"Itu tadi wawancara?" gumamnya sambil menatap pantulan dirinya di cermin depan wastafel.
Gadis itu sedang mencuci tangannya dan membersihkan bekas luka yang sudah tak lagi mengeluarkan darah, sisa-sisa darah telah mengering bahkan di sapu tangan, hingga sapu tangan itu juga ia cuci. ia memandang lamat-lamat goresan yang tercipta. Tampaknya tak terlalu dalam dengan lebar sekitar empat inci. Setidaknya ia bisa bernapas lega karena paku tadi masih baru, bukan paku karatan yang artinya ia terbebas dari tetanus yang mengerikan.
Walau ia belum pernah merasakannya, dan tidak akan mau.
Ada kotak obat kecil di samping wastafel. Diberikan oleh salah seorang petugas yang melihat ada bercak darah di lengan Kaira. Setelah mendengar keributan tadi ia baru sadar jika gadis itulah pahlawannya. Kata mereka begitu, Berhubung Kaira menolak perawatan dan tampak enggan dibantu, kotak obat kecil pun diberikan. Setidaknya ia harus menerima itu. Walau ada satu pikiran lain yang berkecamuk, ada banyak cctv tadi, ia harap dirinya tak akan viral nanti.
Seorang gadis membanting tahanan, mungkin itu salah satu judulnya, atau superwomen. Segera ia melepaskan pikiran itu, dan fokus membongkar kotak obat.
Kaira mengeluarkan obat luka, sejenis Betadine sepertinya, menuangkannya pada kapas dan mengusap pelan pada lukanya, ia mengeryit, entah kenapa obat luka selalu memberi rasa nyeri, setelah obat itu menyebar hingga tangannya berbercak warna kecoklatan, ia mengambil perban, walau agak kesusahan ia bisa membalut tangannya dengan rapi. Selesai sudah. Ia kembali mengingat wawancara tadi.
Tak ada hal berarti, itu sama saja seperti wawancara kebanyakan.
Ya walau pada akhirnya mereka malah menanyakan hal-hal lain, seperti olahraga apa yang kau sukai? Bagaimana caramu membanting tahanan tadi, dan Kaira harus tersenyum seperti iklan sikat gigi sambil menatap mereka antusias.
Sebelum para pewawancara itu yang ia banting.
Beruntung ada jangka waktu yang diberikan hingga Kaira bisa secepatnya pergi dari sana.
Persetan dengan hasilnya, yang pasti ia harus buru-buru pergi sebelum ditanyai macam-macam lagi.
***
Faiz duduk termenung pada kursi kerjanya, kursi itu bisa berputar 360 derajat, ia memandangi pena yang tengah dipegangnya dan mengingat kejadian tadi.
Itu bukan penanya, tapi ia tahu pena itu milik siapa.
Yang artinya gadis tadi tidak berbohong dan bukan ingin minta nomor ponselnya.
Ana, rekan kerjanya datang sambil membawa teh karena tahu Faiz tak suka kopi, ia memberikan itu padanya, sepertinya pikiran Faiz sedang tak tenang. Ya siapa juga yang bisa tenang jika ada seorang tahanan yang berniat menghujamnya. Walau itu sudah jadi resiko.
Beberapa orang merasa tak adil dengan keputusan hingga menyalahkan orang lain. Padahal itu semua akibat dari perbuatannya sendiri, dasar tak tahu diri. Walau memang beberapa ada yang keputusannya berat sebelah, seperti para koruptor yang hanya dihukum beberapa tahun saja dan bisa melenggang bebas, mana uang yang dikembalikan sedikit sekali dari jumlah yang diambil.
"Minum dulu biar tenang," katanya sopan.
"Aku baik-baik saja," jawab Faiz.
Anak tertawa kecil, jelas sekali Faiz kepikiran.
"Kau mau berterima kasih? Kudengar gadis itu sedang wawancara, jika kau pergi sekarang, mungkin kau bisa mengucapkan hal itu padanya, atau beberapa hal lainnya," kata Ana lagi yang makin membuat Faiz bimbang sejenak.
Faiz meletakan pena itu ke saku bajunya, mengambil teh dan meminumnya pelan. Sementara Ana sudah pergi, ada hal yang harus di lakukannya.
"Aku sebenarnya sedang apa sih?" Gumamnya ketika berada di lift. Pada akhirnya dia ingin menemui gadis itu, sejujurnya ia sedikit khawatir. Walau terlihat dingin tapi ia tak sedingin itu, tetap saja gadis tak dikenal itu telah menolongnya.
Ia harus bersikap layaknya seorang pria tentu saja.
Pintu lift terbuka, matanya mengendar ke sekeliling, dia tengah berada di lobi, karena mendengar beberapa orang yang diwawancarai sudah pulang.
"Hah, sepertinya aku tak akan bertemu dengannya lagi," gumamnya lirih.
"Sedang apa?"
Faiz tersentak, dengan cepat ia mundur dan berbalik ketika seseorang berbicara di belakangnya.
Matanya melebar ketika sadar itu gadis tadi.
"Ka— kau," cicitnya pelan.
Kaira memandang ke arahnya datar, begitu sadar siapa yang ada di hadapannya.
"Oh, anda tadi menghalangi jalan makannya saya tegur, bukan bermaksud apa-apa," kata Kaira menjelaskan. Karena Faiz memang berdiri di tengah jalan.
"Maaf," gumamnya tanpa sadar sambil mengerjap pelan.
Kaira tersenyum sekilas sambil berlalu pergi dari sana. Tak ada untungnya juga ia berdiam diri terlalu lama. Saatnya pulang dan kembali menonton dramanya.
Faiz memejamkan matanya beberapa detik, memikirkan apa yang harusnya dilakukannya, sejak kapan ia kesulitan berbicara seperti ini.
"Tanganmu bagaimana?"
Kaira terhenti, jaraknya tak begitu jauh, ia menoleh dengan pandangan bingung.
"Anda bicara dengan saya?" tanya Kaira sambil menunjuk dirinya sendiri.
Pria itu mengganguk pelan.
Kaira menunjukkan tangannya yang sudah diperban.
"Baik," ucapnya singkat.
Faiz diam setelahnya. Merasa pria di depannya tak lagi ingin berbicara gadis itu segera beranjak pergi dari sana. Faiz sadar begitu ia tak menemukan Kaira di manapun.
"Cepat sekali," ucapnya datar.
Pada akhirnya ia tak jadi menyampaikan ucapan terima kasih. Padahal hanya dua kata.
Begitu sampai di luar rasanya Kaira berada di alam lain. Panas sekali. Rasanya seperti keluar dari indojanuari yang full AC dan kembali ke jalanan.
Buru-buru ia berjalan, ia harus menemukan bus cepat. Tadi ia ingin berhenti sejenak di salah satu kafe. Tapi rasanya tak enak sebab banyak sekali orang di sana. Ditambah mereka berpasangan.
Tanpa tahu hal yang dikhawatirkannya agaknya benar-benar terjadi.
Layaknya seperti domino, video cctv yang awalnya hanya ditonton oleh orang kantor atau pihak keamanan. Tahu-tahu sudah menyebar saja. Itu membuktikan betapa hebatnya lajur Infomedia yang berkembang sekarang. Walau banyak juga hal yang tak baik.
Mereka menganggap hal itu patut diapresiasi.
Kaira sosok wanita yang tangguh juga pikir mereka.
Dan tentu Kaira tak terlalu peduli. Ia sedang memikirkan sebuah kebohongan untuk diberikan pada ibunya ketika melihat tangan anaknya diperban.
Bus itu melaju membelah jalanan ibukota yang mulai padat merayap namun tak macet untungnya. Seperti biasa ia duduk di dekat jendela sambil memerhatikan hal sekitar.
Penumpangnya tak terlalu ramai hingga ia tak perlu berdesakan.
Sebuah chat masuk ke ponselnya. Ia bisa menebak itu dari siapa.
Tentu saja sahabat baiknya Irina. Agaknya gadis itu menyuruhnya untuk mampir ke kafe sebentar.
"Memangnya dia tidak lelah apa," gumam Kaira.
Siapa yang menyangka, gadis itu akan membuka sebuah kafe di usianya yang masih terbilang mudah. Kadang-kadang ia merasa iri padanya. Irina menemukan hal yang disukainya, seperti hobi yang berkamuflase menjadi pekerjaan.