Hari Minggu. Hari perjodohan.
Pukul lima subuh, Rama dan Dilan akhirnya tiba di depan rumah orang tua Rama. Rama membuka kunci pintu rumah dengan lesu. "Aku pulang."
"Akhirnya kamu pulang juga, sayang," sambut mami Rama yang muncul tergopoh-gopoh dari dalam rumah. "Mami tidak bisa tidur memikirkan dua anak kesayangan mami berada di penjara semalaman."
"Mami, jangan khawatir. Kami berdua baik-baik saja," jawab Dilan yang matanya berair karena menahan kuap kantuk yang hebat. Di penjara yang dingin dan gelap, dirinya hanya bisa tidur 'ayam-ayam'. Takut, jika dirinya terlelap, akan didatangi mimpi buruk karena tidur bersama para penjahat.
"Hoooaamm... Aku tidur dulu ya, mi," sambung Rama yang menguap lebar. Matanya tinggal lima watt. Dirinya tidak bisa tidur lantaran semalaman si Dilan tidur dengan gelisah dan berisik.
"Eh tunggu," panggil mami Rama.
"Ya mi?" jawab Dilan seraya berbalik dari jalannya menuju kamar Rama. Sedangkan sahabatnya itu sudah menghilang ke dalam kamar tidur.
"Kalian tidak boleh tidur lagi. Ingat, kita ada acara pagi ini. Jam sembilan nanti kita akan berangkat ke rumah calon mertua Rama," kata mami Rama mengingatkan. Dan sejurus kemudian, terdengar suara gedubrak dari dalam kamar.
"Hei Rama," teriak Dilan sambil berlari masuk ke dalam kamar. "Kamu baik-baik saja, bro?"
"Sayang, kamu tidak pa-pa?" tanya mami Rama yang mendapati putranya di bawah ranjang.
"Mami, pagi ini aku tidak mau pergi kemana pun. Pokoknya aku mau tidur sampai malam," teriak kesal Rama yang berusaha bangun akibat terjatuh dari ranjang, karena terlalu ke pinggir posisi berbaringnya.
"Tidak bisa begitu, Rama," sahut maminya cepat. "Janji harus ditepati. Mau diletakkan dimana muka keluarga kita, jika ingkar janji?"
"Pokoknya aku tidak mau. Aku lelah sekali mi," keluh Rama yang suaranya teredam karena kepalanya tertutup bantal. "Aku pingin tidur."
"Mi, biar kami istirahat dulu. Masih ada beberapa jam lagi. Kami benar-benar lelah, tidak bisa tidur di penjara," kata Dilan menengahi perdebatan panjang. Jika diteruskan, maka yang ada malah tidak bisa tidur karena sama-sama ngotot.
"Baiklah," ujar mami Rama mengalah. "Kalian berdua tidurlah. Nanti jam delapan, mami bangunkan."
"Siap. Makasih mi."
"Oya Dilan, kamu nanti ikut ya ke rumah calon nya Rama," pinta wanita yang selalu dianggapnya sebagai ibunya sendiri.
"Tentu mi. Aku akan ikut."
"Sip. Sekarang kamu cepat istirahat."
Beberapa jam yang lalu...
"Cepat masuk!" perintah galak petugas seraya mendorong punggung Rama dan Dilan ke arah sel penjara. Keduanya terjaring razia tengah malam, karena keluyuran pada dini hari serta membuat jengkel petugas yang menanyainya.
"Boleh kami menelpon?" tanya Rama sambil menunjuk ke kotak di meja, yang menyimpan barang-barang pribadi keduanya. Rama bertanya setelah pintu sel penjara terkunci rapat.
"Baiklah," sahut petugas itu sambil berbalik dan mengambil dua ponsel yang tergeletak di meja. "Satu orang hanya punya satu kali kesempatan."
"Mengerti," jawab Dilan yang pertama kali menerima ponsel miliknya. Dilan yang masih berpikir keras akan menelepon siapa, tiba-tiba ponselnya bergetar, membuatnya terkejut. Dilan memandang Rama yang mengangkat alisnya. "Your papi," ucap Dilan tanpa suara.
Rama memonyongkan bibirnya, menyuruh untuk Dilan segera mengangkat panggilan itu. Dilan mengangguk, paham. "Halo pi."
"Maaf Dilan, papi menelponmu malam-malam. Apa kamu tahu dimana Rama? Papi menelponnya seharian, tapi anak nakal itu tidak mengangkatnya."
Dilan mengangkat kepala dan memandang sahabatnya yang menggelengkan kepala kuat-kuat, menolak untuk menerima telpon itu. Dilan mengubah mode panggilan menjadi loadspeaker.
"Papi, Rama.."
"Papi benar-benar marah dan kesal karena ulah Rama," sembur papi Rama berapi-api. "Sampai selarut ini, anak nakal itu belum juga nongol di rumah."
"Mungkin dia sedang sibuk, jadi pulangnya sedikit larut," jawab Dilan berbohong, seraya memindai tempat tidurnya malam ini. Suka tidak suka, mau tidak mau, dirinya terpaksa harus menginap di hotel prodeo, karena terciduk berkeliaran larut malam dan bersikap tidak sopan pada petugas.
"Besok Rama ada acara perjodohan. Papi khawatir dia kabur."
"Tidak mungkin, pi. Dia kan ciut nyalinya," kata Dilan menenangkan papi Rama. Tiba-tiba Dilan merasakan sengatan panas di punggungnya. Dilan mendelik marah pada sahabatnya yang seenaknya memukul dirinya. "Brengsek, ngapain pukul-pukul?" desisnya tanpa suara.
Kemudian tiba-tiba tubuh Rama membeku.. ketika didengarnya samar-samar, papi tercintanya menyebut nama atasannya. Rama menatap horor Dilan dan ponselnya. Dirinya tergagap hingga tidak bisa berbicara sambil menunjuk ke arah ponsel.
"Papi, papi sedang telpon siapa lagi?" tanya Dilan sambil menggigit mulut bagian dalam. Dilan tidak tahu dirinya harus tertawa terbahak-bahak melihat reaksi sahabatnya yang menjadi pucat pasi saat mendengar papinya sedang menelpon atasan putranya, atau harus meringis karena sang papi sedang membangunkan singa tidur. Atasan Rama sangat membenci orang yang mengganggunya di waktu malam, karena malam hari adalah waktu intimnya bersama sang istri.
"Oh ini.. Papi pakai ponsel mami untuk menelpon Detektif Ethan. Barangkali atasan Rama tahu dimana anak nakal itu berada. Sudah ya Dilan." Klik. Sambungan terputus.
"Astaga," seru Dilan sambil menutup mulutnya. Mata Dilan memandang takut pada sahabatnya, karena sebentar lagi Rama akan disembelih oleh atasannya.
"Ya amplop," seru Rama berbarengan dengan Dilan. "Bisa tamat riwayatku sekarang," keluh Rama sambil memandang ponselnya yang disodorkan oleh petugas polisi, dengan takut.
Sejurus kemudian, nada lagu yang sering digunakan dalam film horor, segera memenuhi area penjara. Nada yang berasal dari ponsel Rama, pertanda badai akan segera tiba. Rama mundur dan menggelengkan kepala, menolak untuk mengambil ponselnya dari petugas polisi.
Well, Rama lebih takut pada atasannya daripada papinya. Karena atasannya ini gualaknya minta ampun, ngalahin raja hutan. Ditambah lagi, atasannya juga tahu kelemahan dirinya, yang gemetar plus keringat dingin jika diutus ke ruang otopsi jenazah. Dan Rama sudah merasakan aura kelam dari ruangan itu. Rama tidak mau dipindah tugaskan ke ruang horor itu bahkan untuk semenit saja.
"Heh, ayo cepat terima ponselnya," perintah petugas polisi itu sambil mengulurkannya pada Rama.
"Tidak mau. Bapak saja yang terima," tolak Rama sambil mengibaskan kedua tangannya. "Itu telpon dari orang yang paling menakutkan sedunia. Terutama jika ditelpon tengah malam buta begini."
"Baiklah," sahut petugas itu. Kemudian.. "Halo? Disini kantor polisi area timur," sapanya setelah tombol hijau digeser.
Dilan dan Rama berusaha menebak arah pembicaraan petugas itu dengan atasan Rama, dari jawaban serta ekspresi wajahnya. Rama meringis dan menggaruk tengkuknya ketika petugas itu memandang tajam ke arahnya, dengan ponsel tetap di telinga petugas.
"Baik. Akan saya sampaikan. Terima kasih untuk konfirmasinya," kata petugas polisi itu dengan sikap hormat, yang kemudian mematikan ponsel. Kemudian mengamati sosok Rama dari atas ke bawah. "Benarkah kamu asisten detektif bagian pembunuhan? Tidak ada modelnya sama sekali."
Rama mengabaikan sindiran petugas itu. "Dia bilang apa, pak?" tanya Rama penasaran.
"Karena kalian berdua sudah mengganggu tidur malamnya, maka kamu dan temanmu harus menginap di penjara sampai jam empat pagi," jawab petugas itu tersenyum jahat. "Aku merasa sangat senang karena berhasil memenjarakan seorang asisten detektif. Ini rekor karirku."
"Ck, hebat," keluh Rama yang tertawa histeris. "Kita sukses bobok di penjara."
"Sekarang cepat tidur. Jangan berisik!"
Bersambung...