"Oke, gue maafin."
"Serius Na?" tanya Aslan senang.
"Iya."
"Jadi kita masih temen kan Na? Lo gak akan ketus lagi kan sama gue Na? Iya kan Na?" tanyanya berulang kali dengan raut muka yang begitu gembira.
"Iya, kita masih jadi temen. Ngomong-ngomong Lan, gue minta maaf juga buat olimpiade kemarin, gara-gara emosi yang gak bisa gue tahan, lo jadi gugur," ucap Athena yang merasa bersalah.
Aslan tersenyum tipis, mengelus puncak kepala Athena pelan, dan berkata, "Gapapa, gue paham kok sama apa yang lo rasain. Jangan ngerasa bersalah, lo harus semangat ya!"
Gadis itu menatap Aslan dengan kening bertaut, ia tidak paham dengan apa yang di bicarakan cowok tinggi itu. Semangat? Semangat apa yang di maksud, padahal Athena sedang tidak merasa terpuruk.
"Semangat buat kelas baru lo Na, gue tahu lo pasti sibuk. Apa lagi materi yang lebih banyak itu bisa bikin stres loh."
"Gue udah biasa."
"Ahaha! Iya, gue lupa kalau lagi ngobrol sama Athena, cewek yang gak pernah ngerasa punya beban," sahut Aslan dengan tawa renyahnya.
"Gue sibuk, nanti kita lanjut lagi ngobrolnya." Gadis itu mulai berlari menaiki anak tangga, pergi meninggalkan Aslan yang masih berdiri sambil menatap kepergiannya dengan senyuman tipis.
๐
Gadis dengan gaun berwarna biru pirus itu duduk di depan pria paruh baya yang sejak tadi sudah menunggu kehadirannya. Tanpa senyuman ataupun sapaan yang bertanya tentang kabar, mereka berdua saling diam.
Hanya suara benturan sendok, dan garpu pada piring yang terdengar. Suasananya terlalu kaku, keluarga kecil itu tampak tidak akrab malam ini.
Nerman merasa jengah, ia mulai meletakkan sendok dengan garpunya di samping kanan, dan kiri piring. Meminum anggur merahnya perlahan, dan kemudian mulai menatap putri tunggalnya dengan ramah.
"Papa denger kamu masuk kelas akselerasi lagi ya?" tanya Nerman yang mencoba untuk mencairkan suasana.
"Iya."
"Papa seneng dengernya, jadi kemarin papa nambahin kelas biola buat kamu."
"Buat apa?" tanya Athena yang masih tidak menatap lawan bicaranya.
"Nambah hal baru, emangnya kenapa? Papa pengen kamu jadi pemain biola terkenal nanti."
"Terkenal di kalangan kolega Papa kan? Gak mungkin dong aku jadi pianis, atau pemain biola beneran." Kali ini Athena menatap Nerman dengan tatapan datar.
Nerman tertawa kecil, menuangkan botol anggurnya ke dalam gelas, sambil berkata, "Engga Athena, papa serius kali ini."
"Kalau serius kenapa gak nanya dulu ke aku? Kenapa secara tiba-tiba? Kenapa Papa selalu sok tahu sama apa yang aku pengen sih?!" ketus Athena.
"Emangnya kamu ini pengen apa sih Na? Rumah udah, mobil udah, saham juga udah, uang buat liburan ke luar negeri pun udah ada, terus kamu mau apa?" tanya Nerman yang masih tak paham dengan keinginan putrinya.
"Aku pengen idup tenang Papa, aku gak mau terus-terusan mikirin soal pelajaran!"
Pria paruh baya itu menghela, ia tidak pernah merasakan suasana keluarga harmonis. Selalu saja begini, pertikaian antara dirinya dengan Athena yang tak ada habisnya. Namun, walau begitu ia tetap menyayangi gadis itu. Rasa sayangnya sangat tulus, sampai-sampai ia bingung harus melakukan apa agar Athena paham jika Nerman sangat mencintainya.
Namun, sekarang Nerman paham. Putri tunggalnya itu hanya ingin kedamaian dalam hidup, ia tidak mau ada pertikaian, pelajaran penuh selama empat bulan, dan selalu naik kelas dengan begitu cepat. Masa mudanya hanya habis dengan belajar, tanpa ada percikan cinta dari keluarga ataupun teman dekat.
"Kamu pengen hidup tenang yang kaya gimana sih Na? Kamu udah tinggal sendiri, tinggal sama papa juga gak mau," ucap Nerman sedikit bingung.
"Aku mau tinggal di Australi, aku gak mau di sini."
"Oke, lulus nanti kamu pindah ke Australi, lanjutin studi di sana. Tapi ada satu syarat."
Gadis itu menghela kesal, ia tidak mau lagi dengan syarat yang menyebalkan. Apa lagi syarat dari ayahnya itu selalu membuatnya stres, dan hendak berubah menjadi gadis gila.
"Tenang Na, kamu cuman perlu belajar yang bener di sekolah, berhenti bully atau ngebuat sesuatu yang bikin reputasi papa hancur!"
"Ya ampun! Papa, aku itu negakin keadilan. Ini soal harga diri Papa, ini soal harga diri aku yang di injek-injek sama mereka gara-gara mama!" jelas Athena kesal.
"Iya papa tahu soal itu, papa paham sama kamu. Tapi mau sampai kapan Na?"
"Papa bilang kalau Papa paham, tapi kenapa nanya sampai kapan? Maksudnya apa sih? Papa gak dukung aku?"
"Papa dukung kamu Athena, cuman bukannya lebih baik di selesain secara kekeluargaan aja? Gak usah pakai kekerasan!"
"Terserah Papa aja deh, aku capek ngobrol sama Papa di rumah ini. Aku capek harus duduk lama-lama di sini sambil inget soal kenangan adanya leisha!" ucap Athena yang lebih kasar sambil beranjak dari duduknya.
"Duduk Athena!"
"Papa aja yang duduk, aku mau pulang!" sahut Athena sebelum melenggang pergi meninggalkan ruang makan sambil menggerutu.
Nerman hanya bisa mengelus dada, sambil menatap kepergian putri sulungnya itu.
๐
Gadis itu berjalan dengan lunglai. Tiba-tiba saja langkahnya terhenti, tatapan kosong itu pun berubah menjadi kesal. Sebuah surat undangan tergeletak di atas meja, senyuman kecut mulai terukir.
"Jangan lupa dateng ya Na, ini pernikahan kedua mama. Mama mau kamu dateng minggu depan!" ucap Leisha sambil berjalan menghampiri Athena dari arah kamar tamu.
"Ma, jangan nikah lagi!" titah Athena pelan.
Langkah Leisha terhenti, ia mulai melipat kedua tangannya dengan dahi bertaut dalam.
"Kenapa? Mama gak akan berubah kok Na, tetep jadi mama kamu."
"Aku gak masalah Mama mau cerai sama papa, aku gak masalah. Tapi aku gak mau Mama nikah lagi! Ngertiin aku dong Ma, sekali aja tolong!"
"Mama selalu ngertiin kamu Sayang, sekarang gantian kamu dong yang ngertiin mama!"
Athena tak bisa membendung air matanya, sejak tadi ia mencoba untuk merubah mimik wajahnya agar terlihat lebih tegar.
"Ma, anak mana sih Ma yang mau Mamanya nikah lagi? Anak mana sih yang mau punya orang tua tiri? Anak mana?!!" teriak Athena kesal.
"Na! Jangan kaya gini dong, kamu itu bukan anak kecil lagi!"
"Mama yang jangan kaya gini! Mama gak pernah dengerin permintaan aku, terus sekarang aku minta juga gak Mama penuhin!" teriaknya lebih keras, "Buat apa aku hidup sih kalau akhirnya aku hidup sebatang kara? Buat apa aku di lahirin kalau akhirnya Mama sama papa gak becus jadi orang tua?!"
Sebuah tamparan keras mendarat tepat pada pipi kanan Athena. Leisha geram, wajahnya berubah menjadi perah padam karena kesal. Wanita itu menatap Athena tajam, membantu putri semata wayangnya untuk kembali menegakkan kepala sambil memperbaiki rambut yang berantakan.
"Jaga ucapan kamu Athena!" titahnya dengan suara yang lebih pelan.
Athena masih membisu dengan tatapan kosong selama beberapa menit. Gadis itu mulai melirik ke arahย Leisha.
"Kenapa Mama lahirin aku sih? Kenapa Mama rawat aku sampai gede gini? Kenapa Ma? Kenapa sih harus kaya gini Ma?"
"Itu karena mama pengen punya anak, mama sayang sama kamu Athena."
"Sayang?" Athena tertawa sambil menyeka air matanya, "Aku gak pernah bilang loh Ma kalau aku mau lahir. Kalau bisa milih, aku gak akan mau lahir dari rahim Mama, dan jadi anak Mama!"
"Athena!!" bentak Leisha geram.
"Apa?! Mama mau apa lagi sih?! Aku udah capek Ma, aku mau istirahat! Pintu keluar ada di sebelah sana kalau Mama lupa," sahutnya sebelum melenggang meninggalkan Leisha yang masih menatap Athena tak percaya.