Liburan ataupun refreshing untuk menenangkan otak adalah impian setiap seseoarang. Namun, kali ini Fely merasa bingung ia kegiatan apa yang akan dirinya lakukan dengan Arga saat liburan kelak. Untuk menjadi ibu, ia masih merasa sangat berat dan tak sanggup sama sekali. Yah, meskipun menjadi ibu ialah impian setiap wanita namun, Fely benar-benar belum ada keinginan.
"Nyonya kenapa ngelamun, itu makanannya mubazir enggak di makan-makan," sahut Bik Sumi, sambil melihat Fely yang termenung.
Ucapan pembantunya itu seketika membuyarkan fikiran yang terbenak dalam otak Fely "Ehhh, iya bik," ucap Fely sedikit gugup. Karena, ia merasa terkejut.
"Nyonya kenapa? Lagi banyak fikiran ya?" tanya Bik Sumi.
"Ya begitulah bik. Pusing saya tuh bik," timpal Fely dengan menyanggah kepalanya.
"Pusing kenapa lagi nya-nya, kalau orang kecil seperti saya ini ya wajar aja pusing karena, kekurangan uang. Kalau nyonya apa lagi yang mau di pusingin, uang udah ada, pekerjaan udah ada, bisnis banyak, suami juga ganteng, Tuan Arga juga setia orangnya. Terus apa lagi yang di pusingin," heran Bik Sumi sambil mengkerutkan keningnya.
Semua yang di katakana oleh pembantunya itu memang benar semua dan tak ada lagi yang salah, akan tetapi hal ini cukup membebani fikiranya hingga kini.
Bik Sumi terus menatap Fely yang terdiam dan menyanggah kepalanya. Ia berharap jika, majikannya ini mengatakan apa yang menjadi beban fikirannya.
"Mami, papi dan mertua saya. Minta saya agar segera punya anak bik," terang Fely.
"Wah, ya baguslah itu nya. Rumahnya jadi rame dan enggak sepi lagi," jawab Bik Sumi dengan wajah yang sumringah.
"Hah? Bibi kok bahagia benget sih?" heran Fely, melihat pembantunya tampak bahagia setelah dirinya mengatakan yang sebenarnya.
"Iyalah nyonya, nama punya anak itu impian setiap wanita. Bahkan ada yang rela habis ratusan juta hanya untuk bisa punya anak, jadi ya nyonya harusnya bersyukurlah. Lagi pula nyonya udah 3 tahun menikah tapi belum juga punya anak," jelas Bik Sumi.
"Tapi, bik. Aku tuh belum siap ntuk menjadi ibu," keluh Fely, sambil cemberut.
"Yealah nya, siap enggak siap ya nyonya harus siaplah. Jugaan sekarang status nyonya seoarang istri ya itulah salah satu kewajibannya," tutur Bik Sumi.
"Eeee-ee saya permisi dulu nya, mau nerusin nyiram bunga," lanjut Bik Sumi, sembari bergegas pergi ke dapur.
Segala penuturan yang Bik Sumi ucapkan hari ini, benar-benar terangkap dalam otak Fely. Perlahan-lahan dirinya mulai mencerna dan memahami semua tuturan pembantunya.
"Bener juga si apa yang di katakana Bik Sumi, sekarang statusku ialah seoarang istri," batin Fely sambil memain-mainkan makanannya yang ada di atas meja. Tak ada nafsu lagi untuk melahap makanan siang ini.
***
Rutinitas atau bahkan kewajiban bagi Arga untuk selalu mengecek bisnisnya, ia tak ingin ada kendala apapun yang sampai dirinya pun telat untuk mengetahuinya. Dunia perbisnisan kuliner itu tak sedikit pesaingnya.
Jadi, sebaik mungkin dirinya membuat produk yang bisa menarik konsumen.
"Pak, kita setelah ini kita mau kemana lagi?" tanya Udin supir Arga.
"Kita kembali ke restorant yang di Jakarta ya pak, ini juga udah siang saya belum makan" ujar Arga.
"Baik pak," sahut Udin, dengan segera menambahkan laju gas mobilnya.
Gisell masih penasaran dengan tawaran yang diberikan oleh wanita itu, ia ingin segera menyesalikan pekerjaan dan segera bertemu dengan wanita itu.
"Ehh, lu kok buru-buru banget mau kemana?" tanya salah satu teman kerja Gisell.
"Gua ada urusan," sahut Gisell singkat.
"Mau kemana? Kita ada kebagian shift malam ini," ujar teman Gisell.
"Hah? Shift malam Tis?" sontak Gisell.
Ia benar-benar lupa jika, malam ini dirinya ada shift malam. Sungguh hal yang menyebalkan bagi Gisell, padahal ia sudah tak bersabar ingin bertemu wanita itu. Namun, jika ada kendala seperti tak ada lagi hal yang bisa dirinya lakukan.
Meninggalkan pekerjaan ini bukanlah hal yang mudah bagi Gisell, ia tak ingin mengecewakan Arga yang telah mempercayai dirinya dan memberika pekerjaan ini juga.
"Huh, nyebelin banget sih!" dengus Gisell sambil menyandarkan tubuhnya di dinding.
"Lu kenapa kok jadi lemes gitu?" heran Tisa, teman kerja Fely.
"Emmm, enggak kok. Gua baik-baik aja," jawab Gisell sambil memalsukan senyuman.
"Gua saranin ya, hati-hati sama orang Jakarta, disini banyak penipu dan orang-orang jahat berkeliaran. Apa lagi lu orang baru, yang hal mudah bagi mereka untuk nipu lu," tutur Tisa dengan berdiri tegap sambil memandang Gisell yang duduk di bawah.
"Lu kok paham banget Tis?"
"Yah, gua udah hampir setahun disini, jadi ya gua paham banget seluk beluknya gimana. Dan gua pernah ngalamin juga," ungakap Tisa.
Gisell pun terdiam, ia merasa takut juga untuk menemui wanita itu. Namun, hatinya terus saja penasaran.
"Udah ah ayo kerja lagi," ajak Tisa, sambil mengulurkan tangannya.
Karena geram melihat Gisell tak segera mengajukan tangannya akhirnya Tisa pun memilih menarik tangan Gisell begitu saja. "Lu enggak usah kebanyakan mikirlah, yang penting sekarang kerja. Lagi pula disini gajinya juga gede," kekeh Tisa, sambil mendorong tubuh Gisell untuk pergi ke dapur.
"Pak saya mau makan dulu ya, bapak kalau mau makan ya ambil aja, bilang saya yang nyuruh," perintah Arga.
"Baik pak," sahut Udin.
Tak hanya makan saja namun, dirinya juga ingin menemui Gisell dan melihat bagaimana kinerja wanita itu. Jika, bagus hatinya tak akan menyesal membawa wanita itu untuk kerja di sini.
Saat Arga baru saja duduk di kusri seoarang pelayan sudah datang sambil membawakan makanan untuk dirinya. "Silahkan di makan pak," sahut pelayan tersebut sambil tersenyum.
"Iya terima kasih," jawab Arga singkat dan tersenyum tipis.
"Tolong panggilin Gisell dan manager ya," perintah Arga.
"Baik pak," jawab pelayan tersebut lalu bergegas pergi.
Hari yang cukup melelahkan baginya, survey kesana kesini sendirian. Arga memang tak ingin memiliki asisten pribadi karena ia lebih puas dengan dirinya yang terjun sekarang langsung dan melihat bagaimana kondisinya.
"Permisi pak, apa bapak manggil saya," ucap Gisell dengan penuh ke sopanan.
"Duduk, ada yang mau saya biacarakan," pinta Arga, dengan mulut yang terus saja menguyah.
"Managernya mana?"
"Dia lagi sakit pak, hari ini enggak berangkat," gumam Gisell.
"Oh, begitu,"
Gisell terasa canggung saat duduk di depan Arga dan tatapan mata Arga benar-benar siapa pun wanita yang melihatanya pasti akan jatuh cinta termasuk dirinya juga.
Namun, Gisell sangat tau batasan, dirinya dan Arga beda tingkatan, lagi pula Arga sudah mempunya istri yang cantik, pintar, dan baik.
"Bagaimana kerja di sini, apakah kamu nyaman?" tanya Arga.
"Allhamdulilah, saya nyaman banget pak. Dan saya juga bersyukur bisa bertemu denga lelaki sebaik bapak," ungkap Gisell dengan wajah yang sumringah.
"Ya bagsulah kalau kamu nyaman, saya juga ikut senang." Senyum Arga tipis.
"Lalu, kontrakan kamu bagaimana?" lanjut Arga.
"Iya pak, saya udah dapat kok,"
"Tempatnya gimana?"
"Yaaa, tempatnya lumayan baguslah pak. Cocok untuk di tempatin,"
"Lalu, sakit kamu bagaimana? Apakah masih ada pengobatan yang harus di lakukan?"
"Eeee-ee enggak kok pak, udah enggak ada lagi. Dan saya udah benar-benar pulih," senyum Gisell.
"Okelah kalau begitu, ini uang untuk bayar kontrakan kamu," ucap Arga sambil menyodorkan uang di dalam amplop berwarna coklat.
"Hah? Tapi pak, saya udaahh...."
"Sudahalah ambil saja, jika kelebihan ya kamu simpan untuk membiayai sodara kamu yang ada di Bandung," sambung Arga dengen menyela ucapan Gisell.
Setelah memberikan dirinya uang Arga pun langsung pergi tanpa berkata apapun lagi.
Gisell hanya bisa melongo dan tak percaya jika yang ada di tangannya ini ialah uang.