Chereads / The Cupid's Arrow : A Choice of Love / Chapter 30 - Bab 30 : Pengakuan

Chapter 30 - Bab 30 : Pengakuan

Tap-tap-tap...

Cklek. Pintu kamar rawat VIP itu perlahan terbuka lalu tertutup lagi. Bernard melihat Diandra sedang tertidur di ranjang VIP. Bernard juga memindai kamar itu dan mendapati montir sialan itu tidur di sofa.

Bernard berdecak sebal melihat ada seorang laki-laki yang berada di kamar, berduaan dengan Diandra. Meski Diandra sedang sakit dan montir sialan itu tidak akan berani berulah, namun ego pria dalam diri Bernard sangat terusik. Kemudian Bernard mendatangi Dilan yang berbaring di sofa. Kaki Bernard menyenggol lututnya dengan keras.

"Heh, bangun," geram Bernard dengan suara berbisik, sambil menarik selimut dari tubuh laki-laki itu. Kemudian Bernard melihat Dilan, montir Diandra itu menggeliat dan membuka mata.

Dilan yang menyadari siapa yang ada di hadapannya, langsung bergegas berdiri. "Maaf, aku ketiduran," ucapnya sambil mengusap tengkuknya.

"Kamu sebaiknya pulang saja," perintah Barney tegas sambil menggoyangkan ibu jarinya ke arah pintu kamar VIP di belakangnya. "Biar aku yang menjaganya disini."

Kemudian montir itu bertanya.. "Apa anda bisa menjaganya dengan baik?"

"Kurang ajar! Tidak tahu diri!" umpat Barney marah sambil mencengkram lengan Dilan lalu menariknya cepat ke arah pintu kamar. Bernard membuka pintu itu dan mendorongnya keluar. "Keluar! Tempatmu hanya di bengkel! Kamu tidak berhak disini!" usirnya kasar.

"Baiklah. Aku pergi."

"Bagus. Cepat menyingkir dari sini."

Brak. Pintu tertutup dan... hening.

Bernard membalikkan badannya dan mendapati kekasihnya yang ternyata sudah bangun. Saat ini, wanita cantik itu sedang menatap bingung padanya.

"Bernard? Kenapa kamu ada disini?" tanya Diandra lirih dengan mata memindai seluruh kamar rawatnya. "Dan dimana Dilan?"

Bernard mengangkat bahu. "Pulang."

"Kamu mengusirnya?" seru Diandra dengan nada sedikit tinggi.

"Sayangku, untuk apa dia ada disini, jika aku sudah ada disini?"

Mata Diandra mengikuti gerak-gerik Bernard yang menarik kursi dan duduk di sisi ranjangnya berbaring. Tangan Bernard memperbaiki posisi bantal di punggung Diandra agar dirinya dapat duduk bersandar dengan nyaman. Alisnya terangkat tinggi melihat kekasihnya yang mendadak jadi perhatian. Sikap Bernard yang lembut dan penuh perhatian ini.. seperti kekasihnya yang telah hilang dua tahun yang lalu. Hilang, dalam arti, sikap Bernard yang berubah sikap seratus delapan puluh derajat. Jadi, apakah ini tandanya bahwa Bernard telah kembali seperti semula?

"Bernard..."

"Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," ucap Bernard serius.

"Aku mendengarkan."

Bernard sedikit mengangkat tubuhnya untuk mengecup dahi Diandra. "Aku sayang padamu. Aku mencintaimu, Diandra. Sangat mencintaimu," ucapnya lembut. Bernard kembali duduk sambil meraih tangan Diandra dan menggenggam nya dengan kedua tangannya.

"Bernard.." Oh, Diandra merindukan pernyataan cinta Bernard padanya. Rasanya seperti sudah berabad-abad, Diandra tidak mendengarnya. Sejak sikap Bernard berubah, tidak pernah lagi terdengar kata manis yang terucap dari bibirnya.

"Aku akan mengatakan alasanku mengapa aku berubah."

"Tunggu dulu," cegah Diandra sambil mengangkat tangan. "Kenapa kamu tidak mengatakan dari awal? Dan mengapa kamu baru akan mengatakannya sekarang? Apakah kamu tidak tahu bahwa aku sangat sakit hati melihat perubahanmu?"

"Maafkan aku. Aku tidak punya keberanian untuk mengatakannya padamu, karena aku takut membuatmu kecewa padaku," jelas Bernard lirih. Punggung tangan Diandra dibawanya dan menutupi wajahnya. "Aku sangat takut."

Diandra mengubah posisi tangannya menjadi bergandengan dengan tangan Bernard. "Jelaskan padaku," bisiknya lirih dengan mata memandang Bernard yang menarik nafas panjang.

"Aku.. mandul."

"Mandul?" seru Diandra syok dan terkejut. Itukah alasan Bernard menghindarinya dengan bersikap kasar padanya? Diandra bertanya, "Bagaimana bisa?"

"Kamu ingat, bahwa aku selalu terobsesi dengan tubuh yang kekar dan atletis sejak aku remaja?"

Diandra mengangguk dengan mata menatap nanar ke arah Bernard yang membungkuk kalah. Diandra menyentuh pipi kekasihnya yang terasa cekung di telapak tangannya, seakan kegagahan hanyalah sebuah cerita masa lalu. Mata sedih Bernard membuat hatinya hancur.

"Pil pembentuk otot..."

"Steroid," tebak Diandra yang dibalas dengan anggukan lemah dari Bernard.

"Jika dikonsumsi dalam jangka panjang dapat menurunkan tingkat kesuburan hingga mengakibatkan kemandulan."

"Mengapa kamu tidak berkonsultasi dulu dengan dokter ketika mengkonsumsi obat itu?" desak Diandra mulai marah. "Kenapa hanya demi tampil menawan, kamu merugikan dirimu sendiri?"

"Maafkan aku, Diandra," sesal Bernard. "Aku sangat terobsesi menginginkan tubuh yang atletis yang bisa kamu banggakan.

"Tapi aku tidak pernah menyuruhmu harus mempunyai tubuh atletis, Bernard. Aku menyukaimu apa adanya."

"Aku tahu. Aku tahu. Ini hanya pembenaranku sendiri. Aku sendirilah yang menginginkan tubuh ideal itu. Dan aku akui, aku salah karena tidak mendengarkan nasehat dokter, mengenai efek samping dari obat itu. Kupikir semuanya itu tidak akan mungkin terjadi padaku. Aku masih muda dan kuat. Tubuhku mampu mengatasi hal sepele itu."

"Astaga Bernard, kamu.." Diandra kehabisan kata-kata, karena mendengar pengakuan kekasihnya yang ceroboh dengan kesehatan nya sendiri.

"Dan semenjak kamu kuliah di luar negeri, aku sangat sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak punya waktu lagi untuk nge-gym. Tubuhku semakin tidak terawat. Karena itu aku mengkonsumsi obat steroid, dua kali lipat agar tubuhku tetap terlihat kekar dan bugar."

"Untuk apa harus begitu, Bernard?" keluh sedih Diandra yang tidak menyadari bahwa air matanya sudah mengalir. "Kamu tidak kekar dan memiliki perut buncit pun, aku tetap mencintaimu. Bagaimana rupa dan tubuhmu, aku juga tidak peduli. Aku mencintaimu apa adanya."

"Maafkan aku, sayang," ucap Bernard yang menyesal pun kini tidak ada gunanya. Nasi sudah menjadi bubur.

"Jangan panggil aku sayang jika kamu tidak pernah memikirkan aku dan perasaanku," sembur Diandra marah dengan menusukkan jari telunjuknya pada bahu Bernard. "Kenapa tidak memberitahuku sedari awal? Kita bisa segera mencari solusinya, bukan malah mabuk-mabukan dan mengkonsumsi narkoba. Itu hanya menambah parah kondisi tubuhmu," teriaknya dengan memukuli kedua bahu kekasihnya. "Dasar bodoh."

"Maafkan aku, Diandra. Aku memang bodoh. Aku takut jika pengakuanku membuatmu akan kecewa lalu pergi meninggalkanku."

Isak tangis lirih Diandra terdengar nyaring dan menyakitkan di telinga Bernard. Tangan Bernard terulur untuk menepuk punggung Diandra, namun berhenti di udara. Dikepalkannya tangannya lalu ditariknya menjauh.

"Kenapa kamu justru lari ke narkoba? Kenapa kamu tidak berusaha untuk konsultasi dengan dokter tentang masalah kesehatanmu?"

"Sudah. Aku sudah memeriksakan diri ke beberapa dokter. Aku sudah berulang kali melakukan pemeriksaan kualitas sperma milikku ke banyak laboratorium. Dan hasilnya tetap sama. Yaitu kualitas sperma ku nol," jelas Bernard frustasi sambil mengusap rambutnya. "Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku frustasi dan putus asa. Hanya narkoba dan minuman keras yang membuatku lupa tentang kondisiku yang sesungguhnya.

Hening...

Keduanya terdiam. Tidak tahu harus mengatakan apa untuk mendukung dan menghibur.

"Orang tuamu mendatangi papa dan mamaku. Mereka sudah mengambil keputusan final, bahwa kita berdua harus memutuskan hubungan karena sikapku yang selalu kekanak-kanakkan selama ini," kata Bernard pelan.

Diandra mengangkat kepala dan menatap nanar pada Bernard, kekasih seumur hidupnya. "Lalu? Apa keputusanmu?"

"Keputusanku ada di tanganmu," jawab Bernard mantap. "Kamu sudah tahu alasanku, mengapa aku berubah menjadi bajingan. Jika kamu mau untuk tetap menerimaku, aku akan berubah. Jika kamu tidak mau menerima kekuranganku, aku tidak akan memaksamu."

Bersambung...