Sabtu. H-1 sebelum acara perjodohan. Pukul 20.00.
"Aku pulang," salam Sinta dengan sedikit berteriak, ketika masuk ke rumah.
Sinta membungkuk sambil berpegangan pada dinding, untuk melepaskan sepatu dan meletakkannya dengan rapi, di rak dekat pintu masuk. Kemudian Sinta melangkah lebih dalam dan terkesiap. Alis Sinta mencuat tinggi melihat kondisi rumahnya. Seingatnya, sewaktu berangkat kerja pagi tadi, kondisi rumah masih nampak normal, tapi sekarang...
"Papi, siapa yang ulang tahun?" tanya Sinta bingung sambil berkacak pinggang menatap spanduk besar bertuliskan selamat datang, yang melintang di tengah-tengah ruang keluarga.
"Ulang tahun? Ngomong apa kamu?" tanya balik Pak Sopiyan, papi Sinta, yang muncul dari dalam rumah.
Pak Sopiyan membawa sebuah vas keramik berisi bunga mawar plastik dengan hati-hati, lalu meletakkannya di meja pendek di dekat pintu masuk. Vas itu sebagai pemanis rumah.
"Itu spanduk..," tunjuk Sinta pada kain berwarna merah menyala di atas kepalanya. "Buat apa?" tanyanya heran sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Buat acara besok. Spanduk itu untuk menyambut kedatangan keluarga besan," jawab papi Sinta sambil menaiki sofa untuk memperbaiki letak spanduk yang agak miring. Tiba-tiba kaki Pak Sopiyan yang berdiri diatas sofa, goyah dan terpeleset. Untung saja, Sinta sigap memeluk pinggang papinya, sehingga tulang tua itu tidak sampai patah karena mencium lantai.
"Sudah, papi jangan naik-naik lagi. Nanti kalau jatuh bikin repot," omel Sinta gemas pada papinya yang terus menyibukkan diri. Sinta kembali mendongak dan meringis menatap spanduk merah menyala itu… "Apa ini tidak terlalu norak, pi?"
"Tentu saja tidak," sahut Papi Sinta cepat. Kemudian pria enerjik ini mulai mengambil beberapa balon warna-warni yang sudah ditiup, lalu ditempelkan di setiap sudut tembok.
Sinta menatap horor semua balon itu. Kenapa dirinya tidak melihat bulatan warna-warni itu sewaktu memasuki rumah tadi? Sekarang, barulah dirinya menyadari bahwa rumahnya sedang dalam kondisi hendak menyambut tamu agung, ah bukan-bukan... tapi menyambut... siapa ya.. ah, entahlah. Pokoknya sekarang, rumahnya kini menjadi sangat norak karena hiasan warna-warni yang disebar oleh papinya yang enerjik ini.
"Kamu sudah pulang, Sinta?" sapa Ibu Sopiyan, mami Sinta yang muncul dari arah dapur sambil membawa camilan gorengan, lalu meletakkan nya di meja depan tv. Kemudian Ibu Sopiyan membantu Pak Sopiyan, mengambil balon untuk ditempelkan di dinding oleh suaminya.
"Mi, ini..," ungkap Sinta frustasi sambil merentangkan kedua tangannya dan sedikit memutar tubuhnya. "Apa ini tidak terlalu berlebihan, mi? Kita ini hanya akan menyambut keluarga besan, bukan menyambut.. astaga papi, sudah dong nempelin balon nya.. rumah kita jadi seperti taman kanak-kanak nih," keluh Sinta kesal sambil terus menghentak-hentakkan kakinya. Rasanya Sinta ingin membenturkan kepalanya ke tembok.
"Cerewet," omel Papi Sinta. "Lebih baik sekarang kamu segera pergi mandi. Mami mu sudah menyiapkan air kembang tujuh rupa. Kamu harus berendam selama satu jam penuh. Tidak boleh kurang, tidak boleh lebih. Harus satu jam tepat. Papi akan pakai stopwatch untuk memeriksa waktunya."
"Mandi kembang?" seru Sinta semakin horor. Mata Sinta bergantian menatap papi dan maminya dengan pandangan nanar, Apa sekarang adalah waktu tengah malam jumat kliwon? Sinta menggaruk rambutnya dengan sebal. "Pi, kenapa Sinta harus mandi kembang? Sinta kayak mau dijadikan tumbal saja."
"Yup. Anda benar," sahut Pak Sopiyan sambil mengangguk serius. "Kamu memang akan segera dijadikan tumbal oleh mami dan papi untuk mendapatkan cucu imut."
"Ya ampun, papi," keluh Sinta sambil menggosok-gosok wajahnya dengan gemas. Tidak di kantor, tidak di rumah, semua orang pada menyebalkan. Di kantor ada bos yang eror, dan di rumah ada papi yang nyeleneh bin ajaib.
"Sudah Sinta, jangan cerewet lagi," gerutu Pak Sopiyan sambil menarik lengan Sinta yang mencoba untuk bertahan.
"Tidak mau. Sinta tidak mau mandi kembang," bantah Sinta yang ogah menuruti kemauan papinya yang diluar nalar itu.
"Jangan banyak bicara. Sekarang cepat masuk kamar mandi. Ingat, harus tepat satu jam penuh," perintah papi Sinta tegas, tidak bisa dibantah.
"Pi, sebenarnya itu aturan dari mana sih?" desak Sinta yang frustasi sambil melepaskan cengkraman tangan Pak Sopiyan lalu segera menjauh dari jangkauan papinya. "Memangnya untuk apa Sinta harus mandi tujuh kembang selama satu jam penuh? Sinta bisa masuk angin jika harus berendam malam-malam begini. Dan lagi, jika Sinta terlalu harum, nanti Sinta bisa disengat lebah jantan. Papi akan Sinta amuk kalau sampai aku kerasukan makhluk halus."
"Dari Bang Sally. Papi hanya menuruti apa kata dia," jawab Pak Sopiyan sambil berkacak pinggang. "Dengar Sinta, Bang Sally bilang mandi kembang tujuh rupa ini sangat berkhasiat untuk mengeluarkan aura sang pengantin."
"Astaga papiku yang paling ganteng sedunia flora fauna, kenapa omongannya Bang Sally didengarkan sih? Dia kan rada tidak beres. Kenapa papi telan mentah-mentah omongan dia? Haish, papi ini bikin senewen saja," teriak Sinta frustasi sambil berderap masuk ke dalam rumah. "Pokoknya Sinta tidak mau mandi kembang. Sinta cuma pingin mandi lima menit terus bobok. Sinta capek."
"Jangan membantah perintah papi, Sinta. Pokoknya kamu harus berendam," perintah Pak Sopiyan tidak bisa diganggu gugat. Pak Sopiyan setengah berteriak karena Sinta, putrinya sudah mulai masuk ke kamar mandi. "Ini papi sudah jalankan stopwatch nya."
"Sinta, dengarkan saja papi," tegur Mami Sinta yang berdiri di sebelah Sinta, mencegahnya untuk menutup pintu kamar mandi. "Toh juga tidak ada salahnya kamu menuruti apa kata papi. Papi juga tidak mungkin menyuruhmu melakukan hal yang merugikanmu."
"Tapi mi..," protes Sinta lelah.
"Semua ini demi kebaikanmu, sayang. Papi dan mami akan melakukan semuanya, jika hal itu memang baik untukmu. Kami menyayangimu, Sinta," nasehat Ibu Sopiyan lembut.
"Baiklah, baiklah," sahut Sinta lesu sambil melangkah melewati ambang pintu kamar mandi.
Tetapi tiba-tiba langkah Sinta terhenti ketika teringat sesuatu. Sinta berbalik cepat dan mendapati kedua orang tuanya yang kini sudah berdiri di depannya bagaikan sipir penjara yang mengharuskan dirinya melaksanakan titah mereka tanpa kesalahan.
"Ngomong-ngomong, dimana Sinta harus berendam? Kita kan tidak punya bathtub," papar Sinta yang mulai merasa senang, karena usaha papinya yang gagal menyuruhnya berendam air kembang tujuh rupa.
"Jangan khawatir. Lihat, di dalam kamar mandi, mami sudah meletakkan ember besar. Disitulah kamu akan berendam, di dalam ember besar itu," jawab Pak Sopiyan tenang sambil memutar badan Sinta ke arah dalam kamar mandi. Mata Sinta kembali terbelak horor. Disitu ada…
"Hah??! Papi bercanda ya…," pekik Sinta frustasi. "Papi, itu kan ember cuci baju warna hijau?? Yang benar saja, masa Sinta yang sudah dewasa harus bermain air di ember itu?"
Ya amplop... sebesar-besarnya ember cuci baju, mana bisa merendam seluruh tubuhnya??! Yang ada, Sinta tambah kedinginan karena air hangat tujuh rupanya hanya merendam separuh badan ke bawah. Haish, tau begini, lebih baik sekalian saja Sinta dikirim ke dunia gaib, seperti kata bos tadi.
"Sudah, jangan banyak omong lagi. Cepat masuk kamar mandi," balas Papi Sinta sambil berkacak pinggang kesal, karena putri semata wayangnya ini berdebat terus dengannya. "Mami, awasi Sinta. Dia harus berendam satu jam penuh."
Wajah Sinta yang berubah menjadi pucat tak berwarna, menerbitkan gelak tawa geli Ibu Sopiyan, maminya. "Ayo sayang, kita segera berendam. Malam ini, kamu akan jadi bayi mami lagi. Bayi yang mandi di ember besar."
Bersambung…