Gegara suara ketukan pintu itu Arga dan Fely langsung spontan menghentikan adegan yang akan mereka lakukan, rasa canggung satu sama lain pun mulai timbul.
Mereka sama-sama diam dan saling mendundukan kepala. Felya tampak glapagan dan bingung harus berbuat apa, perlahan matanya melirik Arga yang sama juga merasakan kecanggungan pada dirinya. Padahal saat ini ia dengan Arga sudah terikat ikatan dan menjadi suami istri yang sah menurut agama dan negra.
"Eee-ee mas, aku turun dulu ya. Kamu buruan mandi, aku tunggu di bawah," ucap Fely memecahkan keheningan.
"Oke," sahut Arga.
Sejujurnya hatinya saat ini merasa kesal karena pembantunya datang di saat yang tak tepat. Ia sama sekali tak mengerti dengan pembantunya yang selalu saja mengganggu momennya bersama dengan Fely.
"Argh!! Sialan. Gara-gara dia gagal jadinya," dengus Arga, dengan keadaan hati yang terus saja geram dan ingin mengulang kejadian tadi.
Saar seperti itu sangat jarang sekali bisa di temui, selama ini ia an istrinya sama-sama sibuk bahkan untuk bermesraan pun jarang. Jika, pulang malam ia langsung tidur dan begitu pun berlaku pula pada Fely.
"Lebih, baik. Aku buru-buru saja honey, agar tak ada yang menggagnggu lagi seperti hari ini," timpal Arga dengan muka yang masam.
Ia pun segera mengambil handuk dan masuk kekamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
Jantung Fely terus saja berdetak tak karuan, gegegara hal tadi. Jantungnya tak mau berdetak dengan normal.
"Duhhh, kenapa begini terus sih. Bikin enggak nyaman aja," batin Fely sambil memegangi dadanya.
Kakinya perlahan-lahan melangkah menuruni anak tangga yang cukup banyak. Dirinya tak mengerti akan sampai kapan hal ini terus saja terjadi pada dirinya.
"Nyonya kenapa??" tanya Bik Jumi, dengan tatapan heran saat melihat Fely terus saja memegangi dada.
"Ehhh, enggak bik. Aku enggak apa-apa," jelas Fely dengan segera melepaskan tangannya dari dada.
Tak mungkin pula jika, dirinya akan berkata yang sejujurnya pada Bik Jumi, yang ada hanya akan ada tawaan dari dia.
"Sudah siap bik, makanannya?" sambil duduk di kursi dan mata menatap meja yang sudah cukup penuh makanan.
"Sudah kok Nya, tinggal teh untuk tuan," sahut Bik Sumi.
"Kalian sdah pada makan belum?" sambil menoleh ke arah kedua pembantu itu yang tengah berdiri di sampingnya.
"Belum, nya, tapi kita sudah menyisahkan makanan di dapur kok," jelas Bik Jumi.
"Eee-ee, bik tehnya mana. Mungkin sebentar lagi Mas Arga turun," timpal Fely.
Salah satu dari pembantu dua itu pun langsung pergi ke dapur untuk mengambil teh untuk majikannya.
"Ini, nya," sugguhkan pembantu itu dengan penuh kesopanan.
Tak lama, setelah teh itu disajikan di meja Arga, lelaki itu pun turun menuju meja makan dengan keadaan hati yang sedkit kesal saat melihat kedua pembantunya yang cukup mengesalkan hari ini.
"Hai, sayang. Udah selesai mandinya?"
"Udah kok," jawab Arga tersenyum.
Mereka berdua pun segera memulai makan malanya dengan penuh ke romantisan. Arga selalu di layani oleh Fely. Meski terkadang Fely masih merasa jika, dirinya saat ini belum bisa menjadi istri yang baik, setidaknya disaat seperti ini ia bisa melayani Arga dengan penuh ketulusan hati.
"Bik, kalau mau makan. Ya makan aja enggak apa-apa, gak usah nungguin kita," ujar Fely.
"Tapi, nanti kalau nyonya butuh sesuatu bagaimana?" gumam Bik Sumi.
"Iya saya bisaa ambil sendiri. Kalian kalau mau makan ya makan aja nggak apa, saya bisa melakukan segala hal dengan sendiri," jelas Fely.
Ia sama sekali tak ingin tergantung pada pertolongan pembantu, jika, hal itu terus saja berlanjut maka dirinya akan menjadi manusia yang super malas. Karena, saat ini juga diirnya mempunyai suami yang senantiasa harus dirinya layani.
"Tapi, nya," ucap Bik Jumi, dengan hati yang ragi ketika harus meninggalkan majikanya.
"Bik, udahalah enggak usah begitu. Ya itung-itung saya belajar mandiri, supaya enggak ketergantungan terus, lagi pula kalau Mas Arga butuh apa-apa saya bisa ngambilinnya. Udah sekarang kalian makan saja, jangan di tunda yang ada ntar malah sakit," jelas Fely, penuh senyuman.
Saat mendengarkan ucapan istrinya Arga benar-benar merasa bangga danta salah telah menikah dengan wanita yang ada di hadapan matanya ini.
"Ya sudah saya permisi, nya," pamit kedua pembantu itu, lalu segera pergi ke dapur.
"Hari ini aku sedikit kesal dengan mereka berdua, salah satu di antara mereka telah mengganggu momen kita," celoteh Arga dengan nada yang lirih.
"Hahaha, sudahlah mas. Jangan di buat berlarut-larut, yang sudah ya sudah," terang Fely, sambil tersenyum saat mendengarkan penuturan yang di ucapkan suaminya.
Mungkin, bukan suaminya saja yang sedikit merasa kesal namun dirinya juga merasakan hal itu. Tapi, hal itu tak penting dan momen seperti itu juga dapat terulang lagi disaat dan tempat yang pas.
"Heh! Memang kamu enggak kesal apa, momen kita jadi rusak karena mereka," dumel Arga tanpa berhenti.
"Hush, sudahlah mas. Hal itu dapat di lakukan lagi, udah buruan makan jangan ngedumel terus yang ada ntar mereka denger malah enggak enak," tutur Fely, sambil menuangkan segelas air putih untuk suaminya.
"Biarkan saja mereka dengar, itu yang aku mau," cetus Arga.
Wanita itu hanya bisa geleng-geleng atas sikap suaminya ini yang menurutnya terlalu berlebihan. Tapi, apa boleh buat kalau pun Arga di tegur terus-menerus yang ada dia akan semakin kesal.
***
Langit tampak gelap gulit, namun masih ada beberapa bintang yang germelap membuat sinar meski hanya seutir. Kaki terus saja melangkah namun, tak menemukan tujuan yang pas akan kemana.
Setiap sudut kota selalu ramai dengan kendaraan roda dua maupaun empat, dan jalan tampak begitu ramai sekali. Mobil berulang kali berlalu lalang.
Namun, Gisell memilih berjalan di trotoar dan menikmati kedaan malam hari yang indah dan sejuk. Walau pun, ia tak memiliki tujuan untuk pergi kemana.
Saat ini Gisell benar-benar merasa sangat suntuk dan bosan sekali berada di kos, dan malam ini juga ia tak mendapatkan jatah shift malam.
Rasa kegabutan kian melanda dalam diri Gisell, di kota sebesar ini, dirinya hanya tinggal seorang dari dan teman yang cocok dengan hatinya pun belum juga ia temukan.
Terkdang rasa rindu ingin berjumpa denga kedua kakaknya itu ada, tetapi semua itu harus dirinya tahan dan tak mungkin. Bila, ia harus pulang kekampung, Gisell masih memikirkan pekerjaanya dan ia juga tak enak dengan Arga yang sudah memberikan pekerjaan dan membantu dirinya untuk membiayai hidupnya dan keluarganya.
"Hufft, menyebalkan sekali rasanya sepi. Enggak punya temen deket, andai aja gua punya pacar setidaknya tak telalu gabut seperti ini," dengus Gisell sambil terus saja menyusuri jalan.
Saat kakinya terus saja melangkah seketika pendanganya mulai terpanah pada toko yang dikerumuni banyak orang.
Hatinya merasa tertarik dengan toko itu, lagi pula perutnya sudah sejak tadi merasa lapar namun berhubung tak ada hawa nafsu untuk makan. Maka dirinya mengurungkan niatnya.
"Aku kesana aja deh, ketimbang jalan terus begini enggak jelas," batinya sambil menoleh ke toko yang ramai itu.
Setiap malam hari tiba, menjadi saksi bisu Gisell atas segala keluh kesahnya dalam hidupnya selama ini dan terutama rasa rindu yang selama ini dirinya pendam untuk ayah dan ibunya yang sudah berada di surga.