Nyut...
Di persimpangan jalan, di perhentian lampu lalu lintas, Diandra memejamkan mata saat merasakan nyeri di kepalanya. Diandra meletakkan kepalanya yang berat di kemudi mobil.
TIIIIIIIIINNNNN...
Kepala Diandra tersentak kaget. Karena mengangkat kepala dengan cepat, mata Diandra langsung berkunang-kunang. Mobil di belakang nya membunyikan klakson dengan tidak sabar. Diandra tidak menyadari jika lampu lalu lintas sudah berganti dengan lampu hijau. Diandra bergegas memasukkan gigi persneling untuk melajukan mobilnya.
Benar kata kakaknya, Barney, bahwa dirinya sedang demam. Hmm, kalau tidak salah, setelah dua ruko di perempatan lalu lintas ini, ada sebuah apotik. Diandra memasang lampu sein kiri sambil mengusap hidungnya yang mulai berair.
Blam.
Diandra turun dari mobil dengan sedikit sempoyongan. Sebuah tablet obat paracetamol telah dibelinya. Diandra meminum dua butir untuk meredakan demam dan sakit kepalanya. Diandra menghela nafas panjang seraya membanting tubuhnya ke sandaran kursi pengemudi. Diandra harus menunggu sebentar supaya obatnya bekerja, agar sakit di kepalanya berkurang. Namun di sisi lain, Diandra harus bergegas karena obat yang diminumnya mengandung obat tidur. Diandra tidak ingin membunuh dirinya sendiri karena mengantuk sewaktu menyetir.
Perjalanan tiga puluh menit harus ditempuh Diandra untuk mencapai apartemen sahabat dari Bernard, yaitu apartemen Ifan. Kondisi tubuh Diandra masih demam tinggi, namun sakit di kepalanya sudah mulai berkurang. Diandra memeluk dirinya dan sedikit menggigil, ketika memasuki lobi apartemen Ifan yang sangat dingin itu.
Ting-tong. Ting-tong.
Pintu terbuka dan nampak Bernard yang sempoyongan berdiri disana. Diandra menangkap tubuh Bernard yang nyaris terjungkal karena tersandung karpet, ketika hendak melangkah maju. Aroma minuman keras sangat kuat hingga menimbulkan mual di mulut Diandra yang memang sudah terasa pahit akibat sakit demam.
"Kamu datang, Diandra," sapa Bernard yang melantur karena mabuk.
"Berdiri yang tegak, Bernard. Kamu sangat berat," keluh Diandra yang kerepotan karena berusaha menyeimbangkan tubuhnya dan tubuh Bernard.
"Halo Diandra," sapa Ifan yang muncul dari dalam apartemen. "Maafkan aku yang tidak bisa mengantarnya pulang. Aku ada meeting penting satu jam lagi."
"Tidak masalah, Ifan. Terima kasih sudah membantuku menjaganya," ucap Diandra sambil mengangguk sopan pada teman Bernard yang tidak pernah disukainya itu.
"Lain kali jika kita berpesta lagi, aku akan mengundangmu. Kita bisa bersenang-senang," kata Ifan kalem sambil menyentuh bahu Diandra.
"Maaf, aku tidak suka pesta," tolak Diandra dingin sambil mengedikkan bahu agar tangan kurang ajar itu menyingkir dari tubuhnya. "Aku permisi dulu."
"Aku suka perempuan yang mempunyai gengsi yang tinggi sepertimu, membuatku semakin bersemangat untuk menaklukanmu,"rayu Ifan yang menghalangi langkah Diandra, pergi dari tempat itu. "Bernard sangat beruntung memilikimu. Tapi tidak lama lagi, kamu akan jatuh dalam pelukanku," lanjutnya di telinga Diandra. Sebuah kecupan dilayangkan pada pipi Diandra.
"Jaga sikapmu, Ifan," geram Diandra yang merutuki pria playboy yang bertingkah kurang ajar di depannya ini. "Aku sudah punya kekasih. Jadi aku tidak akan jatuh ke pelukanmu."
Ifan hanya mengangkat bahu dan tersenyum mengejek. "Kita lihat saja nanti."
"Dasar brengsek!" umpat Diandra lirih.
"Hati-hati menyetir nya, sayang. Aku tidak ingin terjadi sesuatu denganmu," kata Ifan setengah berteriak.
Diandra tidak menggubris ocehan Ifan. Diandra terus berjalan dengan susah payah membawa tubuh Bernard yang bersandar sepenuhnya pada dirinya, ke baseman parkir apartemen. Keringat dingin mengucur deras dan nafasnya yang nyaris putus setelah berhasil meletakkan tubuh Bernard yang tertidur akibat mabuk, di kursi penumpang.
"Ukh.. ukh.. huek."
Perasaan mual yang ditahannya sejak tadi, akhirnya tidak kuat lagi. Diandra memuntahkan semua isi perutnya di dekat mobilnya. Kemudian Diandra membuka pintu mobilnya dan mengambil air mineral untuk berkumur. Diandra menyeka keringat dinginnya dan menyandarkan punggungnya yang lelah ke body mobil.
"Aku harus kuat," bisiknya menyemangati diri sendiri dengan menepuk-nepuk kedua pipinya yang panas.
Diandra masuk ke dalam mobil. Dihidupkannya mesin mobil sambil menoleh ke arah Bernard yang sudah terlelap. Air matanya mengalir tanpa disadarinya. Diandra menginjak gas dalam-dalam sambil mengusap kasar air matanya.
Apartemen Bernard.
Diandra menendang pintu apartemen itu hingga tertutup setelah pak satpam keluar usai meletakkan Bernard di sofa panjang. Diandra sudah tidak kuat lagi jika harus menopang lagi tubuh Bernard hingga ke apartemen. Terpaksa dirinya meminta bantuan satpam apartemen untuk membantunya.
"Aku lelah sekali."
Tubuh Diandra merosot di pintu apartemen yang tertutup. Semua kekuatannya sudah habis. Diandra bahkan tidak menyadari jika dirinya sudah berbaring di lantai dingin, yang tidak tertutup karpet. Diandra tertidur disana.
Hari sudah gelap, ketika Diandra membuka matanya. Tubuhnya semakin terasa sangat sakit karena tertidur di lantai yang dingin. Perlahan Diandra bangkit berdiri. Tubuhnya oleng dan menabrak rak sepatu di sebelahnya. Kepalanya kembali terasa berat dan Diandra merasakan tubuhnya serasa melayang.
"Aku demam berapa derajat?" bisiknya sambil menyentuh dahi dan keningnya.
Diliriknya sofa yang berisi tubuh Bernard. Diandra tersenyum sedih. Tunangannya belum berubah posisi tidurnya, sejak tubuhnya diletakkannya di sofa itu. Sambil berpegangan pada dinding, Diandra berjalan ke kamar mandi.
"Empat puluh derajat," gumamnya ketika melihat angka di termometer.
Diandra mengembalikan termometer itu ke kotak obat. Kemudian diraihnya handuk dan dibasahi nya. Diandra mengompres lehernya sebentar untuk menurunkan demamnya.
"Aku akan menyiapkan makan malam, setelah itu aku akan pulang," katanya pada dirinya sendiri.
Setengah jam, Diandra sudah menyiapkan roti bakar dan telur mata sapi serta nasi di rice cooker. Bukannya Diandra tidak bisa memasak, namun hanya bahan itu saja yang ditemukan nya di dapur Bernard.
"Bernard, ayo bangun. Makan dulu," kata Diandra sambil menggoncangkan bahu kekasihnya itu. "Seharian perutmu belum terisi."
"Tidak mau," ucap Bernard pelan sambil berbalik dan mencari posisi berbaring yang nyaman di sofa.
"Baiklah. Aku sudah siapkan makan malam di meja," kata Diandra lagi. "Aku pulang dulu."
"Hmmm."
Diandra berbalik dan keluar dari apartemen Bernard. Kini Diandra bersandar dan memejamkan matanya. Keinginannya untuk tidur lagi, sangatlah besar. Kemudian ponsel di tasnya berbunyi. Diandra tersenyum lembut melihat nama yang tertera di layar.
"Halo?"
"Bos, apa anda sedang sibuk?" tanya lawan bicaranya lembut dan sopan. Diandra kembali memejamkan mata sambil mendengarkan suara yang meneduhkan hati dan otaknya. Yaitu suara Dilan, karyawan terbaiknya.
"Ada apa?"
"Apa bos bisa turun ke bawah? Aku ada di lobi apartemen bos."
"Kamu di lobi apartemenku?"seru Diandra terkejut dan langsung menegakkan kepala. Alhasil, kepalanya langsung nyeri tak tertahankan. "Aduh."
"Bos, bos baik-baik saja?"
"Aku.. uhuk-uhuk.. uhuk-uhuk.." Diandra tidak bisa meneruskan bicaranya. "Kenapa aku tiba-tiba batuk?"batinnya.
"Bos sakit?" tanya Dilan khawatir.
"Aku.."
"Aku akan ke atas. Berapa nomor apartemen bos?"
"Aku tidak di rumah. Aku .."
"Bos ada dimana? Biar aku segera menyusul ke sana."
Diandra terdiam mendengar perhatian ekstra yang diberikan karyawan nya. Kenapa bisa begini? Tunangannya sama sekali tidak peduli padanya. Sekarang ada orang lain yang sangat perhatian pada dirinya yang hanya batuk sedikit saja, langsung panik. Apa yang harus dilakukannya?
"Akan kukirim lokasiku. Terima kasih."
Bersambung...