"Athena kita harus per... gi." Aslan berdiri di ambang pintu, menatap Athena dengan beberapa teman laki-lakinya.
Aslan tersenyum tipis, Athena tetaplah Athena. Tak ada yang bisa berubah, sifat psikopat akan terus melekat sampai saat ini.
"Aslan, tolongin gue Lan!" teriak Jona dengan sekuat tenaga.
"Bacot!" sahut Athena sebelum menendang kepala Jona keras.
Cowok itu terkulai lemas di bawah sana. Kemeja, dan pelipisnya berlumuran darah. Rasanya sangat perih, dan sakit, tapi ketiga manusia yang sedang menatapnya sambil berdiri itu hanya menyeringai puas.
"Na, kenapa lo gini lagi Na?" Aslan mencoba untuk mendekati Athena, menggenggam tangan gadis itu dengan erat.
"Maksud lo apa?"
"Seminggu yang lalu, lo lupa sama obrolan kita di bukit? Bukannya lo sendiri yang bilang bakalan berubah?" tanya Aslan bingung.
"Oh yang itu, gue lagi stres, jadi gue iyain aja apa kata lo waktu itu."
"Apa? Stres? Gue yakin lo sadar waktu itu Na! Gue yakin banget kalau lo masih sadar, dan lo paham apa yang lo omongin!" sahut Aslan dengan nada yang lebih tinggi.
Athena tertawa, melepaskan tangannya dari genggaman Aslan, dan berkata, "Sekarang gue tanya, sebenernya lo kan yang nyoba buat ngerubah gue? Jujur aja!"
Aslan terdiam, keningnya bertaut dalam. Ia tidak percaya dengan perubahan Athena yang begitu cepat.
"Oke, gue jujur emang dari awal niatan gue buat ngubah lo jadi lebih baik," sahut Aslan sebelum akhirnya berjalan menjauhi Athena.
Rahang Athena mengeras, dengan perasaan kesal, Athena membanting ranselnya, dan kemudian menendang ransel berwarna biru itu dengan kuat, "Buat apa lo ngerubah orang Lan?!"
Pertanyaan Athena membuat langkah kaki milik Aslan berhenti.
"Ngerubah orang itu gak segampang ngebalikin telapak tangan Lan! Lo gak bisa minta orang berubah, lo gak ada hak buat itu!" teriak Athena, "Kalau dia emang pengen berubah, pasti berubah kok Lan. Tanpa harus nunggu permintaan dari lo."
Aslan berbalik, menatap manik mata Athena dengan tatapan datar, "Gue tau."
"Artinya lo tau, kalau lo gak bisa ngerubah orang," sahut Athena, "Jangan pernah mikir buat bisa ngerubah orang Lan, mendingan lo ubah diri lo sendiri!"
Aslan terdiam, ia tidak bisa membalas perkataan Athena kali ini. Ia lebih memilih untuk menyinggungkan senyuman sebelum angkat kaki dari tempat itu.
***
Cowok itu berjalan dengan cepat memasuki kamarnya. Melempar ranselnya ke sembarang arah kemudian duduk di atas meja belajar. Helaan napas keluar dengan begitu berat, wajahnya nampak kusut, padahal cuaca sedang cerah.
Ia kembali menghela, rahangnya pun mulai mengeras. Detik berikutnya, helaan napas yang lebih panjang kembali keluar. Aslan merasa lebih baik, tapi masih ada yang mengganjal dalam benaknya.
Di liriknya rumah besar melalui jendela kamar. Belum ada tanda-tanda pemilik rumah di dalam sana, Aslan yakin jika Athena masih berada di dalam kelas tambahan hari ini.
Cowok itu mulai beranjak, menutup jendela kacanya dengan gorden dengan begitu rapat, kemudian berjalan keluar. Menuruni setiap anak tangga dengan raut muka tak bersemangatnya.
Ia mulai duduk, meletakkan kepalanya di atas pangkuan Ana sambil menatap wajah wanita itu tanpa tersenyum.
"Kenapa Sayang?" tanya Ana sambil mengelus puncak kepala Aslan perlahan.
"Ma, salah gak sih kalau aslan minta orang buat berubah?"
"Hm, gak salah kok Aslan. Di dunia ini ada dua tipe manusia, yang pertama orang yang bakalan mau berubah, dan yang kedua orang yang gak bisa berubah," sahut Ana panjang, "Tipe orang yang kedua ini yang susah. Mau kamu usaha sebesar apa pun, kalau bukan dari hati dia sendiri, gak bakalan dia mau berubah."
"Aslan ketemu sama orang yang tipe kedua Ma. Ekspektasi Aslan terlalu tinggi buat dia." Aslan tersenyum kecut, ia masih merasa jengkel.
"Perempuan ya? Kamu pasti suka sama dia."
"Mama tahu darimana?"
"Tahu dong! Kamu kan anak mama, jelas mama paham sama kamu. Kamu kesel kenapa? kamu lagi ngomongin siapa? mimik wajah itu gak bisa bohong Aslan," sahut Ana dengan tersenyum gemas.
"Ma, aslan suka sama orang yang gak baik. Dia beda Ma, dia baik emang, tapi dia juga emosian. Minusnya lagi dia suka bully orang di sekolah," jelas Aslan panjang lebar.
Ana terdiam, ia tengah berpikir untuk kasus yang satu ini. Pasalnya, putra tunggalnya ini sangat jarang membicarakan seorang perempuan, apa lagi perempuan yang tidak memiliki kepribadian baik, sudah jelas Aslan akan menjauhinya.
"Salah gak sih Ma kalau aslan suka sama dia?" tanya Aslan.
"Kenapa kamu suka sama dia?"
"Gak tahu kenapa aslan ngerasa nyaman di deket dia. Dia orang yang asik, tapi terlalu dingin. Dia juga susah buat senyum, terus... dia itu selalu jadi diri dia sendiri, tanpa peduli sama orang-orang yang benci sama karakter dia."
"Jadi kamu suka sama perempuan yang kaya gitu ya?" tanya Ana.
Aslan mengangguk sebagai jawabannya.
"Gini Sayang, mama gak mau minta banyak-banyak ataupun nyuru kamu buat jauhin dia. Mama pikir kamu harus perjuangin dia kalau emang bener kamu suka sama dia, mungkin nanti secara perlahan karakternya itu bakalan berubah."
"Tahu darimana?"
"Aslan, lambat laun manusia akan berubah Sayang. Gak ada manusia yang selalu sama, pasti bakalan berubah."
***
Cowok tinggi itu berjalan dengan perlahan menelusuri koridor sekolah. Suasana yang sangat sepi membuatnya menikmati setiap langkah yang di ambil. Aslan tidak mengerti kenapa di jam sepagi ini masih sepi, padahal biasanya jam setengah tujuh pagi sudah banyak siswa yang berdiri atau sekadar duduk sambil membaca buku di depan kelas.
Aslan menghela panjang, ia tidak ingin membahas soal sepinya sekolah hari ini. Pasalnya ia menangkap satu gadis cantik yang sedang berjalan bak model di ujung sana. Rambut panjangnya terlihat terbang ketika berjalan, angin kecil yang membantunya membuat wajah mungil itu semakin terlihat imut, dan sexy.
Aslan terdiam, dan masih melanjutkan jalannya tanpa melirik Athena ketika berpapasan. Namun, tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Ia segera berbalik, berlari menyusul gadis cantik itu sambil menarik lengan kanan Athena pelan.
"Apaan sih?!" ketus Athena.
"Gue mau minta maaf sama lo Na," ucap Aslan setelah melepas cekalannya.
Athena menghela, membersihkan lengan kanannya dengan sapu tangan sambil menatap Aslan tajam.
"Minta maaf buat apa?"
"Buat semuanya."
"Iya semuanya itu apa aja? Kasih tahu dong! Gue aja gak ngerti lo mau minta maaf sama kesalahan yang mana," sahut Athena yang masih saja ketus.
Aslan menghela panjang, "Na, gue minta maaf buat masalah olimpiade, gue minta maaf buat masalah yang pengen ngerubah lo itu, dan gue minta maaf udah ninggalin lo gitu aja kemarin."
Gadis itu tersenyum miring, melirik ke arah lain sambil tertawa kecil. Athena merasa aneh dengan suasana yang tiba-tiba berubah drastis, ia merasa ada sesuatu yang megganjal di sana, tapi Athena tidak tahu apa itu.