Teriakan yang terjadi hari itu benar-benar membuat Arga merasakan sakit pada bagian telingannya. Arga pula tak mengerti kenapa istrinya bisa teriak seperti itu.
"Mass, maafin aku yaa," pinta Fely, sambil menyuguhkan makanan di atas meja.
"Kamu kenapa sih! Kok bisa-bisanya teriak sekuat itu? Telingan aku jadi sakit, kan?" keluh Arga sambil memegangi telinganya yang terus saja mendengung.
Fely bingung dan gugup ketika akan mengatakan yang sebenarnya pada Arga, apalagi lelaki ini ialah suami sahnya. Bila dirinya berkata gugup saat Arga akan mengajak dirinya mandi bersama rasanya itu hal yang mustahil di terima bagi Arga. Padahal, saat menjadi pasture, ia dan Arga pun sudah melakukan kewajiban sebagai suami dan istri yang seseungguhnya.
"Kok, diem?" toleh Arga, melihat istrinya yang melamun.
"Kamu kenapa sayang? Kamu baik-baik aja, kan?" lanjut Arga, sambil meraih tangan Fely dan memastikan bila istrinya ini sedang baik-baik saja.
Arga pula merasakan bila ada yang beda dengan istrinya ini, meskipun dirinya tak tau apa. Namun, nalurinya sungguh kuat dan benar-benar kuat sekalia akan hal ini.
"Aa-aaku baik-baik aja, kok mas," jawab Fely dengan nada yang gugup sambil memandang wajah Arga.
"Ya syukurlah kalau begitu. Ayo makan setelah itu, kita akan ke pantai," ucap Arga.
"Hah? Ke pantai, kamu serius mas?" sahut Fely.
Seketika wajah wanita itu pun berganti dengan kebahagian. Rasa gugup yang ada pada dirinya seketika menghilang begitu saja.
"Ayo mas kita ke pantai," ajak Fely, dengan wajah yang bahagia.
"Nantilah, kita makan dulu. Aku lapar, kamu memangnya enggak lapar," cetus Arga menatap istrinya yang sudah siap mengenakan pakaian pantai.
"Emmm, aku masih kenyang," jawab Fely, matanya saat melihat makanan yang berada di atas meja, serasa sudah tak ada lagi nafsu untuk melahapnya. Yang ada di otaknya hanya pantai dan pantai, karena saat awal pertama kali ke Bali, dirinya sudah sangat ingin untuk ke pantai. Namun, Arga selalu melarangnya dan bahkan tak mau untuk pergi kesana.
"Makan dulu, nanti kamu sakit lohhhh," perintah Arga.
"Udahhh, nurut aja apa kata suami," lanjutnya, dengan segera menyediakan piring yang sudah berisikan sarapan pagi untuk Fely.
"Nih, makan dulu. Kalau kamu enggak mau makan. Kita enggak akan kesana," tegas Arga sambil mengunyah makanan.
"Iya-iya mas, segitunya banget sih!" keluh wanita itu, dengan perlahan-lahan memasukan makanan yang ada di piring ke mulutnya.
Fely merasa beruntung jika, Arga tak lagi membahas perihal yang ada di kamar mandi tadi. Jika, hal itu sampai terjadi maka Fely pun akan mati kutu untuk menjawab hal itu.
Hubungan itu sudah cukup lama tak mereka lakukan, Arga pun tak pernah meminta haknya kepada Fely. Dan begitu pun sebaliknya.
Bila, dilihat baik-baik hubungan keduanya memang cukup unik sekali. Tetapi, bila di pandang dengan segi orang tua masing-masing. Yang mengutarakan Arga dan Fely selalu sibuk dengan dunia kerja bahkan tak pernah sedikit pun memikirkan untuk bisa mempunyai momongan.
"Kalau kita bikin rumah disini, sepertinya nyaman banget ya mas," ucap Fely, berjalan beriringan sambil menuruni anak tangga.
"Kamu mau tinggal disini?" menoleh menatap Fely, yang tampak takjub dengan ke indahan alam Bali.
"Memangnya mas Arga mau?" tanya balik Fely.
"Yahh, kalau kamu mau. Ya saya mau," jawab lelaki itu, sambil memeluk istrinya dari samping.
"Ya udah ayo mas, kita pindah aja," seruku dengan nada penuh semangat.
"Memang, orang tua kita bakalan ngizinin? Tau sendiri, mami kamu enggak bisa jauh dari kamu," ujar Arga.
"Iyaa sih mas. Kita juga punya kerjaan banyak di Jakarta," timpal Fely, tersenyum tipis.
Benar sekali apa yang dikatakan oleh suaminya bila wanita paruh baya itu tak pernah bisa jauh dari Fely. Dalam jangka satu minggu pun wanita paruh baya itu sudah menemui dirinya lebih dari 3 kali.
"Sayang, kamu lebih suka anak laki-laki atau perempuan?" tanya Fely.
"Tumben," tatap Arga pada istrinya sambil tersenyum.
"Ihhh, jawab aja kenapa sih!" dengus Fely.
"Cium dulu dongg, kalau mau tau jawabannya," pinta Arga, tersenyum tipis.
"Hish! Mas Arga, apa-apaan sih! Ini tempat umum lohhh,"
"Apa salahnya, mereka juga enggak akan heran sama kita. Lagi pula kita sudah jadi suami istri yang sah," jawab lelaki itu, sambil terus bejalan beriringan dengan Fely.
Lokasi pantai yang tak jauh membuat mereka berdua memilih untuk berjalan, agar lebih sehat dan bisa merasakan setiap suduk pantai Bali dank e indahan-keindahan yang ada di dekat Viila yang mereka berdua tempati.
"Ayo buruan cium. Apa susahnya sih?" heran Arga.
"Hih! Banyak orang mas," sangakal Fely. Ia terus saja menolah dengan apa yang menjadi permintaan suaminya sejak tadi. Bila pun ini bukan tempat umun dirinya sudah sejak tadi mencium Arga.
"Ya udah deh, kalau begitu. Enggak usah, ayo lanjut jalan aja. Bentar lagi kita sampai di pantai dan kamu akan bahagia," jelas lelaki itu, dengan seketika merubah mood wajahnya.
Tanpa berkata sepatah kata pun Arga langsung melajukan langkahnya. Dan kini langkah mereka berdua penuh dengan kesunyian, Arga diam dengan mulutnya yang membisu sedangkan Fely pun ikut terdiam juga. Wanita mampu merasakan ada perubahan sikap dalam diri suaminya itu.
Saat jam istrihat kerja, Gisell memilih untuk duduk di belakang sambil menghitung barang-barang yang datang hari ini. Sungguh melelahkan sekali dalam setengah hari kerja, dalam ini belum di tambah dengan jatah shift malam yang terkadang dirinya dapatkan.
"Makan dulu Sell," ucap Linda, berdiri di samping Gisell dan melihat apa yang di lakukan oleh teman kerjanya ini.
"Ehhh, eluuu," ucap Gisell, sambil mengangkat kepalanya dan tersenyum kepada Linda.
"Lu udah makan?" tanya Linda.
"Belum, bentar lagilahh," jawab Gisell, sambil tersenyum.
"Gua, duduk disini enggak apa-apa, kan?"
"Yaelah, kek sama siapa aja lu. Duduk ya tinggal duduklah Lin,"
Di tengah-tengah pembicaraan mereka berdua tiba-tiba. Meli pun datang dengan wajah yang sewot dan senyuman penuh dengan kesinisan.
"Heh!!" sentak Meli dengan nada yang tinggi dan tatapan wanita itu pun tertuju pula ada Gisell yang tengah fokus mencatat barang.
Namun, saat Meli menciptakan sentakan itu hanya Linda saja yang menoleh kearah wanita itu yang sedang berdiri. Sedangkan Gisell tetap fokus mencatat data barang yang datang.
"Gua ngomong sama elu! Lu budeg ya?" sentak Meli, dengan nada yang meninggi.
"Apaan sih Mel, siang begini malah marah-marah. Enggak bisa makek nada yang rendah apa?" sela Linda,mencoba membuat wanita yang berada di sisinya paham.
"Enggak! Masalah ini enggak bisa di bicarakan dengan baik-baik lagi, karena gua udah gedeg sama Gisell," cetus Meli, dengan jelas menyebutkan nama Gisell.
Wanita yang tengah fokus mencatat itu pun seketika spontan menoleh kea rah Meli yang berdiri di dekatnya. Ia tak tau atas dasar kesalahan apa Meli berbiacara dengan nada tinggi pada dirinya.
"Ada apa sih Mel?" kelu Gisell, tak paham dengan apa yang wanita itu maksud.
"Luu, jadi cewe kecentilan banget sih!" tegas Meli,
"Maksud lu apa? Tolong dong, punya mulut di jaga. Lu di ajarin etika, kan. Saat bicara sama orang!" Tegaskan Gisell balik.
"Dasar kecentilan banget lu jadi cewe, udah kere. Masih nekad ngedeketin Zayn, yang jelas-jelas beda level sama elu!!" bentak Gisell, dengan nada yang tak kalah tinggi.