'TING ... TONG ...!' Room Boy memencet bel.
Suara bel di pintu kamar, menandakan sudah saatnya kamar harus dibersihkan kembali.
Benar saja, begitu kepala Sandi menyembul dari balik pintu, seorang petugas berseragam telah berdiri tepat di depannya. Petugas itu menanyainya dengan ramah.
"Pagi, Mas. Apakah kami bisa membersihkan kamar ini, sekarang?" tanyanya dengan sopan.
Sandi menjawab dengan suara setengah mengantuk, "Nanti saja, setelah aku meletakkan kunci kamarku di resepsionis."
"Mas mau check-out hari ini?" Si petugas menanyainya kembali.
"Mungkin sampai besok siang," jawab Sandi pendek.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Mas. Maaf sudah mengganggu" katanya sambil sedikit membungkukkan badan.
Petugas berseram lalu berbalik dan pergi dari hadapan Sandi. Kini dalam kesendiriannya, Sandi berdiri di depan cermin dan membuka baju kaos yang tadi disorongkan sembarangan ke tubuhnya.
Kaca rias itu memantulkan sosok dirinya yang nyaris kehilangan otot-otot dada. Dada Sandi yang bidang terlihat sedikit berlemak. Faktor usia dan kemapanan hidup telah membuat postur yang berbeda di tubuhnya.
Tapi, ketampanan wajahnya sama sekali tidak berkurang. Rambut yang tebal dan hitam. Sorot mata yang tajam, garis bibir yang kuat justru membuat wibawa dan kharismanya semakin menonjol.
Dulu, Laura pernah begitu tergila-gila kepadanya. Sandi ingat suatu ketika, saat gadis itu tengah menjalankan tugas menggosok tubuhnya dengan jari-jari tangannya yang dibungkus sehelai 'washlap'.
Seringkali kedapatan olehnya Laura berlama-lama mengusapi ceruk dan liku di antara otot-otot bidang dadanya itu.
Sebagai pasien yang tak berdaya, tentu saja Sandi tak mampu bereaksi atas sentuhan yang dilakukan si hitam manis itu kepadanya.
Tapi, semuanya jadi berbeda, saat keadaannya mulai membaik. Begitu Laura melakukan tugas rutinnya di suatu hari, Sandi menahan usapan di dadanya itu dengan sebuah cekalan kuat di pergelangan tangan si perawat.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Sandi menarik tubuh si perawat sampai tersungkur di atas tubuhnya sendiri.
Bibirnya menyeringai melihat gadis berseragam itu sama sekali tak berusaha bangkit dari posisinya.
Lama mereka terdiam. Keduanya terlihat sama-sama menahan debaran. Mereka seperti saling mempelajari keadaan.
"Singkirkan tanganmu, Suster!" Perintah Sandi.
Ah, tidak. Itu sama sekali bukan perintah. Suara lelaki itu lebih mirip desahan dari pada sebuah perintah.
"Eh, iya. Aku tak sengaja. Maaf...." Laura segera menarik tangannya dari pangkal paha Sandi Lakaran.
Sandi nyengir, "Nggak, apa-apa. Aku hanya takut akibat buruk yang ditimbulkan oleh sentuhanmu di bagian itu."
Kata-kata Sandi semakin membuat wajah gadis di atas tubuhnya bersemu merah. Namun begitu, Sandi tak merasa kalau gadis itu ingin segera bangkit dan beranjak dri tubuhnya.
"Siapa namamu, Suster?" bisik Sandi serak.
"La - Laura," jawab gadis itu tanpa berkedip.
"Bolehkah aku menyentuhmu, seperti kau menyentuhku selama ini, Suster?" Sandi berbisik dengan suara sedikit nakal.
"Ehm, e ... Aku ...." Laura gelagapan ditodong pertanyaan seperti itu.
"Boleh?" Sandi menuntut kepastian.
Kreeeek ...!
Suara daun pintu yang dibuka, menyentakkan keduanya. Posisi dan suasana yang sangat berbahaya itu, berakhir begitu saja.
Sandi melepas cengkramannya dari lengan si perawat yang manis, begitu mendengar suara langkah kaki di depan pintu kamar perawatan.
"Suster Laura, ada panggilan telepon untukmu di line satu." Seorang perawat senior berdiri di depan pintu masuk.
"Bilang saja aku masih bertugas Mbak," jawab si suster dengan wajah merah padam.
"Ponselmu tidak aktif." kata perawat senior itu memberi tahu.
"Ya, Mbak. Aku sengaja mematikan ponsel selama berdinas." Laura menjawab dengan suara datar.
"Oke, ada pesan yang mau kamu sampaikan?" tanya perawat senior itu kembali.
"Tidak, terima kasih Mbak." Sandi salut juga mendengar suara laura yang benar-benar terkendali.
Padahal saat diiliriknya, Laura tengah berdiri seraya membenahi seragam putih di tubuhnya. Tarikan kuat yang dilakukan Sandi telah membuat blouse yang dipakainya terangkat ke atas.
Raut kecewa terlihat nyata melumuri wajahnya yang manis. Sandi tak mungkin salah untuk hal yang satu ini.
Tanpa banyak bicara, Laura menyelesaikan tugasnya. Sandi Lakaran pun tak melanjutkan aksi nakalnya, hingga akhirnya perawat hitam manis itu keluar dari kamar.
Semakin hari kondisi Sandi semakin membaik. Dia bahkan sudah bisa makan sambil duduk bersandar di kepala ranjangnya.
Seperti biasa, siang itu Laura datang lagi ke kamar di mana Sandi dirawat. Sandi Mengerutkan dahi saat menyadari wajah gadis di depannya terlihat begitu suram.
Kedua matanya memerah seperti habis menangis. Beban pikiran yang dipendam telah menciptakan beberapa kerutan di dahinya.
Walaupun Laura tetap mengucapkan salam ketika memasuki ruangan. Seperti biasa, ia pun bahkan masih mengajak Sandi bercakap-cakap. Namun Sandi tahu ada yang sedang mengganjal di dalam pikirannya.
"Kamu kenapa, Suster?" tanya Sandi yang tak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya.
"Nggak apa-apa, Mas. Hanya sedikit kurang enak badan," jawab si perawat pelan.
"Kamu kecapean, ya?" Sandi mengerutkan kening saat tatapannya menelusuri wajah eksotik di depannya.
"Bisa jadi Mas, Sandi." Tak sedikitpun nampak, kalau si suster cantik hendak menceritakan apa yang tengah dirasakannya pada Sandi Lakaran.
"Mungkin karena kamu keseringan dinas malam?" Tanya Sandi, sambil menatap perawat itu dengan pandangan menyelidik.
"Mungkin juga Mas," jawabnya datar.
"Kenapa tidak pindah ke sif siang saja, sih. Biar kamu bisa istirahat di malam hari." Sandi berupaya memperlihatkan keprihatinannya kepada gadis itu.
"Saya punya kesibukan yang lain di siang hari, Mas," jawabnya pelan.
"Apakah kamu sudah bersuami, atau memiliki seorang kekasih?' Pertanyaan Sandi tidak dijawabnya. Namun, wajah Laura yang bersemu merah, lebih dari sekedar jawaban bagi lelaki itu.
Entah karena grogi ditanyai terus-terusan, tiba-tiba saja ujung sendok yang disodorkan gadis itu melenceng dan mengenai sisi wajah Sandi Lakaran.
Laura buru-buru minta maaf. "Maaf Mas Sandi, saya tidak sengaja," gagapnya sambil menatapi lelehan bubur yang mengotori wajah dan leher lelaki itu.
"Apa kubilang, kamu itu kelelahan. Jangan membiasakan diri dalam keadaan yang tidak mengenakkan, dong." Lelaki itu memberi nasehat.
"Efek buruknya justru akan kamu rasakan nanti, di saat kondisi tubuh sedang dalam kondisi kurang fit." Sandi Lakaran terkekeh begitu ia selesai menyampaikan nasehatnya.
"Aku kok tiba-tiba seperti dokter begini, ya?" Tawanya berderai mengejek diri sendiri.
"Mas kuliah dimana?" Pertanyaan Laura makin memancing rasa geli di hati laki-laki itu.
"Kedokteran," katanya seraya menahan geli.
"Mas, Sandi calon dokter!" seru perawat manis itu dengan mata terbeliak.
"Iya," jawab Sandi terkekeh.
"Dokter apa?" tanya perawat itu antusias.
"Dokter cintamu," jawab Sandi sambil tertawa terbahak-bahak.
Raut wajah perawat di depannya langsung berubah, saat menyadari kalau dia terjebak dalam gurauan pasien paling tengil yang pernah ditemuinya itu.
Dengan menggunakan sehelai tisu basah, si perawat manis mulai membersihkan kotoran di dekat telinga hingga ke leher Sandi Lakaran yang belepotan kuah makanan.
Wajah mereka pun kehilangan jarak. Sandi menatap lekat wajah murung Laura. Ditatap seperti itu, suara tercekat terlontar begitu saja dari mulut si perawat.*
~ Happy reading Beib ~