Blam.
Pintu tertutup di belakang punggungnya. Dyra menggigit bibir bawahnya untuk mencegahnya terisak keras. Dihembuskannya nafas panjang sebelum mulai melangkah.
"Dyra?"
"Astaga, terkejut aku," serunya kaget hingga melompat ke samping, ketika mendengar ada suara yang memanggilnya. Kaki Dyra yang terkilir menumpu secara refleks. "Aduuuh, kakiku."
"Ya ampun," seru suara wanita yang memanggilnya tadi. Dan ternyata itu adalah ibunda, pemilik panti asuhan ini. Ibunda bergegas mendekati Dyra dan berjongkok di dekat kakinya, dengan raut wajah yang khawatir. "Astaga, bengkak sekali kakimu. Kapan ini terjadi?"
"Aku.."
Cklek. Pintu kamar Dilan terbuka.
"Ada apa ibunda? Kenapa teriak-teriak?" tanya Dilan yang muncul tiba-tiba dari dalam kamar. Dilan keluar dari kamar karena mendengar suara ribut-ribut di depan kamarnya.
"Dilan, cepat gendong Dyra ke ruang makan, biar ibunda cek kakinya," perintah ibunda yang berjalan mendahului keduanya yang masih bengong, saling menatap.
"Kamu.. baik-baik saja?" tanya Dilan ragu.
Dyra meringis menahan nyeri di kakinya, sambil mempertanyakan ke mana arah pertanyaan Dilan. Yang manakah yang dimaksud Dilan dengan baik-baik saja, hatinya kah atau kakinya? Dyra memaksakan diri untuk tersenyum.
"Aku baik-baik saja."
"Dilan, Dyra, cepat kemari," panggil ibunda dari arah meja makan.
"Ayo, kugendong kamu ke sana, biar kakimu tidak menahan beban lebih banyak lagi."
"Tidak perlu. Aku bisa jalan sendiri," tolak Dyra yang berjalan tertatih-tatih, mendahului Dilan. Tiba-tiba.. "Hei-hei, apa yang kamu lakukan?" pekik Dyra panik. Tubuhnya mendadak melayang ke atas.
"Jangan banyak ngomong. Aku tidak mau dianggap anak durhaka karena tidak mendengarkan perintah ibunda. Terserah, apakah kamu mau menerima pertolonganku atau tidak. Yang penting, aku menaati ibunda," kata Dilan yang membalas protes Dyra yang dibopongnya.
Suasana canggung dan kikuk selama perjalanan dari kamar Dilan ke ruang makan. Meski jarak menuju ruang makan hanya sepelemparan batu, namun seolah waktu berjalan satu abad. Mata Dyra memandang raut wajah Dilan dari samping. Dilihatnya, garis bibir laki-laki yang sedang menggendongnya ini, tertarik kaku.
"Turunkan aku, Dilan. Aku bisa jalan sendiri."
"Diamlah Dyra, jangan protes terus. Dan ada satu hal yang ingin aku katakan padamu... Aku menyayangimu, Dyra. Aku tidak ingin merusak hubungan persahabatan kita karena peristiwa tadi," ucap Dilan lirih yang hanya bisa didengar oleh Dyra.
Dyra menggigit bibir bawahnya. Dadanya kembali terasa sesak. Dirinya harus menjawab apa? Dyra membuang pandangannya ke arah lain. Dilan membuatnya sedih. Ternyata, benar kata orang, cinta bertepuk sebelah tangan itu sungguh menyakitkan.
"Letakkan Dyra disini, Dilan."
Suara lembut ibunda membuyarkan lamunan muram Dyra. Dyra merasakan dirinya diletakkan dengan hati-hati di sebuah kursi. Dyra melihat dua orang yang disayangi, sedang mengamati bengkak di pergelangan kakinya.
"Dyra, ceritakan pada ibunda, apa yang terjadi pada kakimu? Seharian ini kamu terlihat baik-baik saja, kenapa sekarang tiba-tiba pergelangan kakimu menjadi bengkak?" desak ibunda cemas.
"Eng, tadi pagi, aku jatuh dari pohon..."
"Jatuh dari pohon?" seru ibunda terkejut. "Kenapa tidak bilang dari tadi? Seharusnya bengkaknya bisa segera diobati. Lihat sekarang, kakimu terus menerus dipakai kesana kemari, itu malah menambah parah bengkaknya."
"Aku baik-baik saja, ibunda. Aduh, jangan dipegang, sakit," keluh Dyra sambil memukul tangan Dilan yang menekan memar di pergelangan kakinya.
"Ah, maafkan aku," sesal Dilan yang refleks menarik tangannya menjauh. Dyra menatap Dilan dengan tatapan kosong. Malam ini, banyak sekali ucapan maaf yang dilontarkan oleh Dilan.
"Ke rumah sakit ya," kata ibunda sambil mendekatkan es batu yang telah dibungkus dengan handuk pada pergelangan kaki Dyra untuk mengurangi dampak peradangan. "Ibunda takut, di kakimu ada rusuk yang patah."
Dyra menggeleng. "Tidak perlu ibunda. Kurasa tidak ada yang patah. Hanya keseleo saja. Besok, aku akan pergi ke tukang urut saja."
"Jangan sembrono, Dyra. Nanti jika terjadi sesuatu pada kakimu, kamu sendiri yang rugi," nasehat Dilan yang mencemaskan dirinya.
Dyra melirik tangan Dilan yang menyentuh bahunya. Dan sial, kenangan bercumbu dengan laki-laki ini kembali berputar-putar di otaknya, membuat gairah di dalam tubuhnya mulai merangkak naik. Dyra mengedikkan bahunya untuk menyingkirkan tangan Dilan. Laki-laki itu menatapnya dengan muram karena Dyra menolak untuk diperhatikan.
"Dilan, kamu antar Dyra sekarang juga ke rumah sakit. Minta dirontgen atau apalah. Ibunda tidak ingin melihat Dyra kesakitan sepanjang malam," titah ibunda yang tidak bisa ditolak oleh Dyra dan Dilan.
"Baiklah. Kalau begitu, aku akan ganti pakaian dulu. Lima menit lagi kita berangkat ke rumah sakit," ucap Dilan seraya berdiri dan berjalan ke arah kamarnya.
"Tidak perlu, ibunda. Aku baik-baik saja. Kompres saja, besok pasti sudah kempes," tolak Dyra sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dyra menolak, karena tidak ingin merepotkan orang lain, terlebih merepotkan Dilan, laki-laki yang baru saja mencumbunya lalu menyesalinya. Dyra tidak ingin berada di dekatnya saat hatinya merasa sakit dan merana.
"Turuti kata ibunda, Dyra," kata ibunda lembut sambil menepuk punggung tangan Dyra. "Biarkan Dilan yang menjaga dan merawatmu malam ini. Kamu mau kan, Dilan?"
"Dengan senang hati," sahut Dilan sambil memutar kunci kontak di jari jemarinya. "Ayo kita berangkat, Dyra."
Dilan kembali membopong Dyra masuk ke mobil Jeep miliknya. Ibunda membantu memegangi pintu mobil, ketika Dilan memasukkan sahabatnya untuk duduk di kursi penumpang.
"Hati-hati. Jika sudah sampai di rumah, kabari ibunda."
"Baik," jawab Dilan dan Dyra bersamaan.
Brak. Pintu mobil di kursi penumpang tertutup. Dan terlihat dari kaca jendela, terlihat ibunda melambaikan tangannya.
Di dalam mobil, suasana canggung kembali melanda diantara Dilan dan Dyra. Perjalanan ke rumah sakit pun terasa lama dan jauh, padahal hanya dua puluh menit bila ditempuh dengan kendaraan.
Dilan melirik Dyra yang menopang dagunya, menatap pemandangan malam dari kaca jendela mobil. Dilan berdehem untuk menarik perhatian sahabat wanitanya ini.
"Apa kamu baik-baik saja?"
Dyra menoleh cepat ke arah Dilan. "Hentikan," sembur Dyra yang luar biasa jengkel.
"Dyra."
"Hentikan bertanya apakah aku baik-baik saja. Aku bukan wanita yang lemah dan rapuh, yang sekali ditolak langsung meraung-raung dan mengancam untuk bunuh diri," cecar Dyra dengan mata berkilat marah. Dyra menyadari bahwa pertanyaan Dilan mengarah pada hatinya yang telah ditolak, bukan perihal kakinya yang bengkak.
"Maafkan aku."
"Aku juga tidak ingin mendengar lagi kata 'maaf' darimu lagi malam ini. Aku sudah muak mendengarnya," lanjut Dyra sambil menudingkan jarinya ke arah Dilan. "Kamu mengenalku dengan baik. Jadi jangan perlakukan aku seperti wanita bodoh."
"Baiklah."
Hening.
Dilan kembali berdehem. "Bagaimana kakimu bisa keseleo?"
Dyra berdecak sebal. "Ck, jadi sekarang kamu mau mendengar curhatku?"
"Maafkan aku yang egois, Dyra."
Dyra kembali berdecak sebal, mendengar permintaan maaf dari Dilan.
"Si mungil menghilang pagi ini. Aku menemukannya di atas pohon."
"Dan kamu dengan cerobohnya naik ke atas pohon hingga melukai dirimu sendiri?" tanya Dilan tidak percaya.
"Lalu menurutmu apa yang harus aku lakukan? Berteriak padanya supaya dia turun? Atau memanggil orang-orang yang justru akan membuatnya semakin ketakutan?" balas Dyra dengan nada tinggi. "Aku memahami apa yang dirasakan si mungil yang ketakutan dan trauma berada di tempat asing. Karena aku juga pernah mengalaminya. Keluarga adopsi adalah orang asing bagi si mungil."
"Maafkan aku."
"Mungil adalah anak yang manis. Sejak pertama kali melihatnya, aku sudah sayang padanya. Hatiku sudah terikat padanya. Sebenarnya aku juga tidak setuju jika dia diadopsi keluarga lain. Tapi semuanya itu bukan keputusanku."
"Aku mengerti. Maafkan aku yang menghakimimu tanpa mengetahui hal yang sebenarnya terjadi."
"Sudahlah, lupakan itu."
Bersambung...