Sendok yang tadinya berdenting ketika mengenai piring kini terhenti. Selera makan langsung sirna ketika ucapan berisi nada sindiran itu dialamatkan padanya. Ia pikir makan bersama keluarga itu menyenangkan, namun yang ada malah kena mental.
"Anak tak berguna! Kubilang bantu aku kerja di kantor, tapi kau malah menghilang entah kemana, setidaknya walau tak pintar tapi rajin, kau bisa bekerja bersamaku! " kata ayahnya setengah membentak.
"Pa, sabar," kata istrinya padahal ia juga senang ketika Felix di marahi. Perempuan itu enam tahun lebih tua darinya,. Ia mama tirinya, menikah dengan papanya dua tahun yang lalu, namun sampai sekarang belum memiliki anak.
Felix tak merespon, ini bukan pertama kalinya ia mendapatkan cemoohan seperti itu. Ia anak yang tak bisa dibanggakan itulah yang menjadi masalahnya.
Ia tak memiliki apapun tak bisa dibanggakan selalu seperti itu.
Sementara sang kakak punya segalanya seakan tak bercelah.
"Aku berangkat dulu," kata Faiz bangkit dengan cepat.
"Faiz? Kau sudah ingin pergi, sarapanmu kan belum habis," kata papanya terdengar lembut, beda sekali cara bicaranya dengan Felix.
"Tidak perlu, masih ada yang harus kuurus," kata Faiz dingin.
Felix yang melihatnya langsung minum dengan cepat dan ikut berpamitan.
"Anak kurang ajar, berhenti berkeliaran!" Bentak papanya murka. Namun Felix tak mengindahkannya. Bukan karena ia pembangkang, namun ekspetasi ayahnya terlalu tinggi sehingga ia sulit untuk mencapainya.
"Boleh aku ikut denganmu? Turunkan aku nanti di halte yang biasa," kata Felix pada Faiz.
Pemuda itu tak menjawab, namun Felix tahu itu berarti ya.
"Apa yang sebenarnya kau lakukan sekarang?" tanya Faiz membuka pembicaraan.
"Aku bekerja, tentu saja tak sebesar dan seelit gajimu, tapi aku bekerja," kata Felix sembari memutar rubik di tangannya.
"Benarkah?" Faiz lalu melirik ke arah dashboard mobilnya.
"Aku tahu kau mengambilnya, jangan di gunakan sembarangan," katanya berpesan.
"Baiklah," jawab Felix.
Gedung-gedung tinggi di sepanjang perjalanan membuat matanya terus terpaku ke sana, tidak ada percakapan berarti lagi sampai di halte bus.
"Terima kasih, hati-hati di jalan," kata Felix begitu menutup pintu mobil.
Mobil itu pun melaju.
Faiz menghela napas, ia penasaran dengan apa yang sedang Felix kerjakan, ia berharap anak itu tak main-main lagi.
Felix tahu, sepanjang perjalanan, ada banyak orang yang menatapnya, pria itu muda dan tampan, terlebih banyak orang mengenalnya sebagai Faiz, jaksa muda yang tersohor itu.
Seorang gadis dan temannya menghentikan langkah Felix, wajah mereka nampak bersemu merah ketika memandangnya.
"Permisi, apa boleh aku minta nomor ponselmu?" Tanya salah satu dari mereka, bahkan sekarang, sudah banyak wanita yang berani melakukan hal seperti ini, Felix menatap sebuah gedung di seberang jalan sana, nampak memikirkan sesuatu.
"Maaf, saya tidak bisa," katanya cepat lalu pergi.
Keduanya nampak kecewa. Mereka akhirnya berpikir bahwa pria itu mungkin sudah punya pacar. Walau hatinya agak deg-degan ketika mendengar suara sopannya.
Felix memang harus menjaga tingkah lakunya jika tak ingin membuat saudaranya repot, salah satu alasan ia malas menampakkan wajahnya.
Ia lantas merogoh kantong jaketnya, mencari sesuatu di sana. Jaket kekinian yang memang memiliki banyak kantung tapi modis itu menyimpan di sesuatu yang dicarinya, masker hitam. Setelah memakainya ia bisa aman.
***
Kaira terbangun begitu mendapati sang adik kini bersandar di samping pintu kamar sambil mengengam sapu. Ia menatap jijik ke arah kamar kakaknya yang berantakan. Bahkan kamarnya jauh lebih rapi dari kamar kakaknya itu.
Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa ia memegang sapu, sapu itu digunakan untuk membangunkan kakaknya.
Ia akan menyengol kaki kakaknya dengan gagang sapu sampai gadis itu bangun.
Tidurnya nyenyak sekali, sampai ia harus melakukannya beberapa kali, ia masih heran bagaimana caranya sang kakak masih bisa bertahan di tempat seperti ini. Kalau dia sendiri sih akan beres-beres dahulu agar nyaman. Mungkin itu juga penyebab Kakaknya tidak punya pacar.
"Bangunlah Kak, ngapain kek, beres-beres kamar gitu, astaga, lihat tumpukan pakaian dan—" Kevin tak melanjutkan sebab ia sendiri bahkan merasa malu sendiri.
Kenapa kakaknya berbeda dengan wanita lain seperti mamanya. Kevin masih mengerutu bahkan ketika sudah keluar dari kamar Kaira. Ia jadi sering mengomel jika itu menyangkut kakaknya.
Kaira masih belum sadar juga, ia masih menggeliat beberapa kali, bedanya kali ini kabel tak membelit tubuhnya karena ia memang tidak begadang dengan menonton laptopnya. Namun tetap saja kamar itu cukup tak sedap untuk dipandang.
"Nanti saja kubereskan," kata Kaira, maksudnya ia ingin menjawab ucapan Kevin tadi, tapi karena otaknya agak lemot karena baru bangun tidur, jadinya malah diucapkan sekarang.
Matahari nampaknya masih belum terbit, segera ia bangkit sambil menguap, di sibaknya tirai berwarna putih itu, hingga ia bisa melihat pemandangan luar dengan jelas.
Baru ingin menempelkan wajahnya ke kaca jendela.
Ponselnya terus berdering, langkahnya agak sempoyongan ketika mendapati ponselnya berada di atas nakas.
Chat dari temannya yang mengatakan untuk tak datang terlambat ke wawancara.
"Aku tahu," gumamnya.
Kaira kembali menguap, rasanya ia ingin tidur lagi jika bisa. Chat itu dibalasnya singkat dengan perkataan ya.
Setelah melakukan peregangan, ia kemudian mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi, sudah sejak lama ia tak datang ke sana pagi-pagi untuk mandi. Ia tidak akan mandi jika tidak pergi.
Kalau hanya diam di rumah mungkin ia akan mandi siang, atau pas sorenya saja.
"Kakakmu sudah bangun?" Kevin baru saja membuka kulkas untuk mengambil air dingin ketika mamanya bertanya. Wanita paruh baya itu kini tengah mencuci peralatan masaknya. Makanan sudah terhidang di atas meja. Kevin yang membantu menatanya tadi.
"Iya, Ma, mungkin masih loading," jawabnya.
"Kevin, jangan minum air dingin pagi-pagi, minum air hangat saja," imbuh mamanya.
Kevin menurut, ia mengembalikan botol yang baru ia buka tutupnya itu ke kulkas.
Setelah meminum air hangat, ia lalu berjalan menuju kamarnya, sebab harus ganti baju, ia harus sekolah hari ini. Kalau mandi sendiri, ia sudah mandi sepuluh menit setelah terbangun.
"Biasanya anak cewek yang bantuin mamanya," gumam Kevin merasa aneh walau ia tetap melakukannya, terlebih itu inisiatif dari dirinya sendiri.
Akhir-akhir ini kakaknya sering bangun kesiangan. Padahal dulu sering membantu mamanya.
Bahkan mama juga tak terlihat mengomeli Kaira. Maksudnya tak terlalu sering.
Rambut ia sisir rapi, aroma parfum menguar, begini-begini Kevin cukup populer di sekolahnya. Sebab ia juga pintar. Wajahnya juga tampan walau sering usil, ia humoris.
Dan sekarang ia punya pacar, pacar pertamanya, baru jalan beberapa bulan. Sebenarnya, ia juga tak yakin pada mulanya, lagipula yang mengajak pacaran adalah gadis itu. Jadi ia pikir tidak apa-apa lah.