"Halo?"
"Siapa kamu?" tanya lawan bicara Dilan.
"Aku Dilan, bang. Karyawan Bu Diandra," jawabnya kalem. Dilan melihat nama kakak laki-laki lady bos yang tertera di layar ponsel, karena itulah dirinya berani mengangkat sambungan ponsel itu.
"Dilan?" ulang lawan bicara nya skeptis. "Kenapa ponsel Diandra ada padamu? Dimana adikku sekarang? Kamu tidak macam-macam dengan nya kan?! Kalau kamu sentuh sehelai rambutnya, aku akan menghabisi mu," sembur Barney, kakak lady bos melontarkan ancaman pada Dilan. Barney terkenal protektif pada keluarganya, terutama pada Diandra, adik satu-satunya. "Paham?!"
"Paham bang."
"Sekarang berikan ponselnya pada Diandra," perintah Barney dengan suara menggelegar.
"Tapi bang..," ucap Dilan kebingungan.
"Tidak ada tapi-tapian! Cepat berikan ponselnya pada Diandra," lanjut Barney tidak sabar. "SEKARANG!"
"Sekarang tidak bisa, bang. Bu Diandra sedang dirawat dokter di ruang IGD."
"APA KATAMU?! Di IGD?!"
Dilan harus menjauhkan ponsel itu jika tidak ingin telinganya tuli mendadak, karena suara keras dari lawan bicaranya. Kemudian perlahan, Dilan meletakkan kembali ponsel itu di telinga nya.
"Saat ini Bu Diandra sedang berada di IGD, bang. Tubuhnya panas tinggi dan tidak sadarkan diri," jawab Dilan muram.
"Astaga," keluh Barney cemas. "Apa sekarang dia baik-baik saja?"
"Masih dalam penanganan medis."
"Kamu jangan pergi kemanapun. Jaga adikku baik-baik sampai aku tiba di sana. Aku akan segera ke rumah sakit sekarang. Mengerti?!"
"Mengerti bang."
Dilan menghembuskan nafas lelah setelah mengembalikan ponsel lady bos ke dalam tasnya. Kemudian Dilan bertanya pada perawat yang meminta kartu identitas lady bos.
"Bagaimana keadaan Bu Diandra, suster? Apa dia baik-baik saja? Saya boleh melihatnya sekarang?"
Perawat itu mengangguk sambil mengulurkan tangan untuk mengembalikan kartu identitas pada Dilan. "Karena panas tubuhnya sangat tinggi, kami harus meminta persetujuan anda untuk pasien melakukan tes darah. Ini surat prosedur tanda tangan nya pengambilan darah."
"Ah baiklah," jawab Dilan sambil membubuhkan tanda tangan nya di kertas itu. "Ini, sudah," lanjutnya seraya mengembalikan pen pada perawat.
"Pasien Diandra ada di bed nomer lima. Kami akan segera menyiapkan kamar rawat untuknya."
"Baiklah. Terima kasih."
Dilan bergegas menuju ruang yang ditunjuk perawat. Dilan masuk ke dalamnya dan memindai setiap bed yang terisi pasien-pasien itu. Lady bos terbaring di ranjang paling ujung kanan.
Dilan meletakkan tas milik lady bos di ranjang, di dekat kakinya. Wanita cantik itu tertidur nyenyak. Ada sebuah tiang infus di seberang Dilan berdiri.
"Bos," panggil Dilan pelan.
Tidak ada jawaban.
Tangan Dilan terulur ke arah wajah lady bos untuk menyingkirkan anak rambut yang menutupi kening wanita itu. Ujung jari Dilan menyentuh dahinya, masih terasa hawa panas dari tubuh lady bos. Kemudian Dilan membungkukkan kepalanya, lalu dengan lembut menyentuhkan kelopak matanya yang tertutup pada dahi lady bos yang masih bersuhu tinggi. Seperti orang yang sedang mengukur suhu tubuh orang lain melalui tubuhnya sendiri.
"Dilan."
Dilan mengangkat kepalanya dan manik matanya bertemu dengan mata lady bos yang sayu. Dilan menyangga tubuhnya dengan kedua tangan di kedua sisi wanita itu, ketika membungkuk diatas tubuh lady bos yang terbaring lemah di ranjang IGD.
Dilan memandang pada kedalaman mata cantik yang terpancar lemah. Dilan sama sekali tidak bisa berpaling dari tatapan lembut mata lady bos. Kekuatan lemah itu telah berhasil memaku mata Dilan serta membuatnya enggan berpindah.
"Aku.. dimana?" tanya lady bos lirih. "Dilan?" panggilnya sekali lagi karena montirnya ini melamun.
"Eng.. oh.. di-di rumah sakit," jawab Dilan gugup. Dengan canggung, Dilan menegakkan tubuhnya lalu berdiri sedikit menjauh dari sisi ranjang tempat lady bos berbaring.
"Rumah sakit?" ulang lady bos seraya bangun dari posisinya berbaring. "Aduh kepalaku," rintihnya sambil memegangi kepalanya yang sangat nyeri. "Kepalaku sakit sekali."
"Jangan bangun dulu," cegah Dilan yang kembali membaringkan tubuh lady bos. "Panas anda mencapai lebih dari empat puluh derajat, jadi wajar jika sakit kepala.
"Empat puluh.. derajat?"
Dilan mengangguk. "Maaf bos, tadi aku terpaksa menandatangani surat pernyataan mewakili bos untuk tes pengambilan sampel darah. Dokter memintanya untuk mengetahui apa yang terjadi pada tubuh bos."
"Sakitku parah ya," gumam lady bos seraya menutup kedua matanya dengan lengan kanannya.
"Semoga saja tidak," kata Dilan yang menarik kursi dan duduk disana. Dilan menyatukan jari-jarinya dan memandang bosnya yang terbaring lemah. "Bos, apa anda sudah merasa lebih baik?"
"Aku.."
"Diandra," seru seorang pria yang tergopoh-gopoh masuk ke dalam tirai hijau yang menutupi ranjang lady bos berbaring. "Kamu baik-baik saja?"
"Kak Barney? Kenapa ada disini?" tanya lady bos bingung sambil memandang Dilan dan kakaknya bergantian.
"Kamu Dilan kan?" tebak datar pria tampan dengan aura penuh wibawa itu sambil menudingkan jarinya pada Dilan.
Dilan mengangguk. "Benar bang. Aku Dilan."
Lalu Dilan menoleh ke arah lady bos yang seakan menuduhnya karena sudah mengadu pada keluarganya. Dilan tersenyum lembut karena sangat memahami atasannya. Lady bos adalah seorang wanita yang mandiri dan tangguh, tidak suka bergantung pada orang lain. Oleh sebab itulah, raut wajah tidak suka harus diterima Dilan, ketika lady bos mendapati kakak laki-laki nya menjenguk di rumah sakit.
"Kakak bos menelpon. Aku memberitahunya. Bos sedang sakit parah. Aku hanya seorang karyawan. Lagipula aku kan laki-laki, jadi tidak akan leluasa jika aku yang menjaga bos di rumah sakit. Selain itu, penting bagi orang rumah untuk tahu kalau ada anggota keluarganya yang sakit. Tidak peduli bos ingin mandiri atau bersikap manja, mempunyai keluarga untuk bersandar dan bisa diandalkan, itu adalah suatu keberuntungan."
"Betul kata Dilan," sahut Barney yang meraih tangan adiknya dan menepuk lembut punggung tangannya. "Jangan menyembunyikan apa pun dari kami, Diandra sayang. Kamu adalah harta kesayangan keluarga. Apa kamu tahu? Papa dan mama pasti akan sedih, melihatmu terkapar di rumah sakit."
"Jangan beritahu mereka, kak," ucap lady bos pelan seraya menggeleng. "Aku tidak ingin membuat mereka mengkhawatirkan aku."
"Dengar ya, Diandra," tegur Barney keras. "Ini terakhir kalinya kamu sakit karena mengurus laki-laki tidak berguna itu. Aku tidak mau kehilanganmu gara-gara ulah konyol si brengsek itu," sembur kakaknya dengan tangan terkepal di udara. "Seharusnya aku lebih keras mencegahmu untuk pergi tadi pagi. Kamu tahu, sekarang juga aku ingin sekali mencincangnya! Kamu ambruk pasti gara-gara dia kan?!"
"Ngomong apaan sih kak. Bernard sedang tidak enak badan, jadi sebagai kekasih, aku harus menjaganya," bantah Diandra keras kepala.
"Jangan membelanya lagi," sergah Barney emosi. "Sudah kuputuskan, malam ini juga, aku dan mama papa akan mendatangi keluarga Bernard."
"Tidak boleh kak. Tidak boleh," cegah lady bos cemas. Tubuhnya yang lemah berusaha untuk bangun dari posisi berbaringnya. "Jangan pisahkan aku dari Bernard, kak. Jangan."
"Tidak," sahut Barney tegas. "Aku sudah tidak bisa menoleransi lagi sikap sembrono nya yang menyia-nyiakanmu itu. Dia selalu bermain-main dengan narkoba dan minuman keras. Bernard boleh merusak hidupnya sendiri. Tetapi dia tidak boleh merusak hidup dan masa depanmu. Kamu mengerti, Diandra?!"
"Beri Bernard kesempatan sekali lagi, kak. Aku akan berjuang menyadarkannya," pinta Diandra dengan suara merengek.
"Tidak. Keputusanku sudah bulat."
"Kak Barney, kakak tidak berhak mengatur hidupku," sergah adiknya semakin keras kepala.
"Dilan," panggil Barney yang mengabaikan adiknya yang terus merengek padanya.
"Ya bang."
"Jaga Diandra baik-baik. Aku akan mengurus hal penting. Besok pagi, aku akan kembali kemari," perintah Barney pada Dilan yang hanya bisa mengangguk.
"Baik."
"Aku pergi dulu."
"Kak Barney," teriak Diandra parau. "Kumohon jangan lakukan itu. Kakak..."
Bersambung...