Tok-tok-tok...
"Dilan?" panggil Dyra sambil mengetuk pintu kamar sahabatnya. "Apa kamu di dalam?" tanyanya sambil membuka pintu kamar. Dyra melongok ke dalam kamar yang ternyata kosong.
"Hmm, kemana dia? Aku melihat mobil Jeep nya di halaman depan," gumam Dyra sambil menutup pintu lalu bersandar pada dinding. "Apa mungkin dia pergi lagi? Tapi ini sudah malam."
"Kak Dyra," panggil seorang anak laki-laki yang tiba-tiba melewatinya. Dyra berjongkok untuk menyejajarkan pandangan matanya dengan anak itu. "Sedang apa disini?" tanya anak itu sambil menguap. "Jika mencari Bang Dilan, dia sedang mandi."
"Oh, baiklah. Aku akan menunggu di kamarnya," kata Dyra sambil melambaikan tangan pada anak laki-laki yang berjalan menjauh.
Kemudian Dyra membuka pintu kamar dan masuk ke dalam. Well, sudah berapa lama dirinya tidak masuk ke kamar ini. "Hmm, sepertinya semenjak mulai bekerja, sibuk dengan pekerjaan, kami jadi jarang mengobrol disini, di kamar Dilan," batin Dyra.
Dyra memindai isi kamar sahabatnya yang sama sekali tidak berubah. Masih suka berantakan. Dengan terpincang-pincang, Dyra berusaha merapikan sebisanya. Kemudian Dyra duduk di ranjang Dilan, karena meja dan kursinya penuh dengan buku-buku mekanik dan barang-barang tidak jelas lainnya.
Dyra menghela nafas lelah sambil mengurut kakinya yang sakit karena keseleo. Dyra tidak mengatakannya pada ibunda dan ayahanda perihal kakinya. Mereka sudah repot dengan ulah si mungil yang hari ini, rencananya akan diadopsi oleh sebuah keluarga yang belum dikaruniai keturunan selama lima tahun. Namun rencana adopsi itu gagal, karena si mungil tidak mau diadopsi dan memilih menghilang.
Si mungil, panggilan untuk anak cewek yang baru datang ke panti asuhan. Dia berusia empat tahun. Seseorang mengantarkan anak malang itu ke rumah panti ini, sebulan yang lalu. Si mungil yang ketakutan berada di tempat yang asing, menolak untuk bicara.
Kasihan sekali si mungil. Keluarga yang selama ini mengasuhnya adalah tetangga dari kedua orang tuanya yang sudah meninggal karena terserang wabah di desanya. Dan karena keberatan mengasuh si mungil lagi, akhirnya anak malang itu diantarkan ke panti asuhan. Sebutan mungil diberikan karena tubuh anak itu sangat kurus dan kecil untuk anak berusia empat tahun.
"Mungil, dimana kamu? MUNGIL...," teriak Dyra yang siang itu mencarinya kemana-mana. Kebetulan Dyra sedang cuti kerja. Jadi Dyra membantu orang panti asuhan untuk mencari si mungil yang menghilang, ketika keluarga yang ingin mengadopsinya datang.
Akhirnya Dyra menemukannya di atas pohon mangga di belakang rumah panti asuhan. Entah siapa anak panti yang mengajari si mungil naik ke pohon. Dengan hati-hati, Dyra naik ke pohon dan mendekati si mungil yang duduk melamun disana.
"Sayang, kenapa ada disini? Semua orang mencarimu," kata Dyra sambil mengelus rambut lembut si mungil.
"Tidak mau pergi. Tidak mau pergi."
"Baiklah, jika kamu tidak mau diadopsi. Nanti kita bicara baik-baik dengan ibunda."
"Hiks-hiks.." Si mungil memeluk Dyra sambil menangis gemetaran.
"Ayo, kita turun."
Dan apes bagi Dyra. Dirinya terpeleset ketika turun dari pohon. Dyra terjatuh dari pohon dan kakinya keseleo hingga bengkak. Dyra melarang si mungil untuk mengatakan perihal kakinya yang bahkan sangat sakit untuk dipakai berjalan.
Cklek. Blam.
Dyra melihat Dilan masuk ke kamar, tanpa menyadari dirinya ada di dalam. Dyra menyembunyikan kakinya yang keseleo. Mata Dyra memandang tubuh laki-laki itu dengan melamun. Gagah dan terlihat kuat, membuat dirinya ingin bersandar dan mencari kenyamanan dari tubuh bagian atas yang telanjang itu. Jantung Dyra mulai berdebar-debar, ketika mendengar suara pintu kamar yang dikunci. Kini dirinya berduaan dengan seorang laki-laki.
"Lo Dyra? Kenapa kamu ada disini?" tanya Dilan yang terkejut melihat dirinya sedang duduk bersila di tengah ranjangnya.
"Aku.. aku kemari karena ada yang ingin aku bicarakan," jawab Dyra yang memperhatikan sahabatnya sedang mengambil kaos usang lalu segera memakainya.
"Besok saja curhatnya. Aku sedang badmood."
"Baiklah," jawab Dyra lesu sambil menggeser tubuhnya untuk turun ranjang. Tapi Dyra lupa jika kakinya sedang terkilir. Pijakannya yang lemah dan rasa nyeri yang hebat, membuat Dyra berdiri terhuyung-huyung.
"Hei Dyra, hati-hati," teriak Dilan yang menarik tangannya agar tidak jatuh.
Namun karena posisi Dyra yang sudah condong ke arah ranjang, maka Dilan pun ikut tertarik bersama dirinya, jatuh ke matras yang empuk itu. Akibatnya keduanya bertumpuk di ranjang, dengan posisi Dyra dibawah kungkungan tubuh jantan Dilan.
Dyra menahan nafas saat menyadari tubuh keras Dilan menekan tubuh lembutnya. Mata Dyra tidak bisa melepaskan tatapannya dari mata Dilan yang seakan ingin melahapnya.
"Dyra."
Dyra mendengar bisikan lembut dari mulut Dilan. Dyra memandang bibir sahabatnya yang perlahan semakin mendekat. Dyra meneguk air liur dengan gugup.
Cup.
Sentuhan pertama yang ringan mengantarkan getaran hasrat yang dahsyat, membuat kedua tangan Dyra mencengkram erat seprei. Dyra menahan nafas ketika Dilan menatapnya seakan meminta izin untuk meneruskan ciumannya. Kemudian Dilan kembali menurunkan bibirnya untuk memagut bibir lembutnya.
Kecupan berikutnya bukanlah ciuman yang ringan. Dilan memperdalam ciumannya, mengisap bibirnya, menerobos lebih dalam dan melilitkan lidah dengan lidahnya. Dyra mengulurkan kedua tangannya untuk merangkul tengkuk Dilan.
Dyra berusaha mengimbangi cumbuan Dilan yang semakin intens. Tubuhnya terasa memanas akibat gairah yang ditimbulkan sentuhan dan ciuman Dilan. Rintihan Dyra pun keluar dari dalam tenggorokannya.
Kemudian....
"Aku menyukaimu, Diandra. Aku menginginkanmu," ucap Dilan lirih ketika mengambil jeda dalam ciuman hot keduanya. "Aku sangat menginginkanmu," lanjutnya dengan wajah terbenam di leher Dyra yang mendongak.
Deg...
Tubuh Dyra sontak membeku. Nama wanita lain yang disebutkan lirih oleh Dilan, menepis kabut gairah dan langsung membuatnya dingin seketika. Dyra tidak percaya dengan apa yang didengar. Bercumbu dan bermesraan dengannya, namun nama wanita lain yang diucapkan Dilan.
Kemudian dirasakannya tangan Dilan meremas buah dadanya dengan kuat. Bibirnya mengisap leher jenjang Dyra yang mendongak. Dyra menggeliat hebat untuk menolak perlakukan Dilan padanya. Dyra tidak mau menjadi pengganti wanita lain. Dyra berusaha keluar dari lilitan hasrat yang mencengkramnya. Dilan berhasil membangkitkan gairahnya, namun Dyra tidak sudi disentuh, karena laki-laki itu menyebut wanita lain.
"Hentikan Dilan," pekik Dyra yang akhirnya berhasil mendorong tubuh Dilan yang menindihnya, menjauh darinya.
Dyra bangun dari posisinya yang berbaring dan bergeser menjauhi Dilan yang masih.. entahlah, mungkin sedang memulihkan diri dari perasaan syok karena telah bercumbu dengannya. Kemudian Dyra kembali mendengar sesuatu yang menyakitkan. Nama wanita lain dalam percumbuan sudah menyakitkan, sekarang ditambah lagi dengan sebuah penyesalan.
"Dy-Dyra ma-maafkan aku. Aku.. aku tidak tahu apa yang kupikirkan. Ma-maaf," sesal Dilan yang tidak berani menatap matanya.
Dyra menarik nafas panjang. Dadanya terasa sesak dan air matanya berlomba untuk segera turun mengalir. "Boleh aku bertanya satu hal?"
"Apa?"
"Apakah kamu memikirkanku ketika bercumbu denganku?"
Mata Dyra semakin memanas saat melihat Dilan memandangnya dengan tatapan kosong. Dyra memandang langit-langit kamar untuk mencegah air matanya mengalir.
"Maafkan aku, Dyra. Aku menyesal sudah menyakitimu. Anggaplah malam ini tidak terjadi apa-apa," kata Dilan pelan.
Kepala Dyra tertunduk lesu. "Maaf, aku sudah mengganggumu. Selamat malam," ucapnya yang berjalan cepat menuju pintu. Tidak dihiraukannya, rasa nyeri di kaki yang membuatnya ingin berteriak kesakitan.
"Dyra."
Tangan Dyra berhenti diatas gagang pintu, ketika mendengar namanya dipanggil.
"Maaf."
Dyra menghapus air matanya dengan kasar, sebelum berbalik dan memberikan senyum sendu. "Aku tidak menyesal bercumbu denganmu. Aku hanya menyesal, ada nama wanita lain di tengah-tengah kita."
Cklek. Blam.
Bersambung...