Sabtu. H-1 sebelum acara perjodohan. Pukul 18.50.
"Sinta, kok kamu belum pulang?"tanya pak bos yang bingung melihat Sinta, sekretarisnya.
Tumben sekali Sinta masih duduk manis di meja kerjanya. Pak bos melirik jam tangannya. Hampir jam tujuh malam. Biasanya saja, jam pulang kantor belum berbunyi, sang sekretaris ajaib nya ini sudah merapikan mejanya hingga kinclong. Kemudian pak bos berjalan mendekati meja Sinta dan memperhatikan apa yang sedang dikerjakan sekretarisnya. Alis pak bos mencuat tinggi, ketika melihat dokumen yang sedang dikerjakan Sinta. Itu dokumen untuk minggu depan, ngapain juga dikerjakan sekarang hingga lembur begini?
Sinta mendongak dari kegiatannya mengetik di komputernya. "Pak, apa ada pekerjaan lagi? Aku lagi semangat bekerja nih. Jadi aku akan mengerjakannya sekarang juga," oceh Sinta bersemangat sambil mengepalkan kedua tangannya di depan dada.
"Kamu… baik-baik saja?" tanya pak bos bingung.
"Tentu," sahut Sinta cepat sambil mengangguk mantap.
"Tidak lagi demam?" desak pak bos lebih lanjut, sambil mengulurkan tangan untuk menyentuh dahi sekretarisnya.
"Tidak pak," jawab Sinta sambil memundurkan tubuhnya, menjauhi tangan pak bos yang ingin menyentuh dirinya.
"Apa mungkin… kamu kerasukan makhluk tak kasat mata di ruangan ini, sehingga mendadak menjadi rajin?" komentar pak bos sambil mendongak, memindai dengan cepat seluruh langit-langit dan semua sudut ruangan. "Aku jadi takut kalau kamu tiba-tiba bersemangat bekerja. Biasanya kerjamu hanya menggosip tanpa henti."
"Haish bapak ini. Kalau aku malas, bapak cerewetnya minta ampun. Giliran aku rajin, langsung dikata-katain deh. Itu sangat menyakitkan hatiku, pak bos," rengek Sinta yang sudah sangat akrab dengan bosnya.
"Sudah, jangan bicara yang tidak bermutu lagi."
"Kan bapak duluan yang ngomong melantur terus," balas Sinta sewot.
"Ini sudah jam tujuh malam, Sinta. Lebih baik kamu segera pulang," perintah pak bos sambil mengetuk-etuk meja. "Tidak baik anak gadis berkeliaran malam-malam di kantor, takut diganggu pria mesum dan makhluk gaib."
"Tapi aku tidak mau pulang, pak," rengek Sinta sambil menelungkupkan kepalanya di lipatan tangannya di meja kerja. "Aku mau lembur. Lembur sampai besok malam lagi kalau bisa."
"Hehh??! Lembur, tumben? Biasanya langsung ngomel panjang kali lebar kali tinggi, jika disuruh lembur,"komentar pak bos yang memanjangkan tangannya dan mematikan komputer. "Waktunya pulang, cepat pulang. Jangan ngabisin listriknya kantor."
"Atau gini saja pak," protes Sinta sambil mengusir tangan si bos yang mengutik-utik komputernya. "Tolong kirim aku dinas keluar kota. Kalau bisa malam ini juga. Intinya aku tidak ingin pulang malam ini."
Pak bos memperhatikan wajah sekretarisnya dengan khawatir. "Kamu.. beneran baik-baik saja, Sinta? Aku benar-benar khawatir melihat perubahanmu."
Sinta berdecak sebal. "Kalau aku pulang sekarang.. besok aku akan dijodohkan, pak. Padahal aku masih belum mau menikah."
"Menikah? Memang umurmu sudah cukup untuk menikah?" tanya pak bos polos.
"Haish bapak ini. Aku ini sudah cukup umur, pak. Teman yang seumuran denganku pun sudah banyak yang memiliki satu atau dua anak," omel sebal Sinta yang memandang cemberut pada pak bosnya yang menyebalkan.
"La itu sudah tahu sendiri. Sudah tua tapi jomblo," ejek pak bos santai sambil memberikan petikan ibu jari dan jari telunjuknya, di depan hidung Sinta.
"Paaakkk, kenapa ngomongnya nyelekit begitu, sih? Aku bisa sakit hati nih," rengek Sinta sebal. Salah apa Sinta di masa lalu, sehingga dirinya memiliki bos yang menjengkelkan seperti ini?
"Memangnya pria yang dijodohkan denganmu itu separah apa, hingga kamu harus uring-uringan heboh seperti ini?" tanya pak bos penasaran sambil menarik kursi, lalu membalikkannya sebelum duduk. "Kan tidak mungkin juga, orang tuamu memilihkan pasangan hidup dengan sembarangan. Mereka pasti memeriksa bibit, bebet, bobot nya. Tidak asal comot di jalanan."
"Iya juga sih pak," sahut Sinta sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Tapi...
"Sudah mapan kan pekerjaan calon pasanganmu itu?" tanya pak bos lebih dalam. "Keuangan juga faktor penting dalam mencari pasangan hidup."
"Aku tidak tahu dia kaya atau tidak. Tapi kata papiku, pekerjaan dia adalah polisi."
"Wah, bagus dong," sahut pak bos sambil bertepuk tangan dengan antusias. "Nanti kalau aku butuh bantuan, bisa langsung calling dirimu. Kan situ suaminya polisi."
"Aduh pak bos ini, jangan ngawur terus ngomongnya," keluh Sinta sambil memenggeleng-gelengkan kepala, frustasi. "Ayolah, pak. Cepat beri aku pekerjaan lembur atau segera kirim aku ke kutub selatan juga boleh. Pokoknya aku tidak mau pulang malam ini. Kirim sekalian ke planet mars juga no problem."
"Kalau kukirim ke dunia gaib, mau?" tawar pak bos dengan raut wajah serius.
"Baaaappppaaaakkk…."
"Memangnya kenapa sih, Sinta? Dicoba dulu, siapa tahu cocok. Jaman sekarang sulit mencari pasangan yang seimbang dan sepadan," hiburnya sambil menepuk-nepuk kepala Sinta, seperti menghibur anak kecil. "Buktinya saja sampai sekarang kamu jadi perawan tua, tidak punya pacar," sindir pak bos.
Sinta memutar bola matanya dengan gemas. Nasehat si pak bos ini, kenapa selalu diakhiri dengan sindiran kejam? Dasar pak bos. Lalu Sinta meraih lengan pak bos dan menggoyang-goyangkannya seperti anak kecil yang merengek pada mamanya, untuk meminta sesuatu.
"Ayolah pak, tolong mengertilah sedikit. Besok itu, my papi langsung akan membicarakan tanggal pernikahan, bukan hanya perkenalan doang. Aku tidak mau, pak bos. Aku tidak mau menikah dengan pria jelek itu."
"Pria jelek? Apa karena dia jelek, lalu kamu langsung menolaknya mentah-mentah?"
"Ya iyalah, aku tolak," sembur Sinta sewot." Mana mau aku yang cantik begini dengan polisi jelek begitu."
"Astaga Sinta, jangan suka menghina orang ya. Hati-hati, nanti kamu bisa kualat lo. Suatu hari, kamu bisa jadi jatuh cinta padanya."
"Ih amit-amit ya pak. Ogah aku," tolak Sinta sambil mengibaskan rambutnya ke belakang bahunya. "Kalau pria itu minimal seganteng pak bos, aku masih bisa menerima."
"Tunggu, Sinta," sela pak bos yang tiba-tiba kepala nya keluar tanduk. "Kamu bilang minimal? Minimal??! Jadi menurutmu aku ini gantengnya hanya minimal? Keterlaluan sekali kamu, Sinta! Istriku saja sampai klepek-klepek melihat kegantenganku. Aku tidak terima," sembur pak bos yang tersinggung dan marah sambil berdiri dari kursi.
"He-he-he.. ampun pak bos. Bapak ganteng kok, gantengnya maksimal. Buktinya ibu bos selalu kesengsem sama pak bos," canda Sinta sambil mengangkat kedua tangannya dan meringis.
"Sudahlah. Aku mau pulang. Aku pusing ngomong sama kamu. Kalau kamu mau tetap disini juga tidak pa-pa. Tapi jangan salahkan aku jika tiba-tiba semua benda di ruangan ini bergerak sendiri. Dan aku tidak tanggung jawab jika kamu mendadak diajak pergi ke dunia lain. Bye-bye."
"Astaga bapak, jangan ngomong yang seram-seram. Ini sudah gelap. Aku juga mau pulang deh. Tunggu aku, pak," teriak Sinta yang mulai merinding dan langsung berlari untuk mencengkram lengan kemeja pak bos.
"Jangan pegang-pegang aku," sembur pak bos yang masih super kesal karena dibilang gantengnya minimal, sambil mendorong Sinta menjauh darinya. "Aku tidak mau dekat-dekat dengan orang yang tidak bisa menilai kegantenganku dengan maksimal."
"Halah pak bos ini, kok gampang tersinggung gitu sih? Nanti kalau bapak yang kegantengannya yang maksimal itu habis, terus istri bapak yang cantik kan jadi bingung. Kenapa suaminya jadi berubah menjadi jelek? Aku tidak tanggung lo ya, pak."
Plak... Sebuah tamparan mendarat di kening Sinta. "Ngomong melantur lagi, besok kamu kupecat. Biar tahu rasa," geram pak bos. "Lagian istriku itu cinta mati denganku, tidak mungkin dia akan berpaling dariku. Aku adalah belahan hatinya, separuh jiwanya, cinta sejatinya," lanjut pak bos dengan kepercayaan dirinya yang membengkak akut.
"Terserah deh." Sinta angkat tangan, menyerah. Sesuka apa kata pak bos deh.
Bersambung…