SETELAH membuka acara workshop dengan beberapa testimoni yang menarik, Sandi masih berusaha tinggal dan terlibat dalam beberapa pembicaraan di lokasi acara.
Sesekali, ia pun nampak tersenyum. Bahkan adakalanya, Sandi ikut pula terbahak-bahak menanggapi lelucon para penulis pria yang tengah membahas isi tulisan mereka di platfrom.
Tapi hal itu tidaklah berlangsung lama. Begitu selesai sesi ice breaking setelah materi tentang kepenulisan disampaikan. Tiba saatnya para peserta istirahat sambil menikmati snack yang sudah tersedia.
Sandi merasa tugasnya selesai. Lelaki itu pun berusaha menyelusup di antara keramaian. Dia bermaksud meninggalkan hiruk-pikuk, di belakangnya dan mencoba mencari dunianya kembali.
Begitu terlepas dari keramaian, Sandi pun bergegas menuju haltar parkir yang lengang. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti.
"Mas, Sandi!" Seseorang berseru sambil menjamah pundaknya, dengan reflek dia pun memutar tubuh, sehingga langsung berhadapan dengan si pencolek.
Sandi mengangkat alis. Pandangannya berserobok dengan tatapan lekat seorang wanita bergaun merah menyala.
"Hai, mau ke mana sih, Mas?" Sosok wanita bersuara ramah dan renyah itu menyapanya.
"Cari angin," jawab Sandi, sambil memainkan kunci kontak mobil di tangannya.
Dari bawah topi lebar yang menutupi hampir setengah mukanya yang cantik, sorot mata yang begitu menggoda, mengintip ke arah Sandi.
"Lo, cari angin kok sampai ke parkiran?" Wanita berlipstik pink tipis itu pura-pura terbelalak.
"Memangnya salah?" tanya Sandi.
"Salah dong! Acaranya 'kan masih berlangsung." Wanita bergaun merah seolah mengecam sikap lelaki di depannya.
"Aku kurang suka dengan keramaian." Sandi kembali menjawab sekenanya.
"Sandi Lakaran tidak menyukai keramaian!?" Wanita bergaun merah mengulangi kata-kata itu berulang kali.
Sandi tergelak, melihat cara si wanita mengejek dirinya. "Ibu dari mana?" tanyanya mengalihkan topik pembicaraan.
Wanita bergaun merah terlihat kesal, ia protes dengan panggilan itu.
"Aduh! Please, jangan panggil aku ibu, dong. Kesannya jadi tua banget. Panggil saja aku Salsa," rengeknya seraya memperkenalkan diri.
Sandi kecut. Dia selalu jenuh menghadapi tipikal sepertil wanita bergaun merah. Ide dan topik pembicaraan mulai habis di kepalanya. Sandi sampai tak tahu, apa lagi yang hendak dikatakannya pada wanita itu.
"Salsa penulis juga?" pertanyaan itulah yang kemudian meluncur dari mulut Sandi Lakaran.
"Iya dong." Salsa menjawab dengan kenes.
Sikap kenes yang membingungkan. Sandi menaikkan kedua ujung bibirnya. Tapi, Salsa melihat upaya itu hanya berhenti sebagai sebuah seringai ketimbang seulas senyuman.
Entah mengapa, setelah mengenal Hana Aura, dia seperti memproteksi diri sendiri dari wanita lain. Tak terkecuali, pada si gaun merah yang sekarang semakin mendekat kepadanya.
'Apa sih yang bisa membuat Salsa tak lagi bertanya tentang diri dan pribadinya.' Sandi memutar otak. Dia pun bertanya kembali, "Apa judul novelmu, Sa?"
"Terhempas di Ranjang Duda," jawab Salsa terkikik begitu dia selesai memberitahu judul novel yang sedang ditulisnya.
"Masih on going lo Mas, sampai hari ini." Lanjut Salsa menyempurnakan penjelasannya.
Sandi mengangkat sebelah alisnya. 'Oh, pantasan.' Ia berguman dalam hati.
"Aku terhibur banget loh, dengan grup yang Mas Sandi kelola." Setelah berkata begitu, tiba-tiba saja wanita bergaun merah itu melingkarkan tangannya di lengan Sandi Lakaran.
'Apa-apan sih,' batin Sandi kaget, tak menduga Salsa akan seberani itu.
Hatinya mengumpat, dia tak senang diperlakukan begitu. Namun Sandi masih berupaya menjaga adab dalam menghadapi wanita.
Melihat Sandi terkesan membiarkan dirinya berbuat sesuka hati. Salsa makin berani menekan-nekankan kuku runcingnya di permukaan kulit lengan Sandi yang terbuka.
"Mas Sandi memang sangat pandai membuat suasana room jadi berkualitas dan diminati para penulis," katanya lebih lanjut.
"Karena Mas Sandi lah, kami semua bisa saling mengenal bahkan sudah merasa layaknya sebuah keluarga besar," kata Salsa. Sebuah senyum menggoda terukir di bibirnya.
"Ah, kamu terlalu berlebihan. Apa yang kulakukan pada kenyataannya tidaklah sehebat yang kamu ilustrasikan." Sandi masih berupaya mengenyahkan rasa tak nyaman pada sikap dan pujian Salsa yang mulai membebani dirinya.
"Nggak lah, aku nggak berlebihan loh, Mas. Cuma ...." Salsa tak melanjutkan kalimatnya. Sebagai ganti dia malah tertawa cekikikan.
"Cuma apa?" Sandi mengabaikan tawa menggoda yang ditujukan kepadanya.
Melihat Sandi tetap menerima semua sikapnya, dengan lebih berani, wanita bergaun merah itu kini menempelkan tubuhnya ke tubuh Sandi.
"Di kenyataannya, Mas Sandi ternyata nggak begitu friendly," jawab Salsa manja.
Saat mengucapkan itu, Salsa langsung memonyongkan bibir merekahnya tepat di depan wajah Sandi Lakaran.
Sandi refleks memundurkan wajahnya. "Maksudmu?" tanya Sandi sambil mengambil ancang-ancang untuk melepaskan diri.
"Ya ..., gimana ya. Sandi itu terlalu diam dari yang seharusnya. Setidaknya dari yang selama ini kubayangkan." Suara Salsa setengah merengek.
Salsa sengaja memperlihatkan wajah merajuk melihat cara Sandi tadi saat mengindari dirinya.
Walau sudah menggesek-gesekkan tubuhnya, namun tak terlihat kalau Sandi gelisah dengan gerakan yang dibuatnya.
Mata Salsa sampai membeliak. Tubuh yang ditempelinya sama sekali tidak mengejang. Apalagi bereaksi.
"Lalu, aku harus bagaimana?" tanya Sandi mencoba mengajuk isi hati Salsa.
"Katakan kalau kamu menyukaiku seperti aku juga menyukaimu." Salsa kembali menjawab dengan suara setengah merengek.
Kening Sandi berkerut, mendengar permintaan itu. Namun dia batal menjawab, karena ponselnya tiba-tiba berbunyi.
Sandi berhenti melangkah, dia merogoh saku jeansnya. Sebuah ponsel terlihat berkedip-kedip dalam genggaman lelaki itu.
Sementara Salsa?
Wanita itu terperangah. Dia benar-benar tak percaya kalau ternyata Sandi sama sekali tak terpancing dengan sinyal-sinyal yang diberikannya. Namun Salsa tak mau putus asa begitu saja.
"Aku sudah menikah dan memiliki keluarga yang utuh. Mana mungkin aku bisa menyukai wanita lain?" Sandi menjawab begitu selesai menulis sesuatu di ponsel miliknya.
Walaupun merasa kecewa, tapi keadaan itu tidak membuat Salsa menghentikan usahanya.
"Aku hanya ingin disayang, bukan dinikahi." Usai bicara begitu Salsa membenamkan mukanya ke dada Sandi yang bidang.
Diperlakukan seperti itu membuat Sandi benar-benar terperanjat. Dia sama sekali tidak menduga Salsa akan senekad itu. Apalagi sebelum-sebelum ini mereka sama sekali tak pernah terlibat percakapan yang bisa membuat kedua memiliki chemistry.
Belum sempat lelaki itu mencari alasan yang membuat dirinya paham atas keberanian Salsa dalam mendekatinya, wanita bergaun merah itu sudah melakukan hal lain yang jauh lebih gila.
Secepat kilat jemari Salsa telah mengunci leher Sandi. Sekarang tubuh mereka sama sekali tak berjarak lagi. Sandi bahkan bisa mencium wangi parfum mahal yang dikenakan oleh wanita bergaun merah itu.
Begitu Salsa mengangkat tumit dan mulai mencari bibirnya, Sandi tak mampu lagi menahan diri. Dia mendorong tubuh Salsa dengan keras.
Salsa terjajar beberapa langkah ke belakang. Mukanya merah padam. "Kau...!" seru wanita bergaun merah itu. Wajahnya benar-benar seperti udang direbus.
"Maaf, kamu salah mengenali orang." Suara Sandi ketus membalas keterkejutan Salsa.
Dengan mata berkaca-kaca, wanita bergaun merah itu berbalik. Dia berlari meninggalkan Sandi yang masih terpaku di tempatnya berdiri.*
~Happy reading Beib ~