"Bang Dilan."
"Apa?" jawab Dilan tanpa menoleh. Dilan sedang melakukan servis pada mobil yang mengalami sumbat pada jalur bahan bakarnya.
"Disuruh Bang Didik ke toilet."
Gerakan Dilan membeku. "Toilet?" ulangnya sambil menatap bingung pada anak magang itu. "Ngapain dia suruh aku ke toilet?"
"Tidak tahu. Tapi.. katanya penting."
"Baiklah. Aneh-aneh saja itu orang," gerutu Dilan sambil melemparkan lap kotor setelah membersihkan tangannya di kain yang telah menghitam itu ke lantai.
Dilan berdiri di depan toilet dan memanggil.. "Bang Didik, ini aku, Dilan. Cepat bilang ada apa. Aku lagi banyak pekerjaan, bang."
Cklek.
Nampaklah wajah Didik yang kusut, yang muncul dari dalam bilik toilet. Didik berjalan cepat mendekati Dilan yang memasang wajah jengkel padanya. Kemudian ditariknya lengan Dilan dan diajaknya ke pelataran parkir karyawan.
"Apaan sih bang?" gerutu Dilan.
"Ikut saja."
Didik berjalan ke mobilnya, lalu membuka pintu bagasi mobil dan menunjukkan isinya pada Dilan. "Aku tidak tahu kenapa barang-barang ini ada di mobilku. Percayalah padaku, bukan aku.. bukan aku yang mengambil semuanya ini. Dilan, Kamu percaya padaku kan?"
Dilan terkesiap melihat stok barang bengkel ditemukan di bagasi mobil Didik. Dilan menatap rekannya. "Kapan kamu menemukan bagasimu penuh barang begini?"
"Tadi malam." Suara Didik terdengar gugup dan raut wajahnya nampak pucat. "Aku menemukan bagasiku penuh melimpah tadi malam di rumah. Ketika aku ingin membersihkan mobil, aaku menemukan... ini."
Dilan membungkuk ke dalam garasi. Diambilnya dua kaleng oli mesin, lalu meletakkannya di kedua tangan Didik. Kemudian Dilan mengambil dongkrak yang sedari kemarin dicarinya hingga keliling bengkel, namun tidak juga ketemu, ternyata barang nya ada di bagasi Didik.
"Dilan, ini.." Wajah Didik semakin pucat saat Dilan meletakkan beberapa barang di tangannya.
"Jika ada yang bertanya, katakan saja.. eng.. apa ya," kata Dilan yang terdiam merenung. Sedangkan Didik berdiri kaku di sebelah Dilan, menunggu perintah dari rekan kerjanya itu. "Bilang saja.. bilang saja.. Dilan yang lupa menurunkan semua barang itu dari mobil. Jika ada yang mendesak bertanya lebih dalam, suruh bertemu denganku."
"Kamu tidak mencurigaiku kan?"
Dilan menatap tajam ke arah Didik yang meringis ketakutan. "Kamu tidak mencuri kan?" cecarnya balik, membuat Didik semakin gelisah.
"Ti-tidak. Tentu saja tidak. Aku tidak mencuri apa pun," jawab Didik gugup sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat. "Aku.. aku tidak akan menjerumuskan diriku sendiri."
"Aku mengerti. Sekarang, cepat pergi."
"Dilan, terima kasih," ucap Didik lirih dengan wajah penuh keringat dingin.
Dulu, beberapa tahun yang lalu, saat Didik masih menjadi anak magang di bengkel ini, ada seorang montir senior yang mencuri barang stok bengkel sedikit demi sedikit. Dan karena ketahuan, lady bos segera melaporkannya ke polisi dan pelaku langsung diadili serta dinyatakan bersalah. Lady bos terkenal tegas, tanpa kompromi terhadap setiap kesalahan.
"Apakah mungkin.. pelakunya adalah orang yang sama?" gumam Dilan sambil bersandar pada bagasi yang sudah tertutup.
*****
Plak..
"Astaga ayahanda, jangan main pukul," gerutu Dilan jengkel karena kepalanya kena pukul.
"Dari tadi kamu bengong melulu. Aku jadinya ngomong sama angin tuh. Bikin sebel saja," balas sewot ayahanda, suami pemilik panti asuhan. "Trus satu lagi, kalau diluar begini, jangan panggil aku ayahanda. Berasa kayak bapaknya raja."
"Aku lagi banyak pikiran," jawab Dilan lesu sambil menyeruput es teh manis jumbonya.
Siang ini, tiba-tiba ayahanda menelponnya untuk mengajaknya makan siang. Katanya sih, posisi sedang ada di dekat bengkel Dilan. Tapi itu pasti hanya alasan yang dibuat-buat. Namun, Dilan tidak mau pusing-pusing memikirkannya. Masalah yang sedang dihadapinya lebih berat daripada ngurusi alasan konyol ayahanda yang tumben mengajaknya makan siang bersama.
Plak..
Lagi-lagi sebuah tamparan mampir ke dahi Dilan yang melamun. Tubuh Dilan sontak menjauhi ayahanda yang kembali bersiap memberinya tepukan sayang. Kali ini, Dilan sudah benar-benar sadar dari melamun.
"Kamu melamun apa?"
Dilan melirik ayahanda lalu membuang pandangannya ke arah lain. Kemudian matanya bertemu dengan seorang anak magang yang baru saja memasuki depot. Dilan mengangguk ke arah anak magang yang menyapa dirinya. Dilan menatapnya tajam dan beberapa kali menoleh ke belakang untuk mengawasi anak magang itu.
"Siapa dia?"
Dilan membalas tatapan ayahanda yang berubah menjadi serius. Dilan memperbaiki posisi duduknya dan menjawab, "Anak magang di bengkel."
"Ada yang salah dengan dia?"
"Rama mencurigainya sebagai pelaku pencurian stok barang di bengkel," jawab Dilan dengan suara pelan.
"Rama? Maksudmu si Anime?" ulang ayahanda, sekaligus atasan Rama, sahabat Dilan.
Dilan mengangguk. "Aku meminta bantuan Rama. Karena aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan."
"Kasus seperti apa?"
"Ada pencurian di bengkel selama satu bulan terakhir. Barang-barang itu diambil sedikit demi sedikit dan kamera CCTV hanya satu kali merekam sosok pencuri itu."
"Kamera nya diotak-atik?"
"Ya."
"Lalu apa yang membuat Anime mencurigainya?" tanya ayahanda sambil mengedikkan dagunya ke arah anak magang yang sedang melahap menu makan siang nya.
Dilan mengangkat bahu. "Rama hanya bilang, aku disuruh mengawasinya."
"Ada informasi yang lain?"
Dilan mendadak gelisah.
"Ada apa?"
"Sebenarnya ada. Tapi..."
Ayahanda menadahkan tangan untuk meminta bukti. "Berikan."
Dilan menggigit bibir bawahnya sambil mengeluarkan ponselnya dari saku celana jins nya. Dibukanya room chat. Tadi pagi, sebelum berangkat bekerja, sebuah ancaman pesan yang diterimanya.
Rama menatap cemas pada ayahanda. Tapi jangan berpikir macam-macam saat membuka pesan ini ya. Foto itu tidak seperti yang ayahanda pikirkan."
"Cerewet. Cepat berikan. Memangnya itu foto.. kenapa?" Ucapan ayahanda terdengar semakin lirih ketika melihat sebuah foto yang memperlihatkan dua tubuh bertumpuk di sofa kantor.
Dilan hanya meringis sambil mengusap tengkuknya.
"Kamu.. ada main dengan wanita ini?"
"Tidak. Aku tidak mungkin macam-macam dengannya. Dia adalah bosku," jawab Dilan yang kemudian memanjangkan tangannya untuk mengetuk layar ponselnya. "Baca kalimat dibawahnya. Tolong jangan fokus pada fotonya saja."
"Tapi foto ini berbicara banyak hal, Dilan," protes ayahanda sambil memperbesar ukuran foto dan mengamatinya dengan seksama. "Apakah wanita ini yang membuatmu tidak bisa melihat Dyra?"
"Dyra? Kenapa bawa-bawa nama Dyra?" keluh Dilan jengkel.
"Semalam Dyra keluar dari kamarmu dan bersikap kikuk. Pasti ada sesuatu yang terjadi diantara kalian, kan?"
"Eng, itu.."
"Apa kamu melakukan sesuatu pada Dyra?" desak ayahanda tanpa ampun.
"Aku.. aku.."
"Jangan menjadi bajingan dan laki-laki brengsek, Dilan. Sekarang, aku tanya... apa kamu sudah menyentuh Dyra?"
"Aku sudah minta maaf padanya."
Plak..
"Minta maaf lalu selesai? Dasar bego," omel ayahanda yang kembali melayangkan tamparan manis di kepala Dilan yang langsung menunduk bersalah. "Sejauh mana kalian sudah melakukannya?"
"Hanya... meraba-raba bagian atas saja."
"Jangan dekati Dyra lagi, jika kamu tidak punya hati dengannya. Mengerti?!"
"Mengerti."
"Sekarang, kita balik ke foto ini. Apa karena foto ini, kalian menduga bahwa pelakunya adalah orang dalam?"
Dilan mengangguk. "Seseorang telah berusaha mengkambinghitamkan rekan kerjaku, dengan memasukkan stok barang itu ke dalam loker dan bagasi mobilnya."
"Tetapi bisa saja kan rekan kerjamu itu yang melakukan pencurian itu, namun dia berpura-pura seakan dirinya adalah orang yang dituduh?" selidik ayahanda.
"Aku juga berpikiran hal yang sama. Namun, aku sudah mengenalnya beberapa waktu lamanya, dia tidak punya nyali untuk melakukan kejahatan. Jadi pelakunya pasti orang lain."
"Begitu ya.."
"Pasti begitu. Pelaku tidak hanya melakukan pencurian. Tapi kini dia juga telah melakukan pemerasan dengan menyebarkan hal busuk tentang aku dan lady bos," geram Dilan yang mendapatkan ancaman jika dirinya tidak menghentikan penyelidikan di bengkel, maka foto itu akan disebarkan. "Aku tidak akan membiarkannya."
Bersambung...