Setelah sadarkan diri, Gisell masih belum diperbolehkan pulang oleh Dokter. Masih ada beberapa tahap pemeriksaan yang harus dilakukan oleh Gisell.
Berdiam diri dan merebahkan tubuh dengan terus menerus bukanlah hal yang menyenangkan bagi Gisell, secara tak langsung ia bukan tipe orang yang tenang dan suka bersantai.
Saat melihat Gisell bangkit dari tidurnya dan mulai menurunkan kaki ke lantai perawat rumah sakit pun langsung sigap menahan Gisell agar tak banyak gerak.
"Ibu mau kemana?" tanya perawat.
"Duh sus, saya tuh bosen masa setiap hari harus rebahan terus," keluh Gisell dengan nada sewot.
"Iya prosedur dari Doker begitu buk. Ibu jangan banyak gerak dulu ya," tutur perwat.
"Akh! Enggak mau saya. Bosen di sini terus saya mau keluar menghirup udara segar," ujar Gisell.
Dengan tekad yang kuat akhirnya Gisell pu berusaha untuk berdiri tegap tanpa bantuan siapa pun.
*Brukh...
"Awww, sakit.." ringik Gisell. Ia tak menyangka jika, kakinya memang belum sembuh total, bahkan untuk berdiri saja sangat sulit.
"Saya sudah bilang, kan. Ibu harus banyak istirahat karena, tubuh ibu belum cukup kuat untuk berdiri tegap," ungakap perawat sambil membantu Gisell untuk duduk di kasur.
Gisell hanya terdiam sambil memasang wajah masam, dalam hatinya terasa dongkol dengan keadaan yang menimpanya saat ini.
"Bentar saya ambilakan kusri roda dulu ya buk," sahut perawat. Perawat itu pun segera pergi meninggalkan Gisell yang masih duduk di kasur dengan keadaan kaki yang sakit.
"Argh! Kenapa gua jadi begini sih! Coba aja ada Kak Lisa, pasti dia 1x24 jam bakalan jagain gua," batin Gisell.
"Ini buk, pakai ini aja ya biar mudah," sahut perawat sambil membantu Gisell untuk duduk di kursi roda.
"Makasih ya sus," ucap Gisell.
"Iya sama-sama. Apa mau saya temenin buk?"
"Oh gak perlu, saya bisa sendiri kok makasih," ucap Gisell.
Apa pun yang saat ini terjadi saat ini Gisell tak ingin jika, sampai kabar ini terdengar di telinga Lisa dan Farhan. Ia tak ingin membuat mereka berdua panik atau pun merepotkan mereka berdua lagi.
Gisell sadar seterusnya, ia tak ingin membuat repot mereka . Bahkan ia bertekad untuk membuat mereka berdua bahagia dan bangga atas pencapaian yang dirinya dapatkan.
Matanya menatap luas pemandangan yang ada di depan mata, hatinya terasa damai dan tentram setelah keluar dari kamar.
"Kok gua rindu ya sama Kak Lisa," batin Gisell.
Tangannya terus menggenggam ponsel, namun, hatinya ragu ketika akan menghubungi kakaknya. Ia yakin Kak Lisa saat ini pasti sedang khawatir dengan dirinya. Apalagi sudah satu minggu ia tak menghubungi kakaknya.
"Kamu kesini merantau, kah?" tanya seseorang. Suarnya terdengar dari belakang Gisell, namun wanita itu kekeh dan tak ingin berkutik menoleh kebelakang.
"Eh, elu lagi," sahut Gisell.
Ia tak tau siapa lelaki dan dari mana lelaki ini berasal yang pasti Gisell merasa bersyukur di pertemukan dengan lelaki sebaik dia.
"Kok lu rajin banget si jengukin gua? Padalah kita gak saling mengenal," heran Gisell sambil kening mengkerut.
Arga seketika terdiam, ia ragu untuk mengutarakan kejadian yang sebenarnya pada wanita yang ada di hadapannya saat ini.
"Hei! Btw, kok diem si. Lu denger, kan, tadi gua bilang apaan,"
Mata Gisell menatap lekat wajah lelaki yang ada di depannya. Hatinya merasa ada suatu hal yang lelaki ini sembunyikan dari dirinya.
"Ehh, sory-sory. Ia gua denger kok," jawab Arga dengan nada gugup.
"Saya ke sini mau jelasin yang sebenarnya terjadi," lanjut Arga, namun nadanya kian melirih.
Ia takut jika, wanita yang ada di depannya ini tak akan terima dengan kejadian yang sebenarnya.
"Apa?" sahut Gisell.
"Ehhh, tapi ntar deh. Gua lihat-lihat muka lu kok gak asing sih," gumam Gisell.
Matanya tak lepas menatap Arga, hatinya masih merasakan hal yang menjanggal tapi tak bisa dirinya ketahui.
"Aku pun merasa begitu," sahut Arga. Kembali menatap Gisell dengan lekat.
"Eh, lu itu bukannya orang yang pernah nabrak gua ya?" tebak Gisell.
"Hah? Gua?" Ucap Arga. Otaknya terus berfikir berusaha mengingat segala hal yang pernah terjadi dalam dirinya.
"Oh, jangan-jangan kamu," potong Arga.
"Kamu yang mau aku tabrak di malam itu hari ya? Lanjut Arga.
"Malam?" bingung Gisell.
Setelah teringat semuanya Gisell sadar, jika, lelaki yang ada di hadapannya adalah orang yang ingin menabrak dirinya pada malam hari.
Ia tak menyangka akan bertemu lagi dalam situasi seperti ini.
"Oh, jangan-jangan elu juga ya, yang nabrak gua? Sampe gua begini," timap Gisell. Matanya terlihat sinis menatap Arga yang tepat berdiri di depannya.
Melihat gerak-gerik lelaki yang ada di hadapanya, Gisell mulai merasa curiga hatinya mengatakan kalau ucapannya ini benar adanya.
"Eee-ee, saya kesini mau minta maaf," ucap Arga. Tangannya mulai meraih tangan kanan Gisell. Mata kedua insan kini saling beradu.
"Maaf? Kenapa?"
"Sebenarnya malam itu saya enggak sengaja sudah menabrak kamu, dan kamu begini pun karena saya. Tapi, tenang saya bakalan tanggung jawab kok apa pun yang kamu butuhkan bilang aja, saya akan penuhi semua. Mohon terima permintaan maaf saya," ucap Arga dengan keadaan berlutut pada Gisell.
Ia tak ingin hidup dalam kesalahan atau pun di penuhi dengan rasa bersalah, karena, masalah ini bukanlah hal yang sepele bagi dirinya.
"Oww, sepertinya dia orang kaya deh," batin Gisell.
"Kalau gua minta kerjaan mungkin, bakalan di kasih ya," ulangnya lagi dalam hati.
"Hei! Btw, maafin aku, kan?" dengan tatapan mata yang tampak teduh.
"Emmmmm, it's oke gak papa. Gua maafin lu," jelas Gisell.
"Terima kasih banyak," ungkap Arga dengan spontan menggengam tangan Gisell dengan erat.
"Tapi.."
"Tapi apa?" tanya Arga denga kening yang mengekerut.
"Gua butuh kerjaan nih, lu bisa bantu gua, kan?"
"Oh, tentu. Tentu saja, kebetulan saya punya beberapa cabang kuliner dan saat ini memang sedang membutuhkan karyawan. Kamu mau, kan?" sahut Arga.
"Oh, tentu saja saya mau. Gak papa pekerjaan apa aja yang penting halal," ungkap Gisell.
"Ya, bagus deh. Kalau kamu sudah boleh keluar dari rumah sakit, kamu saya dan ini kartu nama saya beserta no handphonenya," ujar Arga.
Ia merasa bahagia ketika bisa membantu sesama, apa lagi seseorang itu sedang dalam kesulitan dan membutuhkan pekerjaan.
"Ya sudah saya permisi dulu, jaga diri kamu baik-baik," tanganya sambil menepuk pundak Gisell.
Gisell menoleh kebelakang dan menatap tubuh Arga hingga hilang dari pandanganya.
"Allhamdulih, gua gak nyangka bakalan nemuin orang sebaik dia di kota sebesar ini," batin Gisell, dirinya merasa kagum pada Arga yang senatiasa bertanggung jawab atas segala perilakunya.
Dengan pekerjaan yang di berikan oleh Arga, Gisell berharap dirinya bisa sukses dan membuktikan pada kedua kakaknya jika, ia juga bisa untuk hidup mandiri.
Dan tak lagi meroptkan orang lain lagi.
"Ibu Gisell," panggil seseorang dari arah belakang.
"Ibu, ayo masuk ke dalam. Karena, Dokter akan memeriksa kondisi ibu saat ini," lanjut perawat.
"Oh iya sus," ucap Gisell dengan penuh semangat.
Rasa semangat untuk segera pulih kini membara pada hati Gisell. Ia merasa tak sabar untuk segera bekerja dan menghasilakn uang dari keringatnya sendiri.
Baginya yang terpenting saat ini ialah membahagia kedua kakaknya.
Yang seharusnya orangtua. Namun, posisi tersebut telah di gantikan oleh Kak Lisa dan Mas Farhan. Hanyala mereka berdualah harta yang paling berharga bagi hidup Gisell.
Karena, hanya mereka berdua yang mau merawat dirinya dengan penuh ke ikhlasan.