Chereads / The Cupid's Arrow : A Choice of Love / Chapter 47 - Bab 47 : Rumah sakit

Chapter 47 - Bab 47 : Rumah sakit

Dilan mendorong kursi roda Dyra, masuk ke ruangan dokter orthopedi. Di pangkuan Dyra, sudah ada hasil rontgen pergelangan kakinya yang terkilir hingga membengkak parah.

"Permisi dokter," sapa Dilan sambil mengangguk ke arah dokter paruh baya yang terlihat sabar.

"Masuklah," jawab pak dokter sambil menunjuk ke arah kursi agar Dilan duduk di sana. "Boleh kulihat hasil rontgen nya?"

Dyra memberikan hasil foto itu dan menunggu komentar dokter orthopedi perihal kakinya yang sudah sebelas dua belas jumbonya dengan kaki anak gajah ha.. ha.. ha..

Kemudian dokter itu menarik keluar lembar hasil rontgen dan membawanya ke arah cahaya untuk melihat hasil dari foto itu. Dilan dan Dyra pun juga ikut melihat hasil rontgen itu. Tapi yang nampak hanyalah foto seperti halloween, gambar tengkorak kaki.

"Ligamen pergelangan kaki anda robek, jadi itulah yang menyebabkan rasa sakit dan pembengkakan. Kulit di sekitar pergelangan kaki juga akan terlihat memar karena terjadi perdarahan di bawah kulit."

"Apa itu.. parah, dokter?" tanya Dyra gugup. Penjelasan pak dokter terdengar mengerikan. Dyra merasakan telapak tangan Dilan diletakkan di atas pundaknya untuk memberikan dukungan.

"Ligamen itu apa dok?"

"Keseleo adalah cedera yang terjadi pada jaringan yang menghubungkan tulang dengan sendi. Biasanya, cedera tersebut diakibatkan oleh ligamen yang terpelintir dan robek. Ligamen sendiri merupakan jaringan berserat yang kuat dan terletak di sendi-sendi. Fungsinya untuk mengikat dan menyambungkan salah satu tulang dengan tulang lainnya. Selain itu, ligamen juga untuk membantu menstabilkan pergerakan sendi, agar sendi tidak melakukan gerakan yang berlebihan."

"Jadi.. apa kakiku baik-baik saja?"

"Kita akan memakai metode RICE untuk membantu pemulihan keseleo anda."

"Rice? Rice-- nasi?"

Pak dokter mengulum senyum. "RICE adalah rest, ice, compression, elevation. Satu, rest. Istirahatkan kaki yang keseleo, jangan banyak bergerak. Yang kedua, ice. Gunakan es untuk mengompres kaki yang terkilir selama 15 hingga 20 menit, lalu ulang lagi setiap dua atau tiga jam. Kemudian yang tiga adalah compression. Kaki yang keseleo perlu dibebat untuk mengurangi pergerakan yang berlebihan. Dan yang terakhir, elevation. Untuk mengurangi pembengkakan, angkat kaki lebih tinggi dari letak jantung, bisa dengan duduk atau berbaring agar peredaran darah menjadi lebih lancar."

"Ah ya dokter."

"Nanti akan saya resepkan juga obat pereda rasa nyeri. Ada alergi obat?"

"Tidak ada."

"Ini resepnya," ucap pak dokter sambil memberikan selembar kertas ke tangan Dilan. "Semoga cepat sembuh."

"Terima kasih."

Dilan kembali mendorong kursi roda yang Dyra, keluar dari ruangan dokter lalu menuju ruang tunggu. Dilan berjongkok di depan Dyra yang terlihat lesu. Diletakkannya kedua tangannya di atas bahu Dyra yang membuat sahabatnya itu mendongak dan menatap Dilan.

"Jangan berpikir macam-macam tentang kakimu. Aku akan menebus obat dan sekalian menelpon ibunda agar tidak mengkhawatirkan kita."

Dyra mengangguk dan menjawab, "Baiklah. Aku akan menunggu disini."

Sepeninggal Dilan, Dyra mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang tunggu. Tadi sewaktu datang, IGD sepi, sekarang mendadak menjadi ramai. Terlihat mengerikan, jika IGD penuh dengan orang-orang berlalu-lalang yang panik.

IGD terdengar riuh ramai dengan suara anak-anak remaja yang bising, ditambah para orang tua yang berdatangan satu per satu memasuki pintu masuk IGD. Mereka mengkhawatirkan keadaan para remaja itu. Dyra menghitung remaja putra putri itu, ada satu, dua, tiga... delapan, sembilan, sepuluh remaja.

Bruk..

Dyra terkejut melihat seorang remaja putri tiba-tiba membanting tubuhnya, duduk di bangku kursi sederet dengan dirinya. Manik mata Dyra mengamati lebih teliti remaja putri yang melipat tangan dan cemberut itu. Wajah yang cantik dan imut, dengan rambut kecoklatan yang mengembang indah di sekeliling bahunya.

"Duduk yang tenang disini, Darcy," perintah seorang wanita cantik yang mengenakan pakaian kasual. "Miss sudah menghubungi rumahmu dan papamu akan segera tiba. Ingat, jangan keluyuran."

"Yaaa," jawab remaja itu jengkel.

Remaja putri itu duduk di bangku panjang itu dengan jeda satu bangku dari Dyra yang duduk di kursi roda. Dyra yang terus mengamati remaja cantik itu, tidak menyadari bahwa kini dirinya berhadapan muka dengan muka.

"Tante, kenapa sedari tadi tante terus melihat ke arahku?" tanya remaja itu ketus.

Dyra tersentak mendengar pertanyaan itu, lalu mengangkat bahu. Kemudian Dyra bertanya sambil menelusuri tubuh remaja itu dari atas ke bawah. "Apa kamu baik-baik saja?"

Remaja itu mengangkat alis melihat orang asing yang menanyakan keadaannya. Berbeda sekali dengan keluarganya yang acuh tak acuh padanya. Kemudian remaja itu berdiri dan duduk di dekat Dyra.

"Kaki tante kenapa?" tanyanya sambil memajukkan bibirnya ketika bertanya.

"Keseleo. Jatuh dari pohon," jawab Dyra sambil memiringkan kepalanya. "Wajahmu sedikit pucat, kamu baik-baik saja? Apa yang sedang heboh itu teman-teman mu? Sepertinya kalian semua sepantaran."

Remaja itu mengangguk. "Yup, mereka teman-temanku."

"Oh. Apa yang terjadi dengan kalian?"

"Keracunan makanan. Ada orang bodoh yang membawa makanan yang sudah basi untuk camilan kami ketika selesai latihan cheerleaders."

"Oh tidak," seru Dyra cemas sambil menyentuh lengan remaja yang kini tertegun dengan sikap perhatian yang dilakukan Dyra. "Kamu baik-baik saja?"

Remaja itu menarik tangannya dengan kaku. Mata remaja itu menatap kosong pada Dyra. Disini ada wanita asing yang bertanya padanya sebanyak tiga kali, apakah dirinya baik-baik saja. Sikapnya yang perhatian ini, apakah.. apakah seperti ini jika dirinya memiliki mama? Apapun yang terjadi, selalu mencemaskan dirinya? Sebuah desakan ingin menangis, tiba-tiba menekan dadanya.

"Aku.. aku baik-baik saja. Aku..."

"Darcy," panggil seorang pria dari kejauhan.

Remaja putri yang bernama Darcy menghentikan perkataannya, lalu menoleh ke arah datangnya suara. Dyra mendengar decakan tidak suka dari bibir remaja itu. Dyra mengikuti arah pandangan remaja itu. Seorang pria yang sangat tampan sedang tergopoh-gopoh berlari ke arah keduanya duduk. Di belakangnya, diikuti seorang wanita yang terlihat familiar di mata Dyra. Ah, kalau tidak salah itu adalah wanita yang nyaris menabrak dirinya sewaktu naik ojek. Sungguh sial bertemu dengan wanita itu sekarang.

"Darcy, papa langsung kemari ketika mendengar kejadian yang menimpamu," serunya panik dan menarik remaja itu berdiri, lalu mengamatinya dengan teliti, apakah putrinya baik-baik saja.

"Apanya yang langsung kemari?" sentak remaja itu dengan nada tinggi. "Apa papa tahu, bahwa orang tua yang paling terlambat datang kemari adalah papa?"

"Maafkan papa, sayang. Papa ada meeting."

"Meeting?! Ck, apa dinner dengan bibi, yang papa maksud dengan meeting?"

"Jaga bicaramu, Darcy. Bibimu, Barbara yang mengantarkan papa kemari. Kamu kan tahu, jika pagi ini mobil papa sedang ada di bengkel," jelas papa Darcy sambil menegakkan tubuh lalu menoleh ke arah wanita yang berdiri di sebelahnya. "Barbara, tolong kamu jaga Darcy sebentar. Aku akan bicara dengan guru untuk bisa membawa Darcy pulang."

"Pergilah."

"Pasti bibi yang mengangkat telpon ponsel papa kan," tuduh Darcy dengan berkacak pinggang. "Jika papa yang menerima telpon itu, pasti akan langsung kemari."

Barbara menjentikkan jarinya yang terawat. "Aku tidak perlu menjelaskan padamu, anak nakal. Aku membencimu karena ulahmu selalu membuatku gagal berkencan dengan papamu."

"Aku tidak akan pernah mengizinkan papa menikah denganmu, nenek sihir."

"Kita lihat saja nanti."

Dyra memundurkan kursi rodanya, supaya tidak terlibat dalam masalah yang bukan urusannya. Dyra hanya berharap remaja itu baik-baik saja. Lalu sebuah tangan terasa di bahunya.

"Dyra, ayo kita pulang."

Bersambung...