SAMA seperti Hana, Salsa pun tak nampak lagi batang hidungnya hingga acara itu selesai.
Tak ada kesan yang berarti buat Sandi, selain sepenggal kisah kelam yang telah digoresnya bersama Hana Aura.
Bukan di pertemuan itu saja Hana menghilang. Di layar monitor Sandi pun, wanita itu lenyap menguap bagai asap.
Dua novelnya yang sedang on going, ikut terbengkalai tanpa pembaruan bab sama sekali.
Apakah Hana merasa terjebak, atau malah menuduh dirinya sebagai orang yang paling bersalah dalam kejadian itu? Entahlah.
Sandi sudah lelah memikirnyanya. dia lebih memilih untuk menjalani keseharian dengan sewajarnya. Namun perasaan mengambang tak mampu dicegahnya.
Sandi tak bisa memungkiri diri sendiri, bahwa melupakan sosok seperti Hana Aura ternyata tidaklah mudah. Wanita ayu dengan tutur kata lembut serta malam yang spesial itu, bagai slide yang selalu saja berputar-putar di benak Sandi Lakaran.
Hidup tetap terus berlanjut, ada atau tidak Hana Aura di dalamnya. Sandi akhirnya mulai belajar untuk melupakan.
Waktu terus berputar. Hari dan minggu bergulir dengan cepat. Ternyata, melupakan memang tak pernah semudah ketika menemukan.
***
Tiga bulan kemudian.
RUTINITASNYA sebagai Editor di platfrom penulis digital, masih menjadi tugas Sandi Lakaran.
Dia pun masih rajin mengirim materi dan tautan-tautan yang berguna untuk bekal menulis para newbie yang diasuhnya.
Di kesehariannya, Sandi sudah mulai beraktivitas seperti biasa. Perusahaan jasa leveransir yang digelutinya, masih menerima cukup banyak orderan dan kontrak kerjasama baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Tak berbeda dengan Laura. Pekerjaan istrinya sebagai perawat shift malam pun tetap dilakoni wanita itu. Walau seringkali diprotes oleh Sandi, namun semua itu tak pernah merubah apa yang sudah menjadi kebiasaan istrinya.
Laura sama sekali tidak mengubris keberatan Sandi pada jadwal kerjanya yang sering terkesan mengabaikan anak-anak mereka.
Kepribadian Laura yang keras, nyaris tak berubah dari waktu ke waktu. Setelah memiliki anak-anak pun, Laura tetap saja mempertahankan semua kebiasaan lamanya.
Laura memang sudah lama kehilangan bentuk tubuhnya yang ideal. Entah pengaruh dari proses kehamilan dan melahirkan, atau karena bertambahnya usia. Tapi bisa juga disebabkan oleh faktor genetika.
Tubuh istrinya sekarang terlihat gempal dan berlemak di sana-sini. Namun bagi Sandi hal itu tak begitu berpengaruh. Laura dulu atau Laura sekarang, tetaplah menjadi wanita satu-satunya, yang disayang dan dicintanya.
Namun, sepertinya tidak begitu dengan Laura. Wanita itu selalu mempunyai kecemasan yang tak teraba, namun sangat kentara di setiap sikap dan sorot matanya.
Malam itu Sandi pulang ke rumah lebih cepat dari biasa. Anak-anak yang tengah asyik menonton televisi, menyambut kepulangan ayah mereka dengan sukacita.
Tak nampak kehadiran Laura di antara anak-anak itu. "Kalian sudah makan?" tanya Sandi, sambil menggendong Aila dan meletakkan gadis kecil itu di pangkuannya.
"Sudah, Pa," jawab mereka nyaris berbarengan.
"Mama mana?" tanya Sandi sambil menoleh pada Bagas putra tertuanya.
"Di kamar, Pa," jawab anak lelaki itu.
"Kamu sudah bikin PR belum?" tanya Sandi lagi.
"Bagas sudah, Pa." Bagas menjawab dengan suara nyaring.
"Aku juga sudah," kata Liliana sambil berlari ke arah ayahnya.
Gadis itu ikut menghenyakkan tubuh di samping Sandi, sambil memperlihatkan buku PR yang telah selesai dibuatnya.
"Kalau begitu, sudah waktunya untuk tidur. Ayo, sekarang giliran Papa yang tidur di kamar kalian."
Dengan patuh, ketiga kanak-kanak itu mengiringi langkah Sandi yang sudah duluan masuk ke dalam kamar.
Anak-anak meminta ayah mereka untuk mendongeng. Sandi setuju, ia menceritakan kisah Pinokio dan kakek Gebeto hingga ketiga bocah itu akhirnya terlelap dengan nyenyak.
Dimana Laura?
Setelah dinas malam lima hari berturut-turut, biasanya Laura diperbolehkan mengambil cuti, di satu hari kerja di minggu yang sama.
Namun seperti biasa, Laura sama sekali tidak keluar kamar, meskipun Sandi yakin dia pasti mendengar kedatangannya.
Sampai anak-anak tertidur pun, Laura belum juga muncul, walau sekedar untuk bertanya, apakah dia sudah makan atau belum.
Sandi selalu berusaha untuk memahami sikap cueknya itu. sama seperti yang terjadi di malam ini. Setelah membersihkan diri terlebih dahulu, Sandi menyusul masuk ke kamar mereka untuk beristirahat.
Begitu membuka pintu, dia menemukan Laura tengah berbaring sambil membaca novel. Kebiasaan yang tak pernah berubah, dari pertama kali mereka menikah.
Melihat istrinya tengah bersantai, dia pun mendekat. Dielusnya betis yang tersingkap itu dengan lembut. Tak ada reaksi. Sandi meneruskan jelajah elusan itu hingga ke pinggul Laura yang berlemak.
"Ma...." bisiknya.
Tak ada jawaban. Laura masih fokus pada bacaannya. Sandi duduk di tepi ranjang. Lelaki itu memijat lekuk pinggang hingga ke bahu Laura yang gempal, dengan pijatan yang lebih menyerupai elusan.
"Sayang," bisiknya sekali lagi.
"Hm," gumam Laura menjawab panggilan itu.
"Malam ini kamu tidur di sini, ya. Aku sudah menidurkan anak-anak," Pinta lelaki itu.
"Hm." Ucapan Sandi kembali berbalas gumaman.
"Ada yang ingin kukatakan kepadamu." Sandi berharap Laura akan menurunkan novel yang tengah dibacanya, lalu membalikkan tubuh dan menghadap kepadanya.
Tapi, bukan itu yang terjadi. Laura malah menarik kedua kakinya, lalu bergelung dengan posisi miring, membelakangi suaminya.
"Setelah kerja begitu lama, masak sih kamu nggak bisa meminta perubahan jadwal dinas di kantormu, Ma?" Sandi membuka percakapan.
Ternyata pertanyaan itu telah mengusik Laura. Terbukti, wanita itu berbalik. Dia membalas tatapan suaminya dengan pandangan datar.
"Sejak awal bertemu, kamu kan sudah tahu, kalau pekerjaanku seperti ini, Mas." Laura menjawab dengan mengingatkan Sandi pada masa lalunya.
Alis mata Sandi terangkat demi mendengar hal itu. "Aku tidak buta, La. Teman-temanmu yang lain, yang biasanya satu shift denganmu saja, kini banyak yang sudah beralih jam kerja, karena mereka sudah berkeluarga," protes laki-laki itu.
"Apakah hal itu penting sekali untukmu?" Suara Laura dingin, sikapnya pun acuh tak acuh.
"Mungkin tidak buatku, tapi kamu bisa melakukannya buat anak-anak." Sandi masih mencoba bersabar.
Namun reaksi Laura benar-benar di luar dugaan. Wanita itu membanting novel yang tengah dibacanya ke atas ranjang.
Dengan gerakan kasar, dia bangun dan langsung keluar dari kamar. Saat melewati suaminya, laura sengaja mengeluarkan sebuah lenguhan.
'Huh!' Laura menggerutu, sebagai tanda kejengkelan hatinya.
Sandi terperangah. Sikap istrinya benar-benar sudah keterlaluan. Hal seperti itu sebenarnya tidak terjadi hanya di malam ini saja.
Disaat yang lain, Sandi pernah pula menemukan gadis kecilnya tengah menangis, begitu dia hendak masuk rumah sepulang dari kantor.
"Sayang ada apa?" tanyanya sambil bergegas menghampiri Aila.
Jari Manis Aila anak bungsunya luka tersayat benda tajam. Sandi kaget, begitu tahu kedua anaknya tengah bermain cuter tanpa pengawasan Laura. Sandi benar-benar tak habis fikir melihat ulah istrinya itu.
Lagi-lagi pertanyaan yang sama memenuhi benak Sandi Lakaran, "Dimana Laura?"*
~Happy reading Beib ~