Sementara itu, di tempat lain.
Barney, kakak Diandra, sedang melajukan mobilnya ke kediaman orang tua Bernard, kekasih sekaligus tunangan Diandra. Barney sudah membulatkan tekad untuk mengakhiri hubungan adiknya yang tanpa masa depan itu.
"Anda ingin bertemu dengan siapa?" tanya sekuriti yang menghentikan mobil Barney di depan pagar rumah orang tua Bernard. "Malam sudah larut. Penghuni rumah sudah beristirahat dan tidur. Lebih baik, anda kembali besok pagi."
Bernard mengabaikan pengusiran yang dilakukan sekuriti itu. "Katakan bahwa Tuan dan Nyonya Johnson datang untuk bertemu. Sekarang cepat buka gerbang pintunya," perintah Barney mengintimidasi.
"Maaf pak. Kami tidak bisa membukanya. Anda bertamu larut malam dan itu menganggu ketenangan pemilik rumah," bantah sopan sekuriti yang kini didampingi dua sekuriti lain yang berbadan kekar.
"Barney, lebih baik kita..."
TIINNNN...
Suara klakson di belakang mobil Barney, menghentikan perkataan Tuan Johnson. Barney melihat para sekuriti itu memandang ke arah belakang mobilnya. Kemudian salah satu dari sekuriti itu berkata padanya...
"Pak, tolong minggirkan mobilnya. Ada mobil lain yang hendak masuk ke dalam rumah."
"Tidak," sahut Barney ketus. "Bukakan saja pintu gerbangnya, maka aku akan masuk, begitu juga dengan mobil di belakangku itu."
"Tapi.."
TIINNNN...
Sejurus kemudian, mobil Barney sudah terparkir cantik di dalam rumah. Ternyata mobil di belakang miliknya tadi adalah kepunyaan papa Bernard.
"Apa ada sesuatu hal serius yang membuat anda bertiga datang bertamu malam-malam begini?" tanya mama Bernard penasaran setelah seorang pelayan meletakkan minuman di meja pendek depan sofa.
"Begini om dan tante. Maafkan kami yang datang malam-malam," kata Barney yang memulai pembicaraan. "Kami terpaksa datang kemari karena sebuah urusan yang sangat mendesak."
"Oya?"
"Kami baru saja dari rumah sakit."
"Rumah sakit? Siapa yang sakit?" tanya mama Bernard tegang. Tangan suaminya menepuk lembut tangan mama Bernard untuk menenangkannya.
"Diandra yang masuk rumah sakit."
"Apa.. dia baik-baik saja?" tanya mama Bernard cemas.
Barney menggeleng. "Diandra ditemukan pingsan tidak sadarkan diri dengan panas tubuh mencapai lebih dari empat puluh derajat, di baseman parkir apartemen Bernard."
"Oh tidak," seru mama Bernard syok dan menutup mulutnya. Kedua orang tua itu saling berpandangan satu sama lain, dengan cemas.
"Apa anda berdua tahu, bahwa Diandra pergi mengurus Bernard yang lagi-lagi mabuk-mabukan, dengan kondisi tubuh demam tinggi?" cecar Barney tanpa henti. "Aku tidak bisa mencegah adikku pergi. Di matanya, Bernard selalu diutamakan dibanding kondisinya sendiri."
"Lalu apa yang kamu sekeluarga inginkan?" desak papa Bernard. Meski tahu apa yang akan dikatakan oleh keluarga Diandra mengenai putranya, tapi mau tidak mau dirinya merasa cemas. Bernard adalah putra semata wayangnya, satu-satunya penerusnya.
"Kami sudah sepakat bahwa hubungan keduanya harus diputuskan," jawab Barney mantap. "Jika dibiarkan, Diandra akan melukai dirinya sendiri."
"Maafkan aku, Surya," ucap Tuan Johnson menyesal pada papa Bernard. "Aku sebenarnya tidak ingin melakukan ini. Tapi aku harus memikirkan masa depan Diandra, putriku."
"Aku mengerti, Johnson. Aku mengerti."
Mama Bernard sudah terisak pelan. "Bisakah kami mendapat kesempatan sekali lagi? Jika kali ini, dalam waktu tiga bulan, Bernard sama sekali tidak berubah, kami sendiri yang akan datang ke keluarga Johnson untuk memutuskan tali pertunangan ini. Tolong perhitungkan bahwa mereka sudah menjadi pasangan sejak remaja. Aku tahu bahwa Bernard mencintai Diandra, begitu pula sebaliknya. Pasti ada jalan untuk memperbaiki semuanya. Tolong beri sedikit waktu lagi."
"Ti.."
"Barney," panggil Tuan Johnson, papanya yang menggeleng kuat. Lalu Tuan Johnson memandang kedua calon besannya. Hatinya pun juga menginginkan yang terbaik untuk keduanya. Namun, keadaan memaksanya untuk mengambil keputusan sulit ini.
"Baiklah Surya," lanjut Tuan Johnson dengan menatap intens pada teman baiknya. "Mengingat pertemanan kita serta hubungan Diandra dan Bernard yang sudah terjalin lama, aku akan memberi kesempatan terakhir. Kuharap kamu juga mengerti posisiku sebagai ayah, Surya."
"Aku mengerti, Johnson," ucap Surya, papa Bernard. "Jika kali ini, Bernard tetap bertingkah kekanak-kanakkan, aku sendiri yang mencincangnya hidup-hidup," geramnya dan juga merasa malu karena putranya telah menjadi laki-laki yang tidak bisa diandalkan.
*****
Ting-tong-ting-tong..
Cklek.
Setelah mengetahui siapa yang datang, Bernard meninggalkan pintu apartemen nya terbuka begitu saja. Sambil menguap lebar, Bernard kembali berjalan ke arah sofa untuk berbaring dan melanjutkan tidurnya yang terganggu karena suara bel pintu yang berbunyi tanpa henti.
"Bernard," panggil Pak Surya geram sambil mencekal lengan putranya dan memutarnya untuk berhadapan dengannya.
"Apa pa? Ada apa papa dan mama malam-malam datang dan membuat ribut disini?" tanya Bernard malas.
PLAK.
Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Bernard. Darah segar mengalir dari bibirnya yang pecah. Bernard membeku dan memandang papanya dengan tatapan nanar. Lalu sebuah senyum muram menghiasi bibirnya yang terluka.
"Aku ada salah apa lagi, pa?"
"Benar-benar anak kurang ajar!" maki Pak Surya yang sudah hilang kesabaran. "Apa kamu tahu?! Hari ini keluarga Diandra datang lagi ke rumah. Mau ditaruh dimana muka papa dan mama mu ini, Bernard?!"
"Setiap kali mereka datang," lanjut mama Bernard. "Jantung mama selalu berdetak lebih cepat dan berkeringat dingin, takut dengan pembicaraan dengan mereka. Mama sudah sangat menyayangi Diandra. Mama sangat mengharapkan dia menjadi menantu mama. Dia wanita yang baik dan berasal dari keluarga baik-baik. Diandra wanita yang sempurna untukmu, Bernard. Kamu sangat beruntung mendapatkannya. Kenapa? Kenapa kamu berubah sikap padanya, Bernard? Apa kamu tidak mencintai Diandra lagi?" desak mama Bernard dengan sedih. "Atau jangan-jangan.. kamu punya wanita lain, sehingga mengabaikan Diandra? Benarkah kamu punya simpanan? Bernard, jawab mama!"
Bernard memandang papa dan mamanya, satu per satu bergantian. Bernard berjalan ke arah dimana rak minuman keras nya tersimpan. Dengan ahli, tangannya meracik minuman untuk dirinya sendiri. Sedangkan untuk kedua orang tuanya, Bernard menuang wine merah kesukaan papa dan mamanya.
"Bernard, apa kamu dengar kata mama atau tidak?" teriaknya gemas pada putranya yang acuh tak acuh dengan hidupnya sendiri. "Please Bernard, mama mohon.."
"Mama," ucapnya setelah meneguk minumannya. "Aku tidak mempunyai wanita lain. Aku selalu setia pada Diandra."
"Lalu kenapa sikapmu kekanak-kanakkan begini, hah?!" bentak Pak Surya sambil meraih gelas anggur itu lalu membantingnya ke tembok. "Ketergantungan narkoba dan mabuk-mabukan bukan kebiasaan laki-laki yang normal. Kapan kamu sadar, Bernard? Perusahaan papa sudah tidak pernah kamu urus. Tunanganmu juga selalu kamu buat kesusahan hingga keluarganya tidak terima dengan semua kelakukanmu. Apa kamu tahu? Malam ini Diandra ada dimana?"
Bernard melirik ke arah meja makannya yang terisi makan malam yang sederhana. "Pasti setelah dia menyiapkan makan malam ku, dia akan pulang ke apartemen nya. Diandra yang manis tidak pernah keluyuran malam-malam. Dia wanita yang baik."
PLAK. Kali ini tamparan itu begitu nyaring, hingga tubuh Bernard tersentak mundur.
"Jika kamu tahu dia wanita yang baik, kenapa kamu memperlakukannya seenak jidat mu?!"
"Suamiku, sudah jangan pukul lagi," isak mama Bernard yang menghalangi suaminya untuk menampar putranya lagi. Lalu dipandangnya Bernard dengan sedih. "Diandra ada di rumah sakit. Dia ditemukan tidak sadarkan diri di baseman parkir apartemen mu."
Deg..
Bersambung...