Dilan menyetir mobil yang ditumpangi Rama dan keluarganya, menuju rumah calon mertua sahabatnya itu. Dilan mengulum senyum ketika matanya melirik Rama yang duduk di sebelahnya, terus bersikap cemberut dan kekanak-kanakkan. Semua wejangan papi dan mami, hanya masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri.
Jam hampir menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi, ketika mobil berhenti di depan sebuah rumah yang nyaman dan teduh. Terlambat satu jam dari waktu yang sudah disepakati bersama. Semua ini gara-gara Rama yang sengaja lelet dalam semua persiapan di rumah. Bangun, lelet. Makan, lelet. Mandi, lelet. Berganti pakaian pun, lelet. Alhasil, mami Rama mengomel panjang kali lebar.
Sepasang suami istri keluar dari dalam rumah dan menyambut kedatangan keluarga Rama dengan gembira dan sangat antusias. Papi dan mami buru-buru turun untuk menerima sambutan istimewa dari calon besan. Sedangkan Rama turun dari mobil dengan ogah-ogahan. Dilan merangkul sahabatnya dan menariknya, berjalan di belakang para orang tua itu. Kemudian...
"Kenapa Rama?" tanya Dilan bingung, karena Rama menahan langkahnya. "Ayolah, jangan ngambek disini. Jadilah laki-laki yang gentleman."
Rama mengabaikan sindiran Dilan. Rama merasakan ada sesuatu yang menggelitik punggungnya, sejak turun dari mobil. Kemudian Rama menoleh ke belakang. Ada seorang wanita yang menatapnya intens dari sebuah pendopo, yang berada tidak jauh dari rumah ini. Rama memiringkan kepala dan memicingkan matanya. Itu.. wanita yang ada di foto. Wanita yang dijodohkan dengannya.
"Ada apa Rama?" tanya Dilan bingung. "Ayo kita segera masuk. Semua orang sudah menunggu," ajak Dilan sambil menarik Rama.
Belum sempat Rama menjawab, terdengar kehebohan dari dalam rumah. Rama memperhatikan calon papa mertuanya sedang berjalan keluar rumah, dengan ekspresi resah dan marah besar.
"Mi, dimana dia? Apa dia belum pulang dari salon? Coba mami telpon. Bikin malu saja," bisik orang tua laki-laki itu pada istrinya. Tapi karena perasaan jengkelnya yang menggebu-gebu, bisikan itu terdengar keras di telinga Dilan dan Rama yang berdiri dengan terhalang pohon mangga di halaman rumah itu.
"Mami sudah telpon, tapi tidak diangkat. Mami juga sudah menelpon Bang Sally, katanya sudah lama dia meninggalkan salon. Bagaimana ini, pi?" ucap orang tua wanita itu resah.
Dilan mengangkat alis melihat kehebohan itu, lalu mengulum senyum, sepertinya calon Rama menghilang dari rumah. Dan ketika ingin berkomentar pada sahabatnya itu, didapatinya Rama yang sedang memandang ke belakang punggungnya.
"Rama?" panggil Dilan sambil menepuk bahu sahabatnya. Mata Dilan mengikuti arah pandangan Rama. Ada seorang wanita yang sedang duduk, yang menarik perhatian Rama saat ini. "Bro?"
"Dilan, kamu masuk saja dulu," kata Rama serius. "Ada sesuatu yang harus aku kerjakan."
"Bro, jangan aneh-aneh," tegur Dilan, mencegah Rama yang berniat mendekati wanita tidak dikenal itu. "Tidak etis jika keluarga calonmu menemukan dirimu sedang merayu wanita lain."
"Bilang sama mereka, aku akan membawa pulang calon pengantinku," jawab Rama sambil mengibaskan tangan, lalu berjalan menyeberang jalan menuju pendopo itu. Rama mengabaikan panggilan Dilan.
Rama tidak melepaskan pandangannya dari wanita yang sudah terlihat cantik, namun masih mengenakan kemeja piyama doraemon. Tanpa banyak bicara, Rama melepaskan sepatunya lalu duduk di sebelahnya. Wanita itu pun juga tidak melepaskan tatapannya pada Rama.
"Kenapa kamu tidak masuk ke dalam?" tanya Rama kalem.
Rama berdecak ketika wanita hanya memandanginya tanpa suara. "Apa kamu masih belum puas memandangiku?" tanyanya lagi. Rama mengulum senyum ketika wanita itu berdecak sebal dan memalingkan wajahnya. "Jadi kamu adalah wanita yang dijodohkan denganku?"
Wanita kembali menatap Rama. "Bisa iya, bisa tidak," jawabnya ketus.
"Hmm, dari nada suaramu, aku tebak, kamu juga tidak mau dijodohkan denganku?"
"Begitulah."
"Apa alasanmu?" desak Rama lebih lanjut. Mendengar suara muram itu, Rama merasa ikut bersimpati. Ternyata wanita di depannya ini juga dipaksa mengikuti perjodohan orang tua mereka.
"Pokoknya tidak mau saja. Tidak ada alasan," jawabnya dengan mata menerawang ke arah rumahnya.
"Punya pacar?"
"Tidak punya."
"Jomblo akut, berarti," komentar Rama sambil mengangguk, paham.
Wanita itu mendelik sebal ke arah Rama. "Dijaga ya itu mulutnya. Memangnya salah, kalau aku belum punya pacar? Lalu kamu sendiri, kenapa kamu juga mau dijodohkan denganku? Pasti kamu juga jomblo kan? Atau jangan-jangan kamu tertarik padaku karena melihat fotoku yang cantik kan?"
"Whoi-whoi," sentak Rama emosi. Percuma dirinya tadi bersimpati. Rupanya mulut mungil itu pedas juga. "Kamu jelas-jelas bukan tipe kesukaanku," lanjut Rama ketus dengan pandangan meremehkan. "Jadi jangan terlalu pede dengan 'kecantikanmu' itu," tegas Rama yang menekankan kata 'cantik'. Dilihat dari sedotan mana pun, wajah seperti itu tidak bisa dikatakan cantik di mata Rama. Wanita sialan ini rupanya punya tingkat kepercayaan diri yang tinggi.
"Cih."
Hening... Keduanya terdiam menikmati angin sepoi-sepoi di pendopo itu.
"Lalu bagaimana sekarang?" tanya wanita itu, memecahkan keheningan. "Kamu tidak suka padaku. Aku pun tidak tertarik padamu. Apa yang akan kita lakukan sekarang?"
"Menurutmu.. apa kita punya kesempatan untuk menolak perjodohan ini?" tanya Rama balik, tanpa menjawab pertanyaan wanita itu.
"Apakah ada kemungkinan kamu akan jatuh cinta padaku?" tanya wanita itu.
"Ck," decak Rama sebal. "Harusnya aku yang bertanya, apakah ada kemungkinan kamu akan jatuh cinta padaku?" sewotnya, kemudian melanjutkan pertanyaannya ketika sebuah ide jenius tiba-tiba melintas di otaknya. "Bagaimana kalau kita menandatangani sebuah kontrak pernikahan?"
"Kontrak pernikahan?"
"Ini hanya diantara kita saja," sahut Rama yang mulai bersemangat. "Orang tua menyuruh kita menikah secara resmi, namun kita akan menikah secara kontrak. Kita akan menandatangani kontrak yang telah kita sepakati bersama. Kamu boleh memberikan poin apa saja yang kamu inginkan dan poin apa yang tidak kamu inginkan. Begitu juga denganku. Bagaimana?"
Rama memperhatikan wanita yang akan menjadi pendampingnya, sedang serius memikirkan ide jeniusnya.
"Lalu.. apakah ada jangka waktu dari surat kontrak itu?"
"Jangka waktu ya?" gumam Rama yang belum memikirkan ide jenius nya hingga sejauh itu. "Menurutmu?"
"Dua tahun. Aku setuju kawin kontrak denganmu," sahutnya sambil menunjukkan angka dua dengan jarinya. "Aku tidak mau membuang waktu serta menyia-nyiakan masa depanku, dengan hidup bersama laki-laki yang tidak kucintai."
"Dua tahun.. baiklah, aku setuju."
"Deal."
Sebuah senyum mempesona tersungging di bibir wanita itu, membuat Rama sedikit terpesona. Sedetik kemudian, Rama menggeleng-gelengkan kepala, menolak untuk terpikat.
"Ngomong-ngomong, bagaimana aku memanggilmu?"
"Panggil saja aku Rama."
"Rama? Hmpt... Ha-ha-ha.."
Rama sedikit tersinggung mendengar suara tawa renyah itu. "Ada yang salah dengan namaku?"
"Tidak-tidak.. Tidak ada yang salah. Ha-ha-ha... Aku hanya.. aku hanya merasa geli." Sinta memalingkan wajah dan menahan gelak tawa geli.
"Geli? Kenapa?" tanya Rama tidak suka.
"Nama kita bisa saja menjadi pertanda sebuah ikatan jodoh."
"Jangan ngomong sembarangan."
"Coba kamu ucapkan namamu sekali lagi," perintah Sinta mencoba untuk serius.
Rama menggaruk pelipis nya. "Wanita aneh. Baiklah. Hai, aku Rama."
"Hai Rama. Aku Sinta," jawab wanita itu tersenyum menyebalkan.
"Sinta?" ulang Rama yang matanya membulat lebar. Pantas mami dan papi tidak menyebutkan nama calonnya. Ternyata namanya dan nama pasangannya seperti nama dalam tokoh pewayangan. Rama dan Sinta.
Berjodoh kah?
Bersambung...