Chereads / The Cupid's Arrow : A Choice of Love / Chapter 33 - Bab 33 : Bagaikan Siti Nurbaya

Chapter 33 - Bab 33 : Bagaikan Siti Nurbaya

Satu hari sebelumnya...

"Sinta, kemarilah. Duduk sebentar disini. Papi mau bicara," kata Pak Sopiyan, papi Sinta, yang sedang duduk di ruang TV.

"Nanti saja. Aku mau mandi dulu, pi. Badanku lengket dan gerah," jawab Sinta yang baru saja masuk rumah, sepulang kerja dan langsung dicegat papinya. Sinta memberi kode dengan menarik-narik kerah kemejanya serta mengipasi dirinya, bahwa dirinya ingin segera mandi.

"Duduk dulu. Papi harus bicara, sebelum informasi yang disimpan di otak papi, terbang terkena hembusan udara dari kipas angin," jawab papinya nyeleneh.

Sinta menghela nafas panjang dan memutar bola matanya. Kemudian Sinta membanting tubuh lelahnya di kursi sofa tunggal, bersebrangan dengan papinya yang duduk di sofa panjang. Hari ini sungguh melelahkan, gara-gara pak big bos yang tiba-tiba mengadakan meeting di saat-saat terakhir di jam pulang kerja.

Tidak lama kemudian, mami Sinta muncul dari dalam rumah sambil membawa segelas jus jeruk segar dan diletakkan di depan Sinta. Langsung deh Sinta meraih gelas itu lalu menegaknya ludes.

"Ah, segarnya. Terima kasih mamiku yang paling cantik," ucap Sinta sambil meletakkan gelas itu kembali ke meja. "Tahu saja, kalau putrinya ini haus dan butuh minuman segar."

"Oke papi. Anak tercinta kita sudah segar," sahut sang mami yang mengambil duduk di sebelah suaminya. "Sekarang sudah tiba waktunya kita memberitahu hal maha penting pada Sinta."

Sinta memicingkan matanya, memandang mami dan papinya yang tersenyum mencurigakan ke arahnya. Sinta menyandarkan punggungnya dan bersedekap.

"Oke, cepat katakan. Hal maha penting apa yang ingin anda berdua sampaikan? Senyum anda berdua terlihat sangat menakutkan," komentar Sinta datar sambil bergidik. Tidak biasanya, kedua orang tua Sinta menyambut kepulangan nya dari kantor. Pasti ada sesuatu yang tidak beres.

"Besok lusa, kita akan kedatangan tamu penting."

"Tamu? Siapa?" tanya Sinta memiringkan kepala, penasaran.

Bukannya biasanya juga sering kedatangan tamu? Tapi dirinya tidak pernah dilibatkan secara langsung. Kenapa sekarang ada pemberitahuan khusus tentang kedatangan seorang tamu? Ini aneh.

"Besok lusa, beberapa orang akan datang ke rumah kita. Lebih tepatnya, keluarga besan akan datang ke rumah kita," jawab papi Sinta bahagia sambil menepuk punggung tangan istrinya yang juga tersenyum sumringah.

"Tunggu dulu. Tunggu dulu," seru Sinta sambil mengangkat tangannya, memotong pembicaraan papi mami nya. "Keluarga besan? Besan siapa? Siapa yang akan menikah? Sepupu, keponakan, tetangga?" tanya Sinta yang mencoba untuk bercanda. Tiba-tiba keringat dingin berkumpul di dahi dan punggungnya. Sebuah firasat buruk sudah mengintip di depan pintu hatinya. Nasib Siti Nurbaya, akankah terjadi padanya?

"Keluarga besan pak er-te yang akan bertamu ke rumah kita," jawab papinya cemberut.

"Ngapain?" tanya Sinta bego.

"Ya, tentu saja, keluarga besan kita, Sintaaa... Buat apa keluarga besan tetangga sebelah, datang ke rumah kita?" sewot papi Sinta.

Sinta pun ikut berdecak sebal. Benar firasatnya, bahwa yang akan datang bertamu adalah keluarga calon suami Sinta. Karena Sinta adalah anak semata wayang, maka keluarga besan itu pasti diperuntukkan baginya.

Haish, menyebalkan. Kenapa harus ada acara perjodohan untuknya? Memang dirinya tidak laku? Umurnya baru dua puluh lima tahun. Masa mudanya masih panjang, Sinta tidak ingin menghabiskan kecantikan dan kemolekan tubuhnya untuk buru-buru menikah. Namun intinya, Sinta masih ingin bermain-main.

"Sinta, sudah waktunya kamu menikah dan berumah tangga," ucap maminya pelan.

"Tapi mami, Sinta belum siap. Sinta masih ingin tinggal sama mami dan papi," rengek Sinta sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sinta harus sekuat tenaga menolak perjodohan itu. Lagipula Sinta masih sanggup mencari pria yang sesuai dengan seleranya, meski sampai sekarang belum ada yang cocok.

"Kamu sudah dewasa," tegur Pak Sopiyan tegas. "Lagipula umurmu sudah cukup untuk menikah."

"Ck, pokoknya Sinta tidak mau dijodohkan. Titik," protes Sinta keras sambil meraih tasnya dan mulai berdiri dari sofa.

"Duduk!" perintah papi Sinta tegas sambil menudingkan jarinya. Sinta kembali duduk dengan cemberut. "Papi dan mami sudah memberi kamu waktu untuk hidup santai dan bersenang-senang. Kini sudah tiba saatnya bagimu untuk berpikir serius tentang masa depan."

"Tapi, pi.." Gawat, kali ini papi dan mami serius ingin menjodohkan dirinya.

"Tidak ada tapi-tapian," sergah Pak Sopiyan tegas.

"Sinta, ini adalah foto pria yang akan dijodohkan denganmu. Lihatlah, dia anak yang tampan. Ditambah lagi, dia sudah memiliki pekerjaan yang baik," kata Ibu Sopiyan lembut sambil meletakkan selembar foto itu di meja pendek, lalu mendorongnya ke arah putrinya.

Dengan enggan, Sinta melirik foto pria itu dari kejauhan. Sambil berdecak kesal, melihat jodohnya yang tidak sesuai dengan kriterianya, macho dan keren. Apa mami dan papi tidak bisa mencarikan pria yang tampan seperti di novel-novel kesukaannya itu?

Ck, pria ini, dilihat dari sedotan saja sudah jelek, apalagi berhadapan muka dengan muka, alamak… dirinya bisa kabur karena takut. Sebenarnya, Sinta tidak pernah berteman dengan seseorang yang menilai orang itu dari segi fisik dan wajahnya. Akan tetapi, ini masalah krusial... untuk masa depannya, kelangsungan benih dari keturunannya. Dan jika bibitnya kurang spesial, maaf saja.. Sinta akan menolak.

"Ini hanya ketemuan saja, kan? Belum tentu harus jadi pasangan, kan?" desak Sinta memastikan, dengan wajah cemberut memandang ke arah mami papinya.

"Kali ini serius, Sinta," jawab maminya yang juga tidak kalah tegas dari papinya.

"Tapi mami," rengek Sinta dengan wajah memelas. "Dilihat dari fotonya saja, sudah pasti bukan seleraku. Bagaimana jika aku tidak cocok dengannya? Apa mami dan papi mau aku bercerai dengannya?"

"Hush, jangan ngomong sembarangan," tegur maminya lembut.

"Dia anak baik, Sinta. Kamu pasti akan cocok dengannya. Dia juga mempunyai keluarga yang baik dan pekerjaan yang mapan," kata Papi Sinta sambil meraih lembar foto yang tergeletak di meja, lalu menjejalkannya ke telapak tangan Sinta, agar putrinya bisa melihat sosok pria itu lebih jelas.

"Jadi.. papi sudah kenal pria ini?" tanya Sinta yang sekali lagi melirik foto pria jelek itu. Sinta bergidik melihat wajah pria itu, yang seakan sedang tersenyum mengejeknya. Sinta berdecak sebal tanpa henti, karena mendengar papinya memuji-muji pria yang akan dijodohkan padanya.

"Tidak kenal," jawab Pak Sopiyan enteng.

"Haish papi ini," desis Sinta sewot. "Lalu darimana papi tahu kalau pria ini adalah anak baik? Papi, jangan asal comot buat anak gadisnya dong," protes Sinta kesal.

"Mana ada asal comot, Sinta," sela papinya tidak terima dituduh putrinya karena memilihkan pria yang sembarangan. "Dia seorang polisi. Dan tidak ada sejarahnya polisi itu jahat. Semua polisi itu baik," jawab papinya bangga.

"Astaga papi??! Di tipi-tipi itu kan banyak polisi yang jahat," gerutu Sinta sambil memelototkan matanya pada papinya yang menganggap bahwa semua polisi itu baik. Padahal kenyataannya, memang hampir semua polisi itu baik, meski ada segelintir polisi yang menyalahgunakan wewenangnya. Sinta tahu itu, tapi dirinya tidak mau mengakuinya.

"Itu kan di tipi, Sinta," bantah papi keras kepala, tidak mau kalah.

"Sinta, sebenarnya dia ini anak dari teman kantor papi," tambah mami kalem. "Jadi papi sudah mengenal keluarganya dengan baik. Kamu tidak perlu khawatir."

"Weleh-weleh, papi ini kerja kok suka nge-gosip sih," gerutu Sinta cemberut. "Kayak anak cewek saja."

Pak Sopiyan melipat bibirnya ke dalam rongga mulutnya. Jika saja Sinta tahu, bahwa Pak Sopiyan selalu mempromosikan anak gadisnya yang cantik tapi jomblo akut itu pada semua kenalannya di kantor, pasti Sinta akan marah super besar. Tidak akan. Itu tidak akan terjadi. Sinta tidak boleh tahu hal itu. Jadi rahasia ini akan tetap tersimpan dengan aman.

"Pokoknya besok lusa, jam enam pagi, kamu harus ikut mami ke salon Bang Sally," perintah tegas Pak Sopiyan sambil menudingkan jari telunjuknya pada putri semata wayangnya.

"Hah??!"

"Dandan yang cantik,"perintah papinya. "Dan yang paling penting, jangan berpikir untuk kabur."

Bersambung…