SANDI mencari keberadaan istrinya, dia akhirnya menemukan wanita itu tengah berbaring dengan pandangan fokus menatap layar ponsel yang digenggamnya.
Meskipun Sandi membuka pintu kamar dengan keras, namun tak sedikitpun Laura bereaksi atas sikapnya itu.
"Mama nggak dengar kalau Aila menangis?" Sandi bertanya dengan suara keras.
"Iya, bentar," jawab Laura dengan sikap acuh tak acuh.
Dengan menahan kesal Sandi mengomeli istrinya. "Jari Aila luka, Ma. Kok Mama masih bisa santai, sih?"
Laura masih tetap diam. Sementara Sandi sudah semakin jengkel.
"Lagian kenapa sih, anak-anak dibiarin saja main cuter tanpa pengawasanmu?" omel Sandi tak habis pikir.
Laura membalikkan tubuh. Dengan gerakan lambat ia turun dari ranjang. Diraihnya Aila yang menangis itu ke dalam gendongannya.*
"Sakit, Ma." Rengek Aila seperti mengadu.
Namun seperti biasa, Laura tak memberi komentar apa-apa, selain meniup bekali-kali luka di tangan balita itu.
"Mas Bagas jahat." Aila mencoba menjelaskan apa yang terjadi.
"Sudah, diam. Kan sudah diobati sama Papa." Hanya itu saja jawaban yang diucapkan Laura kepada anak mereka itu.
Sebenarnya Sandi masih geram, tapi dia mencoba menahan perasaan. Lelaki itu tak mau terlihat ribut bahkan sampai adu mulut di depan anak-anaknya.
Laura memang jarang sekali menjawab pertanyaan atau pun menjelaskan sesuatu baik pada suami maupun kepada anak-anaknya. Kebiasaan irit bicara itu semakin menjadi-jadi diperlihatkan Laura pasca melahirkan anak kedua.
Sikap dingin dan ketus dari istrinya itu, seringkali membuat Sandi tak tahan dan merasa diabaikan. Sandi tak pernah tahu apa yang membuat Laura jadi begitu acuh terhadap keluarganya sendiri.
Apakah pekerjaan yang telah membuat istrinya merasa begitu lelah?
Namun di luar sana banyak teman, sahabat dan saudara Sandi yang juga memiliki istri bekerja. Mereka terlihat enjoy-enjoy saja kok.
Sandi berusaha menenangkan hati dengan menarik nafas dalam berkali-kali. Dia tahu, bahwa amarah bukan solusi terbaik dalam memecahkan persoalan yang tengah dihadapinya.
RASA jenuh menghadapi sikap Laura yang aneh, membuat Sandi kian tenggelam dalam pekerjaan dan hobi menulis onlinenya.
Meski manfaat dari aktivitasnya di platfrom cukup banyak. Tetap saja, alasan utama lelaki itu menggeluti dunia maya adalah karena ketakpedulian Laura kepadanya.
***
SETELAH hari-hari yang buruk yang dilaluinya bersama Laura. Di suatu malam, bulan ketiga setelah ia kehilangan sosok Hana Aura. Sebuah status muncul di beranda Facebook Sandi Lakaran.
[Setiap kesalahan selalu diakhiri penyesalan. (Hana Aura)] Apakah dia sedang bermimpi?
Sandi tak mempercayai matanya ketika melihat lampu hijau yang menyala di profil Hana Aura, pertanda kalau akun itu tengah online?
Betapa inginnya Sandi mengomentari status itu, tapi hatinya masih diliputi keragu-raguan.
Apa yang terjadi? Setelah lebih tiga bulan putus kontak dengannya kenapa Hana tiba-tiba saja menulis kembali?
Apakah wanita itu sedang menyindir apa yang pernah terjadi di antara mereka? Sandi benar-benar merasa tersindir.
Apakah karena hingga saat ini pun, dia tak kunjung menyesali apa yang telah terjadi?
Jauh di lubuk hatinya, lelaki itu malah menginginkan Hana bisa hadir dan berada di dekatnya kembali.
Sandi menghisap rokok yang terselip di celah bibirnya dengan sedotan yang dalam. Lalu asap yang terkumpul di mulutnya itu di hembuskan lagi dengan hembusan yang kuat.
Asap putih keabu-abuan, terlihat berkejaran seperti wedus gombel menerjang permukaan layar komputernya. Asap itu berputar-putar sebentar sebelum perlahan-lahan buyar.
Mata Sandi terbeliak ketika asang rokok menghilang, dia menemukan chatting room whatsapp telah terbuka di layar monitornya.
Sebuah icon senyum hadir menyapa, dengan disertai tulisan singkat. ["Hai."]
'Hana …?' batin Sandi seraya menelan ludah yang terasa kelat di tenggorokkannya.
Amarah yang tersulut, lekas-lekas dienyahkannya. Rasa penasaran Sandi jauh lebih besar daripada rasa kesal yang muncul serentak.
Sandi hanya ingin tahu, kenapa waktu itu Hana meninggalkannya ? Sandi juga ingin tahu, kenapa Hana menghilang tanpa penjelasan?
["....?"] Dia menjawab sapaan Hana dengan sebuah tanda tanya.
["Malam, Mas,"] tulisan Hana muncul kembali.
["Malam,"] balas Sandi singkat.
["Bagaimana kabarmu, Mas?"] Pertanyaan yang basi, tapi Sandi memilih mengikuti maunya Hana.
Ia benar-benar penasaran, apa alasan Hana sehingga tiba-tiba menghubunginya kembali.
["Baik,''] tulis Sandi.
["Maafkan aku."] Pesan yang membuat kening Sandi berkerut.
["Untuk apa?"] tanyanya berlagak pilon.
["Aku mencintaimu, Mas."] 'Oh, ya.!' Lelaki itu tersenyum getir mengeja kalimat yang baru saja ditulis Hana untuknya.
["Aku tahu, makanya kau meninggalkanku begitu saja."] Kali ini, Hana yang tergagap membaca balasan Sandi.
["Kamu salah Mas,"] tulisnya. Sandi tertawa kering membaca tulisan itu.
Diraihnya cangkir kopi dan direguknya cairan hitam kental itu perlahan-lahan, sebelum mengetik sebuah jawaban untuk Hana.
["Oh, kalau aku salah, lalu siapakah yang benar?"] tanyanya.
["Mas, aku .…"]
Sandi menunggu lanjutan dari tulisan itu. Tapi Hana tak kunjung melanjutkan kalimatnya yang masih menggantung.
["Apa kamu ingin membuat sebuah keputusan, Han?"] Sandi lelah menunggu terlalu lama. Ia butuh pembicaraan yang lebih jelas.
["Aku mencintaimu, Mas.'] Setelah menulis itu, hening kembali menjeda percakapan mereka.
Lelaki itu tertawa miring. Kembali di raihnya cangkir kopi yang tadi sudah diletakkannya di meja.
["Tapi, aku menginginkan cinta yang halal."] Sandi tersedak membaca tulisan Hana, Cairan kopi yang panas menyembur dari mulutnya.
Tumpahan kopi mengotori permukaan laptop, sebagian malah mengotori meja dan baju kaos yang dipakai lelaki itu.
["Untuk kondisi seperti sekarang, kamu yakin masih ada cinta yang halal?"] Sandi kaget dengan apa yang ditulisnya. Mau menghapus kalimat itu, tapi di layar sudah nampak dua centang hijau di akhir pesan yang ditulisnya, pertanda kalau pesan itu sudah dibaca Hana.
Kembali layar di depan Sandi senyap. Tak ada pesan dari sistem kalau Hana akan atau sedang menulis sesuatu sebagai balasan dari apa yang telah ditulisnya.
Lama setelah layar itu seperti beku, sebuah pesan muncul di sana. ["Apa maksudmu Mas…?"]
Sandi terdiam. Pertanyaan yang ditulis Hana terasa agak aneh. Ada apa ini ? Kenapa Hana tiba-tiba menghubunginya. Sandi tidak sempat melanjutkan keheranannya?
Apa yang muncul di layar monitor lebih mengejutkan lagi. ["Aku ingin Mas menikahiku."]
[Apa! Tiga bulan lebih meninggalkanku tanpa kabar, tiba-tiba kamu minta dinikahi?"] Hanya itu yang bisa ditulis Sandi sebagai jawaban.
["Bukankah Mas mencintaiku?"] Hana terus saja menulis hal-hal yang makin sulit untuk di jawab.
Tapi Sandi bukanlah lelaki yang suka membohongi diri sendiri. ["Ya,"] jawabnya.
["Apa lagi, Mas? Aku hanya minta dinikahi, itu saja."] Lama jari lelaki itu menggantung di udara, ia ragu hendak menulis jawaban apa.
Walau masih ingin mereguk kopi hitam, sebagai pelarian dari keterkejutannya. Tapi, Sandi tidak melakukan hal itu.
["Tentu saja tidak segampang itu, Hana. Tidak mudah untuk mewujudkan apa yang kamu minta."] Sebuah pernyataan yang cukup netral berhasil ditulisnya.
["Kenapa?"] tanya Hana, Sandi terdiam.
'Ya, Kenapa dia harus berfikir ulang, begitu orang yang dirindukannya selama ini telah menyerah untuk dimiliki?' Sandi menghela nafas berat.*
~Happy reading Beib ~