Kelas pagi ini telah usai, guru perempuan itu mulai merapikan barang-barangnya, dan berjalan keluar. Di ikuti oleh beberapa siswa yang tak sabar untuk mengunjungi kantin.
Aslan hanya diam tak bergutik, perhatiannya terpusat pada papan tulis yang ada di depan. Angka-angka yang tercetak di sana membuat otaknya terus berputar. Mencari jawaban yang tepat untuk setiap pertanyaan dari soal kalkulus.
Menurutnya bab kalkulus adalah bab yang paling sulit, padahal trigonometri juga tak kalah sulit. Namun, kalkulus tertata pada angka nomor satu dalam daftar yang paling sulit menurutnya.
"Lo ngapain sih?" tanya Wildan.
"Nyari jawaban soal." Aslan beralih menatap Wildan yang berdiri di samping meja, "Lo mau ke kantin?"
"Iya, lo mau ikut gak? Gue udah laper soalnya."
"Ayo!" Aslan mulai beranjak, kemudian memasukkan semua alat tulisnya ke dalam ransel paling belakang.
Mereka berdua berjalan keluar, menyusuri koridor sekolah yang begitu ramai. Banyak sekali siswi sekolah itu yang sedang merapikan polesan make up mereka. Sementara yang lainnya mencoba untuk merapikan rambutnya.
"Kalkulus itu susah, gue aja gak pernah bisa," ucap Wildan tiba-tiba.
"Gimana mau bisa? Tadi aja lo tidur."
Cowok itu terkekeh kecil, "Gue bosen liat angka, mendingan liat pembahasan ekonomi."
Aslan hanya menghembuskan napas gusar, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya sambil menuruni anak tangga.
"Ekonomi juga ada bagian angka, lo tetep suka?" tanya Aslan.
"Gak juga hehe!"
"Serah lo dah!" ucap Aslan sebelum memasuki kantin.
Kantin pagi ini lumayan ramai, tapi tidak seramai kantin di sekolah Aslan dulu. Kantin sempit, yang harus menunggu antrean untuk membeli sesuatu.
Wildan berlari menuju penjual kantin, sedangkan Aslan mencari meja kosong untuk mereka huni.
Setelah mendapatkan mejanya, Aslan mulai duduk. Menunggu Wildan yang agak lama datang dengan membawa dua porsi burger, beserta cola.
"Makan!" ucap Wildan sebelum duduk.
Aslan hanya mengangguk, "Berapa harganya?"
"Santai! Gue teraktir kali ini, besok baru lo beli sendir!"
"Ah! Oke."
Keduanya mulai memakan makannya dalam diam. Suasana kantin juga terasa hening, tak ada yang berbicara ketika makan. Padahal makan sambil berbicara terasa asik.
Suara piring pecah membuat perhatian seluruh kantin berpusat pada gadis yang sedang berjongkok. Termasuk dengan Aslan, dahinya bertaut dalam.
"Dia siapa?" tanya Aslan tanpa menatap Wildan.
"Athena, cewek paling populer, tapi tukang bully di sekolah. Orang buangan selalu dia bully, meskipun gak ada salah sama dia," jelas Wildan.
Aslan paham, ia mulai beranjak, dan berjalan mendekati gadis yang sedang berjongkok itu. Aslan mencoba untuk membantunya berdiri, dan membersihkan kemeja putih yang terkena saus beserta kecap.
Gadis itu terlihat berantakan, raut mukanya berubah pucat. Genangan air matanya pun mulai bersatu dalam pelupuk matanya.
"Oh, si idiot udah punya temen baru ya," ucap Athena dengan mata sinisnya.
Aslan menghentikan kegiatannya, menyuruh korban itu mundur, dan berjalan maju. Berdiri tepat di depan Athena dengan mata yang tak kalah sinis.
Athena menatap Aslan dengan mendongak, sudut bibirnya tertarik ke atas. Raut muka itu terlihat begitu meledek.
"Anak baru," ucap Athena pelan.
"Lo gak kasian apa sama dia? Lo ini manusia atau hewan sih?!" tanya Aslan kesal.
"Kalau engga kenapa? Lagian gak ada urusannya juga sama lo," sahut Athena, "Oh, atau dia ini pacar lo ya? Tunangan? Atau calon istri?"
Aslan hanya diam menatap gadis itu.
"Oh! Gak bisa jawab? Gapapa, waktu gue juga udah abis gara-gara lo. Kebuang sia-sia!" ucap Athena sebelum melenggang pergi.
Aslan menghela panjang, suasana yang tadinya tegang berubah mencair ketika gadis sombong itu pergi.
"Lo gapapa?" tanya Aslan pada gadis yang ada di belakangnya.
"Gapapa, makasih," sahutnya sebelum pergi berlari.
***
Cowok tinggi itu berjalan menuju loker sekolah, namun langkahnya berhenti tepat di ambang pintu ruangan. Manik matanya bertemu lagi dengan manik mata cokelat milik gadis sombong itu. Aslan menghela gusar, bola matanya mulai memutar. Mimpi apa dia semalam, sampai harus bertemu dengan gadis sombong itu lagi.
"Eh! Ada pacarnya si aca, pasti lagi nyariin aca," ucap Athena sambil berjalan menghampiri Aslan.
Kini mereka berdua saling berhadapan. Athena memberikan senyuman liciknya, sementara Aslan hanya menatapnya datar. Tak ada percakapan di antara keduanya, mereka berdua hanya saling menatap.
"Aca gak di sini, dia lagi di toilet," ucap Athena.
"Lo apain lagi dia?" tanya Aslan sabar.
"Cuman bagi-bagi tinta warna merah aja, itu asik!" Athena tertawa setelah menjelaskannya pada Aslan.
Aslan kembali menghela, ia tidak bisa berpikir jernih. Gadis di depannya ini benar-benar memiliki sifat seperti setan. Tak ada rasa kasihan, padahal mereka berdua sama-sama manusia. Seharusnya manusia saling memanusiakan manusia, bukan seperti yang di lakukan Athena.
"Kenapa diem aja? Gak mau bantuin aca di toilet, atau lo jijik sama aca?"
Aslan mencengkram kedua pundak Athena, membuat gadis itu diam menatap Aslan. Raut mukanya berubah menjadi agak takut, tapi masih terlihat sinis.
"Lo punya hati gak sih?! Gue udah sabar sama lo sejak tadi pagi, tapi kata-kata lo itu selalu nginjek-injek harga diri aca!" ucap Aslan dengan menekan setiap kata yang keluar dari bibirnya.
Athena masih diam, kedua netranya berubah memerah. Genangan air mata mulai memenuhi pelupuk matanya, tapi itu tidak akan jatuh.
Gadis itu segera melepas cengkraman Aslan dengan kasar, dan menunjuk cowok itu dengan jari telunjuknya pada wajah Aslan. Tatapannya mulai berubah menjadi lebih garang, dengan wajah yang memerah padam.
"Jangan teriak di depan gue! Lo itu cuman anak baru di sini!" teriak Athena marah, "Jadi jangan berani sama gue!"
"Emang lo siapa? Anak pemilik sekolah? Anak presiden?"
Athena tertawa kecil, melipat kedua tangannya di depan dada, dan berkata, "Apa pun itu, orang tua gue punya hak di sekolah ini."
"Oh, jadi karena punya hak lo berani nge-bully anak-anak di sekolah ini?"
"Gue gak akan nyerang kalau mereka gak nyari masalah, kaya lo sekarang. Lagi nyari masalah sama gue," jelas Athena.
"Gak ngerti lagi gue sama lo."
"Orang yang bantu anak buangan, bakalan jadi anak buangan," ucap Athena sebelum pergi meninggalkan Aslan.
Aslan berbalik, menatap punggung kecil yang lama-kelamaan menghilang dari pandangannya.
***
Suara isak tangis seorang gadis itu terdengar menggema di dalam ruangan kosong. Kaki jenjang milik cowok tinggi itu mengambil langkah dengan perlahan. Ia terus memasang telinganya sambil menelusuri ruangan untuk mencari gadis yang sedang menangis itu.
Suara tangisan itu semakin terdengar nyaring di dalam satu lemari kayu. Tanpa berpikir panjang, Aslan membuka pintu lemari kayu itu dengan perlahan.
Suara dencitan lemari membuat suara tangisan itu menghilang. Membuat Aslan segera membukanya dengan cepat, keningnya bertaut dalam. Kini keduanya saling bertatap untuk beberapa datik, sampai akhirnya gadis yang sedang duduk di dalam lemari kayu itu keluar sambil menyeka air matanya.
"Maaf, gue gak tau kalau ada lo di sini," ucap Aca tanpa menatap wajah Aslan.
"Lo kenapa, di apain lagi sama athena?"
Aca menggeleng pelan, sambil membersihkan pakaiannya dari kotoran yang menempel.
"Lo gak bawa seragam cadangan?" tanya Aslan.
"Ini seragam cadangannya, tapi di buat kotor lagi sama athena."
"Lo gak ada niatan buat lapor gitu? Dia udah keterlaluan sama lo."
"Gue bukan siapa-siapa di sini, orang tua athena jauh lebih berkuasa daripada orang tua gue," jelas Aca, kali ini ia menatap wajah Aslan, "Lo juga, jangan ikut campur!"
"Kenapa?"
"Gue gak mau athena mainin lo! Gue gak mau, cukup gue aja yang di injek-injek sama dia."
Aslan menghela panjang, ia tidak mengerti dengan sistem sekolah di sini. Ada anak yang di tolong, tapi tidak mau, dan ada pula anak yang sok berkuasa di sekolah.
"Terserah lo aja deh!" ucap Aslan sebelum pergi meninggalkan Aca yang melanjutkan tangisannya di dalam lemari kayu.