Hari Minggu. Hari perjodohan. Di rumah Rama pukul 08.00 pagi.
Rama mengulurkan tangannya, mematikan jam bekernya yang terus bernyanyi tanpa henti. Berisik. Kemudian Rama bergeser, memindahkan tubuhnya ke arah yang berlawanan, lalu memeluk gulingnya dengan nyaman. Belum sempat Rama terlelap nyenyak, tiba-tiba sinar matahari masuk dari jendela yang berhadapan dengan ranjangnya berada. Selimut yang ingin digunakan untuk menyelimuti kepalanya, ditarik kuat oleh seseorang dari ujung ranjang.
"Cepat bangun, Rama,"perintah Mama Rama, sambil mengguncang lengan putranya. "Dilan juga cepat bangun."
Rama berdecak tidak suka dengan gangguan mama tercintanya. "Ma, ini akhir pekan dan aku ingin tidur sampai siang. Jarang sekali akhir pekan aku mendapat libur. Mami, jangan ganggu ah."
"Akhir pekan yang lain, boleh. Tapi akhir pekan yang sekarang tidak boleh," tegur mamanya sambil mendorong bahu Rama agar bangun dari posisi berbaringnya. "Ini sudah jam delapan pagi. Persiapan kalian hanya lima belas menit, sebelum kita berangkat ke rumah calon pengantinmu."
"Aku tidak mau pergi, mamiku tersayang," protes Rama sambil memeluk guling lalu berbaring lagi. "Minggu depan saja."
"Cerewet, mami tidak mau dengar ocehan lagi. Cepat bangun dan bersiap. Papi saja sudah ganteng dan duduk di depan tv," omel mami Rama sambil mempersiapkan kemeja biru dan celana panjang hitam yang sudah disetrika licin semalam. Satu stel pakaian itu diletakkan di atas ranjang Rama. "Dilan, kemejamu juga sudah mami setrika."
"Ya mami," jawab Dilan serak karena bangun tidur.
"Buruan ganti pakaian. Mami sudah siapkan sarapan sebelum kita berangkat."
Brak. Mami Rama keluar dan menutup pintu kamar.
"Lima menit lagi," gumam Rama sambil menarik selimutnya dan berbaring menutupi kepalanya. Pintu kamar yang kembali terbuka, membuat Rama tersentak kaget.
"Jangan tidur lagi, Rama! Awas, kalau kamu sampai tertidur lagi, nanti mami guyur pakai air kulkas."
*****
Hari Minggu. Hari perjodohan. Di rumah Sinta pukul 08.00 pagi.
"Papi, aku dandan sendiri saja. Tidak perlu pergi ke salon Bang Sally." Bang Sally adalah MUA ala kampung di daerah perumahan Sinta.
"Tidak bisa. Papa sudah buat janji dengan Bang Sally. Ayo, cepat pergi ke sana," perintahnya seraya menarik Sinta lengannya untuk berdiri, namun Sinta masih bermalas-malasan. "Eh, tunggu.." Papi Sinta mengendus-endus aroma putrinya, lalu menatap Sinta dengan pandangan bertanya. "Kamu tidak mandi dulu?"
"Papiku sayang, semalam Sinta sudah mandi pake berendam selama satu jam, sampai kulit keriput. Sinta tidak mau mandi lagi. Masih harum," protes Sinta sewot.
"Ya sudah. Sekarang cepat berangkat," perintah Pak Sopiyan, papi Sinta dengan galak.
"Pi, Sinta minta ongkos ojek." Sinta mengulurkan telapak tangannya ke arah papinya.
"Jalan kaki saja biar sehat."
Sinta memutar bola matanya mendengar penolakan papinya yang pelit. "Balik ke rumah, juga jalan kaki? Bisa luntur ini make up nya, papi," protes Sinta cemberut sambil membayangkan dirinya yang sudah cantik ala bollywood, harus kepanasan karena berjalan kaki dibawah sinar matahari.
"Cuma dua menit sana-sini. Tidak mungkin luntur."
"Iya kalee dua menit.. kalau pake pintu doraemon kemana saja, cukup dua detik sampai deh," gerutu Sinta yang masih enggan beranjak dari sofa sambil menonton serial kartun kesukaannya, upin dan ipin.
Ngek.. Kuping Sinta terkena jeweran sayang. "Berangkat sekarang, Sinta."
"Iya-iya."
"Jangan mampir-mampir ke warung Bik Iyah," seru Papi Sinta sambil mengacungkan jari telunjuknya pada putrinya yang cemberut. Warung Bik Iyah, warung langganan putrinya, yang terletak di ujung blok.
Sinta berdecak sebal, tahu saja papinya jika dirinya ingin mampir dan makan sebungkus nasi campur. "Aku lapar, papi."
"Tadi kamu sudah menghabiskan semangkuk bubur ayam dan sekarang sudah lapar lagi?" teriak Pak Sopiyan jengkel. "Jangan makan lagi, nanti gaunmu tidak cukup."
"Ck, anaknya lapar, mau makan saja diomeli. Orang tua macam apa itu? Harimau saja kalau anaknya lapar, langsung dikasik makan. Sungguh, papi sangat kejam," rutuk Sinta sambil keluar dari rumah dan membanting pintunya, tidak menggubris papinya yang berteriak-teriak marah.
Salon Bang Sally berbeda satu blok dari rumahnya. Perjalanan bisa ditempuh dengan waktu sepuluh menit dengan berjalan kaki. Sinta mengetuk pintu samping di rumah Bang Sally, yang difungsikan sebagai salon kecantikan.
"Bang.. Bang Sally," panggil Sinta di sela-sela jendela yang terbuka. "Sinta datang nih."
"Pintu tidak dikunci. Masuk saja, Sinta," teriak seseorang dari dalam.
Sinta membuka pintu dan masuk ke dalam rungan yang harum dengan berbagai aroma dari alat-alat kecantikan. Sinta langsung duduk di salah satu di kursi di depan cermin. "Cantik," tembak dirinya sendiri.
Memuji diri adalah hal yang disukai Sinta, karena itu membuatnya percaya diri bahwa dirinya 'cantik'. Sinta tidak peduli akan pendapat orang lain yang hanya menganggapnya jelek atau hanya biasa saja. Sinta mempunyai rasa nyaman yang kuat pada dirinya.
Tidak lama kemudian sesosok laki-laki yang berjalan anggun nan gemulai, datang mendekati Sinta dari arah belakangnya. Sinta memandang cemberut bin sebal pada Bang Sally. Gara-gara pria gemulai ini, dirinya harus mandi kembang ditengah malam buta.
"Kita mulai sekarang ya, Sinta," kata Bang Sally dengan suara mendayu, sambil menyentuh kedua bahu Sinta. Sinta mengangguk dengan pasrah.
Satu jam kemudian, Sinta sudah dalam perjalanan pulang ke rumah dari salon Bang Sally. Sinta sudah mewanti-wanti Bang Sally sepanjang proses make up, agar mendandaninya dengan sapuan yang 'soft-soft' saja. Alhasil, kini Sinta terlihat cantik dengan make up natural dan rambut tergelung cantik diatas kerah kemeja piama nya.
Beberapa pejalan kaki bersiul menggoda Sinta yang cantik, yang sedang berjalan sendirian. Bahkan pak satpam juga berhenti dan menawarkan tumpangan gratis ke rumahnya, yang hanya tinggal berjarak dua ratus meter saja. Sinta mendadak jadi selebriti terkenal, karena ada tiga laki-laki yang berjalan mengiringinya sampai ke rumah. Dua pak satpam dan seorang remaja ingusan tetangga rumah.
"Terima kasih banyak sudah menemani Sinta sampai di rumah," ucapnya sambil tersenyum manis. Memang begini resiko gadis cantik, dikelilingi banyak kumbang jantan.
"Semoga sukses acaranya," kata mereka sambil beranjak pergi dari depan rumah Sinta.
Setelah ketiga orang itu pergi, Sinta keluar lagi dari dalam pagar rumahnya. Sinta berjalan lesu menuju pondok kayu yang tidak jauh dari rumahnya. Sinta duduk melamun sambil memeluk lututnya, mempertanyakan apa yang akan terjadi dengan hidupnya, setelah dirinya bertunangan dengan seseorang yang bahkan tidak dikenalnya.
"Kalau aku kabur dari pertunangan ini, kira-kira aku harus kabur kemana? Pinginnya sih kabur ke luar negeri sekalian traveling. Tapi apa daya, tabunganku sangat pas-pasan," keluh Sinta muram sambil menyembunyikan wajahnya yang sudah dirias apik, ke dalam lekukan kedua sikunya.
Kira-kira lima belas menit kemudian, sebuah mobil meluncur dan berhenti tepat di depan rumah Sinta. Sinta yang melihat hal itu hanya terdiam memperhatikan kedatangan para tamu yang berjumlah empat orang itu dari kejauhan.
Papi dan Mami Sinta keluar dari rumah dan menyambut mereka dengan antusias. Tiba-tiba, seorang pria yang mengenakan kemeja biru, menoleh dan menatap tajam ke arah Sinta. Sinta langsung terkesiap. Tatapan itu mungkin hanya berlangsung dua detik, tapi dunia Sinta serasa runtuh. Itu dia... Itu pria yang ada di foto. Pria yang dijodohkan dengannya.
Bersambung...