sekali tidak merayumu!"] seru Sandi dengan wajah memelas.
["Lalu apa namanya kalau bukan merayu?"] Ana sudah tidak memunculkan wajahnya lagi di layar monitor.
Layar itu hanya memantulkan sebuket bunga dari alkrilik yang berada di atas bufet jati di sebuah sudut ruangan.
["Aku..."] Sandi kehilangan kata-kata.
["Jangan khawatir, Mas. Aku berjanji tidak akan mengganggu kehidupan Mas Sandi lagi."] Suara Hana yang tadinya penuh luapan emosi, tiba-tiba berubah menjadi begitu datar.
["Ini adalah resiko yang harus kutanggung karena sudah berani mencintai suami orang."] Sandi tahu akan ada kelanjutan dari kalimat yang diucapkan wanita itu.
["Jangan begitu, Han. Aku yang jatuh cinta padamu. Aku yang telah memulai semuanya."] Sandi dengan jujur menilai dirinya sendiri.
["Mas kan tahu, kalau aku ikhlas menjadi istri kedua."] Suara Hana terdengar lebih tenang, demi mendengar kata-kata yang diucapkan Sandi kepadanya.
Sandi sedih sekali menyadari harapan besar yang digantungkan Hana kepadanya. ["Aku tahu, Han. Aku bahkan tidak keberatan sama sekali kalau kamulah istri pertamaku, tapi …."]
Hana lekas menyambar ucapan Sandi yang menggangung. ["Apakah hanya kata 'tapi' yang bisa kumiliki, Mas?"]
Sandi geleng-geleng kepala menyadari hal itu. ["Han, jangan terbawa perasaan, cobalah sedikit menenangkan hatimu."] Lelaki itu terus berupaya membujuk Hana.
'Bagaimana cara menjelaskan semuanya hal dengan objektif pada wanita yang sedang kacau?' keluhnya.*
~ Happy reading Beib ~