Lampu gemilang yang menyohor setiap sudut tak pernah padam saat malam hari tiba. Namun, ketika siang hari semua lampu tersebut dig anti dengan hiasan air mancur beserta dengan patung yang datap bergerak dengan otomatis.
Tak tau dari mana semua ini terinspiriasi, semua orang yang berkukunjung ke rumah Arga dan Fely merasa terpanah dengan hiasan yang berada di sisi kiri taman.
Hidup mereka berdua terlihat sempurna dan tak kekurangan apa pun. Terkadang pembantu yang kerja di rumah Arga dan Fely merasa heran sendiri dengan majikannya yang tak kunjung memiliki anak. Padahal usia perikahan mereka berdua sudah terbilang cukup lama.
Tapi, apalah daya bagi seoarang pembantu yang hanya mengerjakan pekerjaan rumah dan tak senooh jika ikut campur masalah majikannya.
Fely yang baru saja pulang kerja pun langsung pergi ke dapur untuk menumui pembantunya yang sedang memasak.
"Bik, nanti enggak usah masak ya. Aku sama Mas Arga mau makan malam bareng kelurga," ucap Fely.
"Iya nyonya," jawab pembantu dengan menganggukan kepala.
"Ya, udah bik aku mau ke kamar dulu ya capek banget soalnya," ujar Fely dengan memutar balik tubuhnya.
"Oh, iya bik. Tolong buatin jus ya bik aku haus!" teriak Fely dengan nada yang meninggi. Karena posisinya sudah di kamar atas ia terpaksa melakuka semua ini, meskipun ia sadar jika hal ini sangat tak sopan.
Tubuh yang terasa pegal dan kepala yang tetekan dengan berbagai pekerjaan Fely pun merebahkan tubuhnya di atas kasur sambil menatap atap kamarnya.
"Haduhhh, hari ini cukup melelahka sekali," keluhnya sambil terus menatap atap.
Hari yang panjang di penuhi dengan segala masalah bisnis, hal itu membuat otak Fely terasa mengebul. Tetapi, semua yag terjadi ialah sebagian dari hobby yang ia rangkai selama ini.
Bertahun-tahun ia merintih karier dan kini mulai terlihat buahnya. Bagi beberapa orang mungkin mengaggap dirinya hanyalah seorang anak tunggal yang amat di manja, apa pun semua kebutuhanya selalu terpenuhi.
*Tok tok tok....
Terdengar suara ketukan dari balik pintu. Fely yang sedang membayangkan masa-masa sulitnya kini seketika membuyar saat mendengarkan suara ketukan.
"Iya masuk," perintahnya. Ia pun segera bangkit dan berpindah duduk di sofa yang ada di dekat kasurnya.
Bik Jumi pun segera menyuguhkan jus yang Fely minta "Ini nyonya,"
"Iya bik, maksih ya. Kalau Mas Arga pulang, bilangin jangan ganggu aku dulu. Aku mau istirahat di kamar sebelah. Soalnya kepala aku pusing banget bik," gumam Fely sambil memegangi kepalanya.
"Iya nyonya. Apa mau saya pijetin?" tawar Bik Jumi.
"Gak usah bik. Makasih," sahut Fely tersenyum tipis.
Setelah menghabiskan jus yang di buatkan Bik Jumi, Fely pun segera berpindah ke kamar sebelah. Saat kepalanya sedang pusing seperti ini, ia tak suka ada orang yang menggangu dirinya ataupun mengelurkan kata sepatah kata pun.
***
Siang ini terasa terik sekali, matahari memancarkan sinarnya benderang hingga mata orang yang melihat cahaya akan terasa sakit.
Gisell merasa bosan dan jenuh saat melihat suasana yang di tatapnya hanya rumah sakit. Ia tak tau sampai kapan dirinya akan tinggal di sini.
Sebenarnya ia merasa sudah baikkan namun, perkataan dokter ialah pegangan utamnya.
Kini ia sudah tak lagi menggunakan kusri roda untuk pergi kemana pun, kakinya sudah cukup pulih utuk berjalan. Gisell memilih duduk di bawah pohon yang rindang. Relung hatinya merasakan sebuah ke rinduan pada kedua kakaknya.
Sudah hampir 1 bulan, ia tak memberikan kabar pada mereka. Setelah apa yang terjadi pada diriya belakangan ini, Gisell memilih mengurungkan niat untuk member kabar.
*Dring....
Terdengar suara deringan ponsel yang berasal dari saku bajunya,
"Kak Lisa," batin Gisell.
"Panjang umur nih orang, baru aja gua omongin," lanjutnya sambil terus menatap ponsel yag ada di genggaman tangannya.
"Halo, kak,"
"Salam gih, ini anak enggak ada berubah-berubahnya ya. Kalau ngomong sama orang yang lebih tua itu salam dulu," omel Lisa.
Seketika Gisell pun mejauhkan ponselnya dari telinga. Suara Lisa yang melengking membuat sakit gendang telinganya.
"Iya-iya kak, maaf. Lu tuh baru aja nevlon udah ngomel-ngomel," keluh Gisell dengan nada yang tak kalah tinggi dari Lisa.
"Lu gak kangen apa sama gua," lajut Gisell.
"Iya rindulah. Maka dari itu gua omel-omel, sepi tau di rumah gak ada elu. Gua sama Mas Farhan ngerasa ada yang hilang gitu gak ada elu di rumah," ungkap Lisa.
"Cihek, cihek, cihek, ceritanya kehilangan orang yang paling berharga ya," goda Gisell.
"Apaan si lu. Gak lu ahhh," dengsu Lisa nadanya terdengar sewot. Karena Gisell terus saja menggodanya.
"Iya kak maaf. Ya baguslah kalau gua gak ada di rumah, ntar gua pulang-pulang, kan, elu udah punya anak. Buru gih buatin gua ponakan," ledek Gisell.
"Lu kira bikin anak gampang kayak bikin roti di oven langsung jadi, lu aja yang bikin sana," nada Lisa kian menjadi-jadi.
Gisell tak bisa lagi menahan tawanya "Hahahah..."
Hatinya begitu riang saat meledek Lisa, meskipun dirinya amat rindu dengan kakaknya. Namun, hal ini cukup menghibur untuk menhilangkan rasa jenuhnya dan terutama rasa rindu.
Ia teringat biasanya jam segini dirinya dan Kak Lisa selalu menonton acara Tv bersama bahkan terkadang remote pun jadi bahan rebutan juga.
"Udah ah, jangan gitu. Gua rindu elu loh," ungkap Lisa.
"Iya, kakak sayang. Gua juga rindu elu banget,, banget, banget pake bangetlah," gumam Gisell.
"Ya udah stop ledekin gua. Kita kangen-kangenan dulu," timap Lisa.
"Iya kakak sayang. Oh iya, Mas Farhan dimana?
"Dia kerjalah, ini, kan mash jamnya kerja," seowot Lisa.
Di tengah permbicaraan Gisell dengan Lisa tiba-tiba seoarang perawat datang mendekati Gisell dan berkata "Ibu Gisell, mari kita lakukan pemeriksaan satu kali lagi,"
Saat mendegar suara perawat Gisell spontan kaget dan langsung menoleh kebelakang.
"Hah?" bingung Gisell dengan nada gugup.
"Iya buk, kata dokter ibu harus melakukan pemeriksaan satu kali lagi. Setelah itu baru ibu bisa pulang," ulang perawat itu sambil menatap Gisell yang terpongoh.
"Gisell, lu kenapa? Lu lagi dirawat ya? Gisell!" ucap Lisa. Berulang kali dirinya memanggil Gisell tapi tak kunjung mendapatkan jawaban.
"Mari buk," ajak perawat.
"Hah iya-iya, saya nanti menyusul," ujarnya sambil meringis.
Gisell bingung harus menjawab apa pada pertanyaan yang akan keluar dari mulut kakaknya. Ia merasa jika, kakaknya mendengar jelas apa yang di katakana oleh perawat.
"Halo, kak. Kakak manggil aku," sahut Gisell.
"Kamu tuh di panggilin gak ada jawaban. Eh, tadi kakak denger ada yang ngomong, kamu harus melakukan perawatan satu kali lagi. Itu apa maksudnya?" tanya Lisa.
Sudah Gisell tebak, jika kakaknya akan bertanya masalah ini.
"Duh mampus gua. Mesti jawab apa nih," dengus Gisell sambil mengigit jari tangannya.
Lisa bukanlah tipe orang yang mudah di bohongi, sekali pun hatinya masih menjanggal makam dia akan terus mecari tau yang sebenarnya.
"Gisell! Kamu dengerin kakak gak sih?" sentak Lisa. Nada bicaranya mulai meninggi, ia kesal karena Gisell tak merespon cepat ucapannya.
"Halo kak, iya gua denger kok. Tapi, sinyal di sini jelak banget, gua matiin dulu ya bye," ucap Gisell.
Tak ada cara lain baginya kecuali berbohong pada kakaknya. Ia tak ingin merepotakan siapa pun termasuk kakaknya sendiri.
"Semoga aja Kak Lisa gak curiga," batin Gisell sambil membalikan tubuh lalu segera pergi ke ruanganya.
Tak sabar untuk keluar dari rumah sakit dan segera menghirup udara segar dan menikmati indanya hidup dalam kesendirian.