Bukit beserta banyaknya pohon besar terlihat mengecil dari atas sana. Warna hijau dengan sedikit warna kuning menghiasi pemandangan indah itu. Angin cukup kencang terus berdatangan, membuat rambut panjang itu mengembang di belakang sana.
Aslan hanya membisu, menatap raut muka Athena yang kini terlihat bahagia. Gadis itu tersenyum, senyuman tipis yang terlihat sangat bahagia. Ini kali pertamanya, dan akan menjadi sesuatu yang sangat spesial bagi Aslan.
"Aslan."
"Kenapa Na?" sahut Aslan cepat.
Athena menggeleng, mendaratkan bokongnya di atas rumput sambil menghembuskan napas panjang. Kakinya terasa pegal karena terlalu lama berdiri, tapi sinar matahari tak membuatnya untuk meneduh. Gadis itu masih setia berdiam diri di bawah terik matahari. Bersama Aslan yang sejak tadi menatapnya.
"Aslan, gue orang jahat kan?" tanya Athena yang masih fokus menatap ke depan.
Aslan ikut duduk, menghadap Athena dengan kening yang bertaut, "Engga, lo orang baik, cuman lo ngeselin."
"Sebaik apa?"
"Sebaik yang gue tau. Intinya lo baik, lo masih peduli sama orang lain, meskipun caranya yang salah," jelas Aslan.
Athena menoleh, menatap cowok itu dengan tatapan datarnya, dan tiba-tiba senyuman tipis itu kembali mengembang.
"Gimana caranya supaya gue gak jahat ya Lan? Gue ngerasa kalau gue ini jahat, terlalu kaku. Kekuasaan yang gue pake supaya gak ada yang berani sama gue."
"Lo kaya gitu pasti ada alasannya."
"Jelas adalah, gak mungkin gak ada!" cetus Athena.
"Sabar dong sabar! Ngegas mulu, gak capek apa?"
"Engga."
"Kalau misalnya gue minta lo berubah gimana? Lo mau?" tanya Aslan hati-hati.
"Berubah gimana?"
"Berubah jadi Athena yang dulu, bukan Athena yang sekarang. Jadi lebih baik ke orang lain, gue yakin banyak orang yang bakalan suka sama lo," jelas Aslan.
"Apa cara itu bisa bikin gue sama bokap akur ya?" kali ini perhatiannya beralih pada ilalang yang tumbuh di dekatnya.
"Jadi ini karena bokap lo?"
Athena mengangguk tanpa menatap lawan bicaranya.
"Hm, gue pikir bisa deh Na. Lo bisa jadi orang yang sesuai sama kemauan bokap lo, tapi tetep jadi diri lo sendiri!"
Gadis itu kembali menghela panjang, ia merasa bingung. Banyak tuntutan dari Nerman, dan banyak pula keinginannya untuk berlari dari siksaan itu. Namun, ia merasa bersalah ketika melihat Nerman yang sekarang kesepian, tanpa ada Leisha, dan dirinya di dalam rumah sebesar itu.
"Gue jahat gak sih Lan gara-gara udah ninggalin bokap sendirian di rumah. Nyokap juga pergi, sisa bokap doang di rumah gue," ucap Athena sedikit kesal.
"Gue gak tau Na, bingung jawabnya. Ada dua sisi, lo pengen mandiri yang artinya gak bisa di salahin, tapi di sisi lain lo pergi karena lari dari semua masalah di rumah itu. Lari itu bukan jalan keluar Na," jelas Aslan.
"Jadi gue harus apa?" tanya Athena dengan raut muka frustasi.
"Pulang Na, kasian bokap lo sendirian di sana. Gue yakin dia bakalan seneng kalau lo pulang."
Athena tak menjawab, ia memilih untuk mengeluarkan ponselnya yang terus saja berbunyi dengan nyaring.
Kening Aslan bertaut, ia tidak tahu siapa orang yang sedang menghubungi gadis itu.
"Siapa Na? Kok gak di angkat?" tanya Aslan bingung.
"Nyokap gua, gak penting," sahut Athena sebelum menon-aktifkan ponselnya.
"Tapi... kenapa namanya leisha?"
"Terlalu bagus buat di sebut ibu Lan, toh dia bukan ibu yang baik buat gua."
"Seburuk apa pun sifat nyokap lo itu, dia tetep nyokap lo Athena. Lo gak bisa putusin hubungan darah itu, Tuhan gak suka."
"Gitu ya?" tanya Athena kesal.
"Iyalah Na, jangan kesel sama gue dong!"
"Engga sih, gue santai."
"Muka lo gak bilang santai, lo marah kan sama gue?"
Athena menggeleng sambil memberikan senyum, "Engga kok. Makasih ya Lan, lo emang yang terbaik sebagai temen gue!"
****
Cowok itu terus berlari dengan raut muka panik. Sesekali jam tangan di liriknya sambil mengecek setiap kelas di gedung lantai tiga. Orang yang di carinya tidak muncul, berkali-kali Aslan mencoba untuk menelepon, tapi tetap saja tidak di angkat.
Aslan menghela jengah, keringatnya mulai membasahi pelipis beserta kemeja berwarna biru itu. Ia tidak tahu harus mencari kemana lagi teman satu team-nya. Padahal hari ini adalah hari paling penting untuknya, piala harus di dapat, dan Athena harus segera di temukan.
"Aslan?"
Suara seorang wanita itu membuat langkahnya terhenti. Aslan segera berbalik, berjalan menghampiri Bu Ari yang sudah bersiap di depan kelas XII IPA4.
"Bus udah di bawah, lima belas menit lagi kalian semua harus udah ada di bus. Kenapa masih ada di sini? Kenapa kemeja kamu basah juga Aslan?" omel Bu Ari dengan kening bertautnya.
"Bu saya mohon kasih waktu sedikit lagi, saya harus nemuin athena," pinta Aslan, "Athena belum datang Bu, saya gak tahu dia di mana. Sejak tadi saya telepon, tapi gak di angkat-angkat."
"Kamu udah coba cek di kelas akselerasi?"
Kening Aslan bertaut dalam, "Kelas akselerasi?"
"Iya, per hari ini Athena di pindahkan ke kelas itu. Mungkin dia ada kelas pagi ini, terus dia lupa sama jadwal olimpiadenya."
Aslan terdiam, ia merasa kesal karena Athena tidak memberitahu tentang kepindahannya yang mendadak. Apa lagi sejak kemarin dirinya sudah memberitahu gadis itu jika hari ini adalah hari penting untuk olimpiade.
"Saya gak bisa kasih kamu waktu lebih ya, tolong cepet temuin athena. Kalau lebih dari lima belas menit gak ada kabar, terpaksa kita harus berangkat tanpa dia," ucap Bu Ari.
Aslan mengangguk, mengucapkan terima kasih, dan kembali berlari menaiki anak tangga menuju lantai lima.
"Kelas akselerasi buat kelas sebelah IPS di mana ya?" tanya Aslan pada salah satu siswi yang tengah membaca buku di depan pintu kelas.
"Ada banyak, lo cari siapa emangnya?"
"Athena."
"Oh, di kelas paling ujung tuh!" sahutnya sambil menunjuk.
"Ah! Makasih ya!" ucap Aslan sebelum kembali berlari.
Aslan mulai mengetuk pintu, kemudian masuk sambil memperhatikan penghuni kelas yang juga ikut menatapnya dengan kening bertaut dalam.
"Ada athena?" tanyanya dengan napas yang tersengal.
"Lorong belakang," sahut cowok berkacamata itu.
Kening Aslan bertaut dalam, mencari Athena sama seperti mencari jarum di dalam tumpukan jerami.
"Gue harus lewat mana buat ke sana?" tanya Aslan kesal.
"Di sebelah kelas ada koridor, lo jalan lurus, terus pas ada pertigaan belok kiri!" jelasnya.
Aslan mengambil napas panjang, kemudian memberikan anggukan pada cowok asing itu. Ia kembali berlari, mengikuti sesuai dengan petunjuk.
Suara perempuan dengan beberapa anak laki-laki terdengar lirih. Aslan yakin jika itu suara milik Athena, tapi ia juga bingung kenapa Athena mengunjungi tempat sesepi ini? Padahal ada kegiatan yang lebih penting dari mengobrol dengan anak laki-laki itu.
"Athena kita harus per... gi."