Ponsel Dilan bergetar di sakunya. Perlahan Dilan berdiri dan melangkah tanpa suara menuju pintu kamar. Lady bos sudah tertidur beberapa menit yang lalu.
Cklek. Blam.
Dilan mendapati Dyra sedang duduk di kursi di lorong rumah sakit. Ketika dirinya duduk di sebelah Dyra, Dilan terkejut melihat kondisi sahabatnya yang acak-acakan dan... berdarah?
Seketika Dilan menjadi panik. Kedua tangannya mencengkram kedua bahu sahabatnya. "Apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu bisa berantakan begini? Ini.. ini ada darah dimana-mana."
"Aku baik-baik saja," jawab Dyra sambil mencubit kedua pipi Dilan dengan geram. "Semua ini karena kamu yang menyuruhku keluyuran malam-malam."
Dilan menyingkirkan tangan Dyra dari wajahnya. "Benar kamu baik-baik saja?" desak Dilan sekali lagi. Ada nada cemas yang mewarnai pertanyaannya.
Dyra menghela nafas lelah. "Sebenarnya, aku tidak baik-baik saja," jawab Dyra muram. Dyra menaikkan kedua kakinya di kursi dan memeluknya. Keningnya mengernyit dalam ketika rasa perih di sikunya bersenggolan dengan Dilan.
Dilan mengelus kepala Dyra dan membawanya ke lekukan bahunya. Perhatian dan kasih sayang Dilan membuat mata Dyra memanas. Sebutir air matanya mengalir ke pipi. Dyra selalu merasa nyaman berada di dekat Dilan.
"Maafkan aku. Aku tidak berpikir panjang ketika menyuruhmu malam-malam untuk pergi ke sana ke sini," sesal Dilan sambil menggosok lembut lengan Dyra. "Aku akan sangat menyesal, jika sesuatu terjadi padamu. Tapi syukurlah jika kamu baik-baik saja."
Dyra menepuk pipi Dilan. "Sepanjang hari kafe sangat ramai," cerita Dyra. "Aku lelah seharian bekerja dua shift tanpa jeda. Terlebih dua karyawan tidak masuk. Lalu kamu menelpon dan memintaku untuk mengambil motor di suatu tempat."
"Lalu, luka berdarah itu kamu dapatkan darimana? Jangan bilang kamu diserang orang jahat saat dalam perjalanan ke rumah sakit."
Dyra menegakkan tubuhnya tiba-tiba, membuat Dilan terkejut dan mundur. "Ada apa?" tanya Dilan cemas.
"Aku tidak bertemu dengan orang jahat. Tapi aku bertemu dengan penyihir wanita yang genit," cerita Dyra berapi-api.
"Oya?" ucap Dilan dengan mengulum senyum. Jika Dyra bersemangat seperti ini, berarti benar-benar tidak terjadi sesuatu yang serius pada sahabatnya ini. Dilan menghela nafas lega.
"Dalam perjalanan tadi, sebuah mobil sedan tiba-tiba melaju sangat dekat dengan motor pak ojek. Karena terkejut, pak ojek pun jadi oleng, dan akhirnya tidak sengaja menggores body mobil itu. Pak ojek jatuh tertimpa motor hingga kakinya pincang. Dan aku.. berubah wujud menjadi superwoman yang terbang melintasi bumi," jelas Dyra penuh emosi, memperagakan tubuhnya yang terbang dan akhirnya terjatuh serta berguling di trotoar.
"Hmpt.. ukh.." Dilan langsung membekap mulutnya agar suara tawa nya tidak keluar. "Petualanganmu hebat sekali, Dyra. Aduuuh."
Sebuah pukulan keras mendarat di punggung Dilan, yang membuatnya melolong kesakitan dan langsung berdiri menjauh dari Dyra. "Kebiasaan," gerutu Dilan yang menggeliat-geliat, karena punggungnya panas membara terkena sabetan tangan Dyra.
"Gara-gara kamu, aku ketemu sama penyihir wanita itu dan melampiaskan uneg-uneg yang tertimbun di hati dan otak. Jika semua sampah otak itu tidak dikeluarkan, bisa lumutan aku," sembur Dyra penuh emosi.
"Berarti sekarang.. emosimu sudah turun dong. Aku.. jangan diamuk lagi ya," ucap Dilan yang belum berani duduk dekat-dekat Dyra yang selalu ringan tangan, jika sedang terbawa emosi.
"Tidak bisa," seru Dyra yang menggeser pantatnya di kursi untuk mendekati Dilan yang semakin mundur menjauh. "Meski aku sudah babak belur karena berkelahi dan saling jambak, tapi aku masih marah dengan dirimu, Dilan yang menyebalkan. Seenaknya sendiri menyuruh anak gadis di tengah malam begini."
"Aku benar-benar minta maaf."
Dyra berdecak sebal sambil mengibaskan tangan, mengabaikan perhatian Dilan yang terasa basa-basi. "Apa kamu berniat ingin menungguinya semalaman?" tanya Dyra seraya mengedikkan dagunya ke arah kamar rawat yang tertutup itu.
"Ya. Aku sangat mengkhawatirkan kondisinya. Dia sangat rapuh hingga jatuh sakit," jawab Dilan dengan menatap cemas ke arah pintu kamar VIP. "Aku akan menjaganya sampai ada keluarganya yang datang."
"Ck, jangan lebay deh," sindir Dyra sinis. "Dia dari keluarga kaya, pasti banyak orang yang akan menjaga dia. Kamu tinggal telpon, pasti mereka akan segera datang untuknya. Untuk apa kamu bersusah payah menjaganya? Toh hubungan kalian hanya sekedar atasan dan bawahan. Oya, aku lupa.. katamu dia sudah punya pacar, suruh saja pacarnya yang jaga."
"Ceritanya panjang, Dyra."
"Mau sepanjang apa?" tantang Dyra sewot sambil berkacak pinggang marah ke arah pintu kamar VIP itu. "Disingkat dua kalimat saja. Lagian, kalian berdua beda jenis kelamin dan tanpa status hubungan romantis, lalu berada dalam satu kamar yang tertutup, apa itu etis, Dilan? Meski kamar VIP itu adalah milik ruang publik, dimana perawat dan dokter bisa masuk setiap saat, tapi siapa yang akan tahu apa yang akan terjadi di dalam sana?"
Dilan menatap Dyra dengan marah. "Sebegitu burukkah aku di matamu, Dyra? Kamu sudah mengenalku sekian lama, kenapa kamu tidak bisa melihat aku seperti apa? Aku seorang gentleman atau seorang pecundang, seharusnya kamu bisa mengetahuinya."
Dyra mengangkat bahu, defensif. "Laki-laki bisa menjadi lupa daratan dan lautan, jika sedang berduaan dengan wanita cantik."
"Jaga bicaramu, Dyra," tegur Dilan marah dan berbahaya. Dyra tersentak mundur dengan teguran keras Dilan. Memang dirinya yang mendesak Dilan lebih dulu, namun reaksi sahabatnya ini sungguh menakutkan.
"Kamu boleh mengataiku semaumu. Tapi aku tidak akan mengizinkanmu menjelekkan nama baik Diandra, apalagi mengganggunya," lanjut Dilan garang, seakan atasannya adalah miliknya yang sudah dilanggar batas toleransinya.
Dyra terdiam mendengar jawaban Dilan. Sahabatnya ini sudah menjadi orang yang tidak lagi dikenalinya lagi, jika berbicara tentang atasannya. Dyra memandang nanar sosok Dilan yang sedang menatapnya marah. "Dilan, apakah kamu sangat mencintai atasanmu itu? Apakah aku benar-benar sudah tidak mempunyai peluang lagi untuk memiliki hatimu? Jika aku terus bergerak maju, apakah kamu akan marah karena aku mengganggu hubungan kalian?" batin Dyra sedih.
"Malam sudah semakin larut, lebih baik kamu segera ambil motor itu dan pulang ke rumah," ucap Dilan sambil merogoh sakunya dan meraih kunci kontak motor. Kemudian Dilan memberikan kunci itu pada Dyra yang melamun.
"Kamu.. tidak khawatir padaku?"
Raut wajah Dilan melembut pada sahabat terbaiknya. "Aku sayang padamu, Dyra. Tentu saja aku selalu khawatir padamu. Tapi aku juga yakin bahwa kamu sanggup menjaga diri ketika menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan. Karena kamu adalah wanita yang kuat."
"Baiklah, aku akan pulang sekarang," sahut Dyra sambil menarik nafas panjang.
Percuma dirinya ngotot mencari perhatian Dilan yang saat ini hanya tercurah penuh untuk atasannya yang sedang terbaring sakit. Dyra akan mundur selangkah lagi. Dyra bukan orang yang suka memaksakan kehendak, namun dirinya juga tidak akan menyerah begitu saja. Dyra akan terus berjuang mendapatkan apa yang diinginkannya.
"Hati-hati di jalan. Sampai di rumah, kabari aku ya," kata Dilan sambil menepuk lembut bahu Dyra.
Dyra mengangguk tentang nasehat Dilan. "Ngomong-ngomong, dia sakit apa?" tanya Dyra pelan.
"Sakit tifus. Kondisinya kelelahan dan drop, jadi virus dengan mudah memasuki tubuhnya."
"Semoga bosmu cepat sembuh."
"Aku juga berharap begitu."
"Bye Dilan," ucap Dyra muram sambil berbalik dan melangkah menjauh.
"Hati-hati Dyra."
Bersambung...