Gadis itu berjalan di bawah guyuran hujan. Langkahnya terlihat tidak beraturan, membuat tubuhnya ikut bergerak ke kiri, dan kanan. Gemuruh guntur tak membuatnya takut, apa lagi sampai berlari untuk mencari tempat berteduh.
Athena hanya menghela, tubuhnya telah basah. Jalanan yang sepi membuatnya sedikit senang, berjalan di tengah-tengah jalanan sambil berlari dan berteriak. Teriakannya di balas dengan gemuruh guntur bersama kilap yang terus muncul.
"Gue benci diri gue sendiri!!" teriak Athena sebelum akhirnya berhenti di pertigaan jalanan.
Gadis itu mulai menepi, duduk di tepi trotoar yang lumayan bersih sambil memperhatikan kendaraan yang mulai ramai.
Langit sore masih terlihat mendung, tak ada senja yang datang. Mungkin senja takut dengan suara gemuruh beserta kilap yang menakutkan.
Udara semakin dingin, seragamnya semakin basah. Athena mulai memeluk kedua kakinya, memiringkan kepalanya ke arah kiri, dan menempel pada lutut. Kedua netranya mulai terpejam, merasakan tetesan air yang terasa menusuk pada wajahnya.
Rasanya sakit, tapi tidak sesakit yang di rasakan Athena setiap kali berada di titik terendah.
Kedua netra Athena membuka, keningnya ikut bertaut ketika sadar air hujan tak lagi mengenai wajahnya. Padahal suara hujan, dan guntur masih terdengar jelas di telinganya. Gadis itu mulai mendongak, menatap seseorang yang memberikannya payung dengan memberikan senyuman menawan.
"Ngapain sih di sini? Lo gak takut sama hujan atau guntur?" tanya Aslan dengan berteriak.
"Lo ngapain di sini? Payungnya di kasih gue, kan jadinya lo basah," sahut Athena.
"Ujannya gak akan berhenti, mendingan lo pulang, ayo!" Aslan menarik lengan kanan Athena, menggiringnya masuk ke dalam mobil miliknya yang terparkir tak jauh dari tempat.
Aslan menghela setelah masuk ke dalam mobil, mengambil handuk kecil, dan segera mengeringkan kepalanya dengan cepat.
"Di belakang ada handuk, lo pake ya! Seragam sama rambut lo basah kuyup, kalau gak di keringin sekarang, ntar yang ada lo demam," ucap Aslan panjang.
Athena tak menggubris, ia masih membisu dengan tatapan datarnya.
"Na, rumah lo di mana? Biar gue anter."
"Gak usah, gue bisa pulang sendiri," sahut Athena sebelum membuka pintu mobil, tapi Aslan segera mencegahnya, membuat Athena menoleh, "Apa?"
"Biar gue anter, gue kasian liat lo yang kaya gini."
Gadis itu tertawa, melepaskan cekalan Aslan dengan kasar. Kini ekspresi wajahnya berubah menjadi marah, tatapan tajam itu kembali terlihat.
"Gue gak butuh rasa kasihan dari lo! Urus aja urusan lo sendiri, gak usah ikut campur sama urusan gue!" ucap Athena ketus sebelum akhirnya keluar dari dalam mobil.
Aslan menghela, ia bingung dengan gadis bernama Athena itu. Kebaikan apa pun yang di berikan, selalu di anggap negatif olehnya. Padahal kebaikan adalah hal yang positif.
****
"Aslan, bisa bantuin mama gak Nak?" teriak Ana yang masih sibuk mengoleskan kuning telur pada kue nastarnya.
Suara derap kaki terdengar mendekat Ana menoleh dengan senyuman merekahnya.
"Kenapa Ma?" tanya Aslan.
"Itu di meja ada nastar, kamu kasih ke tetangga baru kita ya!"
"Tetangga baru?" kening Aslan bertaut dalam.
"Iya, ada tetangga baru di depan rumah kita, yang ngehuni anak perempuan. Seusia kamu deh kalau gak salah, soalnya tadi mama liat dia pake seragam SMA," jelas Ana.
"Tinggal sendirian?" Aslan mulai memasukkan kue nastarnya ke dalam toples plastik kotak, sambil sesekali memakan kuenya.
"Iya, gak tahu orang tuanya kemana. Kamu ke sana, kenalan, terus ajak main! Kasian dia sendirian."
Aslan terdiam sejenak, kemudian ia segera menutup kotak kuenya. Berjalan mendekati Ana untuk mencium pipi wanita itu, "Sayang Mama."
Ana hanya tersenyum sambil menggeleng, "Kamu kesambet apa?"
"Hehe! Gak ada sih, udah ya Ma!"
"Iya!"
Cowok itu segera berjalan keluar dengan senyuman tipis. Mendekati rumah besar yang terlihat sangat mewah itu, Aslan terpukau karena keindahan rumah tetangga barunya.
Aslan segera menekan tombol bellnya beberapa kali, menunggu dengan harapan tetangga barunya bisa menjadi teman akrab.
"Siapa?"
Suara itu membuat Aslan menoleh ke arah kanan, kiri, dan atas. Namun, ia baru tahu jika ada sebuah alat perekam suara beserta kamera di dekat pagar tinggi itu.
"Tetangga depan," sahut Aslan.
"Wait a minute!"
Cowok itu mulai mengambil napas panjang, dan kembali menunggu di depan pagar.
Pintu pagar itu bergeser ke samping, menampilkan seorang gadis dengan kaos berwarna putih yang over size, beserta rambut panjang yang di kucir kuda.
Gadis itu menatap Aslan dengan kening bertaut, ia merasa dunia terlalu sempit. Kedua tangannya mulai di lipatnya.
"Apa?" tanya Athena ketus.
"Yaelah! Biasa aja kali! Gue ke sini di suruh nyokap, nih!" Aslan memberikan sekotak kue nastarnya pada Athena.
"Apaan nih?" tanya Athena setelah menerimanya.
"Nastar keju, abisin!"
"Sayang banget, gue lagi diet."
"Batalin!" titah Aslan asal.
"Enak aja! Emangnya lo siapa berani ngatur gue?!"
"Temen lu, tetangga lu, temen kelas lu," sahut Aslan, "Abisin! Kasian nyokap gue bikin dari pagi cuman buat lo."
Athena terdiam sejenak, dan kemudian mengangguk sebagai jawaban persetujuannya, "Makasi."
Setelah itu ia segera menarik pagarnya, meninggalkan Aslan yang hanya bisa menghela, dan pergi meninggalkan rumah besar itu.
"Ma, tetangga baru kita itu setan," ucap Aslan setengah berteriak.
Ana segera keluar dari dapur, menatap Aslan yang sedang berjalan menaiki anak tangga, "Jangan ngawur kalau bilang! Dia itu cantik."
Aslan berbalik, mengangkat kedua bahunya dan berkata, "Cantik doang Ma, sifatnya kaya setan."
"Aslan, kamu ini!"
"Beneran Ma, aku serius."
"Jangan ngomong kaya gitu ah! Mama gak suka ya!" ucap Ana.
"Iya Ma, maaf."
***
"Goblok banget sih jadi orang!" ucap gadis bersurai hitam itu.
Ia berjalan memutari gadis berkacamata yang sedang di hukum. Berdiri di depan papan tulis putih, sambil membawa dua buku tebal sebagai hukumannya yang lumayan ringan.
"Lo bisa jadi pinter gak sih Sin?" tanyanya sebelum menoyor kepala Sinta pelan.
"Ndah, sakit tau Ndah," sahut Sinta.
Indah tertawa terbahak-bahak dengan ketiga temannya yang ikut berdiri di belakangnya.
"Sakit ya Sin? Padahal gak keras, kalau ini gimana?"
Sinta menoleh ke sebelah kiri karena tamparan Indah yang begitu kuat. Pipi kanannya terasa panas, warna merah keunguan tercetak jelas di sana. Sinta hanya bisa menelan salivahnya, menegakkan kembali kepalanya, dan menatap Indah.
"Widih! Berani banget natap mata gua!" ucap Indah dengan tawa remehnya, "Rin, bawain air!"
Rina berlari menuju bangkunya, mengambil satu botol air yang telah bercampur dengan beberapa sampah buah. Memberikannya kepada Indah setelah di buka penutup botolnya.
Indah tersenyum sambil menuangkan air kotor itu pada puncak kepala Sinta, "Seger kan Sin? Ahaha!"
Sinta hanya bisa tersenyum sambil mengangguk, tapi ia juga ingin marah pada Indah yang sudah memperlakukannya seperti sampah.
"Kenapa sih Sinta? Mau marah ya sama gue? Biasanya lo cuman diem sambil nangis, tapi kali ini lo gak nangis."