Hati Gisell merasa begitu sakit sekali, saat mendengar ucapan Meli yang begitu jelas mencemooh dirinya dengan menggunakan berbagai macam tudingan yang tak ernah tersirat oleh otaknya bila semua itu akan terucap dari mulut Meli. Gisell begitu paham bila Meli tak suka pad dirinya bahkan sangat membenci, namun ia benar-benar tak menyangka bila wanita itu akan mengambil kesimpulan yang begitu miris untuk di ucapkan dan di dengarkan bagi semua orang.
"Lu, itu enggak pantas. Dekat-dekat sama Zayn. Lu seharusnya tau diri dan sadar muka," cibir Meli, dengan tangan yang menuding-nuding ke arah Gisell.
"Udah dong Mel, jangan bicarakan hal itu lagi. Inget kita lagi kerja, kalau sampai ada yang tau kita semua bisa di laporin ke manager," tutur Linda, sambil menurunkan tangan Meli yang terus saja menuding Gisell.
"Diam mulut lu Lin!! Lu enggak usah ikut campu urusan gua sama Gisell," bentak Meli, dan memberontak dari dekapan Linda.
"Terus mau lu apa? Kalau lu mau deketin Zayn ya silahkan, inget satau hal, saat malam itu yang ngajakin gua ke atas itu Zayn sendiri dan buka gua. Kalau lu enggak percaya silahkan tanya sama orangnya langsung," jelas Gisell, ia mencoba untuk tetap tenang dan tidak terpancing amarah dengan nada yang di gunakan oleh Meli.
"Halah! Basi, dasar cewe gatel, murahana," hardik Meli dengan terus menerus pada Gisell.
"Sudahlah, terserah elu. Gua enggak ada waktu buat ngeladenin orang egois semacam elu," cetus Gisell, lalu segera mengambil berkas-berkas yang ada di atas meja dan pergi meninggalkan Linda dan Meli yang masih saja berdiri di sana.
Tak ingin terpancing emosi atau pun berdebat dengan Meli. Itu semua tak ada gunanya bagi Gisell, ia memilih menghindar dan melanjutkan pekerjaanya.
Sebenarnya Gisell, juga sudah menduga bila Meli akan tau apa yang terjadi malam itu.
"Hufttt, Giselll sabar, jangan terbawa emosi," batinya sambil mengelus dadanya, agar hatinya sedikit lebih tenang dan melupakan apa yang terjadi hari ini.
Keadaan hati Meli masih sangat geram ketika melihat Gisell, bahkan saat melihat wanita itu ingatannya kembali teringat pada malam itu, jika Gisell jalan berdua dengan Zayn.
"Sudahlah, Mel. Jangan emosi begitu, mungkin saja Gisell memang ada kepentingan pribadi dengan Zayn, sudahlah jangan emosi begitu, kalau pun lu pengen rebut Zayn ya mungkin Gisell tak pernah masalah dan tak ambil pusing," tutur Linda, sambil menatap wanita itu yang duduk di depan matanya.
"Udahlah, Lin. Enggak usah sok-sok nyeramahin gua. Hati gua lagi gedeg banget sama perempuan itu, selalu saja cari muka," geram Meli, dengan tangan yang mengepal begitu erat.
"Udahlah seterah elu, gua cape ngomong sama lu," sahut Linda, dengan segera beranjak dan meninggalkan wanita berego besar itu.
Dengan keadaan yang seperti ini membuat Gisell, lebih berhati-hati dalam melakukan segela hal termasuk ketika berbicara dengan Zayn.
Ia pun kembali menempati posisinya yaitu berdiri di dekat kasir, sambil membersihkan perlengkapan makanan.
"Gisell," panggil seseorang dari arah belakang.
"Eh, iya gimana pak?" tanya Gisell, dengan menoleh kebelakang.
"Tolong, anterin makanan ini yaa," pinta lelaki paruh baya itu, yang tak lain ialah chef dari restorant milik Arga.
"Kemana pak?" tanya lagi, sambil meraih nasi kotak yang berada di tangan lelaki paruh baya itu.
"Ke kantor Tuan Zayn," ucap lelaki paruh baya itu dengan tersenyum.
"Ha! Kesana pak?" sontak Gisell, terkejut saat mendengar apa yang dikatakan oleh lelaki itu.
"Duhh pak, kok saya sih. Enggak ada yang lain apa?" elak Gisell, dengan berfikir untuk mencari alasan yang lebih baik lagi.
"Soalnya tapi, Pak Zayn bilang, kamu yang harus nganterin kesana," ujarnya.
"Udahlah anterin aja," lanjutnya.
Ragu sekali, ketika harus menerima tawaran ini. Gisell hanya tak ingin mulut Meli berucap yang enggak-enggak akan dirinya. Dan apalagi, ia harus mengantarkan makanan ke lelaki itu.
"Duhhh, kenapa mesti gua sih!" dengus Gisell.
"Udah anterin aja, dia udah nungguin. Ya udah saya balik ke dapur dulu," ujar lelaki itu, dengan segera meninggalkan Gisell.
Hatinya benar-benar bimbang sekali, dan bingung harus melakukan apa. Ia tak ingin sampai Meli tau.
"Emmm, siapa yaa. Gua kapok ah ketemu sama Zayn," ucap Gisell, dengan terus berfikir siapa yang harus mengantarkan kesana.
"Ayooo, dongg Gisell. Otak lu harus maenn, ayo mikir-mikir siapa yang harus gantii lu kesana," dengan wajah yang panik dan kepala yang terus saja menoleh-noleh mencari siapa yang bisa di percaya.
"Sell, data tadi mana. Di minta sama manager tuh," tanya seorang wanita, yang berjalan kasir.
"Itu di laci sebelah kanan," jawab Gisell, sambil menoleh-noleh untuk mencari orang yang pas.
"Okee, makasih," jawab wanita itu.
"Ehhhh, tunggu-tunggu tadi tuh si Fina yaa. Ya ampun Gisell otak lu ngelag banget sih, kenapa lu enggak nahan si Finaa," ucap Gisell sambil menepuk jidatnya, lalu segera lari menahan langkah Fina.
"Finaaaaa!!!" teriak Gisell dengan suara yang keras.
***
Saat berada di pantai Fely merasakan ada yang berbeda dari sikap Arga yang jauh lebih jauh kepada dirinya. Bahakan saat dirinya berucap pun tak terlihat responan dari Arga. Fely menyadari kesalahannya, namun ia memang tak bisa melakukan hal itu, dan hal ini untuk kali pertamanya Arga bersikap acuh pada dirinya.
Selama ini lelaki itu selalu sabar bahkan tak pernah marah dengan segela kesalahan yang dirinya perbuat. Namun, hari ini benar-benar tak enak sekali suasananya bahakan espektasinya yang akan bersenang-senang ketika di pantai kini berganti dengan keheningan dan keacuhan akan sikap satu sama lain.
"Sayang, kamu mau air kepala enggak? Aku pesenin ya?" ucap Fely, dengan mencoba mengakrabi suaminya yang sejak tadi hanya diam dan sibuk dengan ponsel.
"Terserah kamu aja deh," jawab lelaki itu dengan muka yang datar tanpa eskpresi.
"Ya udah aku pesenin dulu ya," sahut Fely, lalu pergi meninggalakn Arga sendirian.
Hatinya terasa nyilu sekali merasakan setiap sikap acuh yang suaminya ciptakan. Bahkan ia tak tau bagaimana amarah Arga bisa mereda karena, selama ini lelaki itu memang tak pernah marah.
Dari kejauhan Fely terus saja mengamatai gerak gerik suaminya yang hanya diam dan melihat ke arah pantai.
"Nihhh, sayang," sodorkan Fely sambil tersenyum, dan berharap bila lelakinya akan kembali bersikap biasa saja.
"Hmmm, makasih," jawab Arga dengan mengambil kelapa itu.
"Mas, kita naik perahu yuk," ajak Fely, dengan mengalihkan pembicaraan.
"Kamu naik aja ya, aku ngerasa lagi enggak enak badan. Lebih baik, aku kembali ke Villa dan beristirahat, kamu bersenang-senanglah," ujar Arga, lalu meninggalkan Fely dengan senyuman tipis seperti ada unsur keterpaksaan saat mengekspresikannya.
Dari kejauhan Fely menatap dengan lekat, ketika Arga berjalan menuju Villa. Rasanya moodnya seketika memburuk dan tak ada lagi semangat untuk melakukan hal apapun.
Ia harap tak akan pertikaian kecil seperti ini, tetapi keadaan memang sangat berbeda dengan harapannya saat di rumah. Sungguh tak tau harus melakukan apa, mata Fely terus saja menatap hingga bayangan suaminya benar-benar hilang.
"Hishhh, kenapa mesti begini sih! Argh!! Fely, ayo mikir kamu harus ngapain supaya mood Arga jadi baik lagi. Dan kamu bisa menikmati wisata yang indah ii bersama dia," ucap Fely, dengan hati yang terus saja mengomel.