Kevin's Pov
Saat itu, tepatnya tiga bulan yang lalu, saat ulang tahunku yang ke tujuh belas tahun, papa mengizinkanku menggunakan motor, selama ini aku hanya menumpang dengan papa atau mobil temanku. Aku memang sudah bisa mengendarai sepeda motor jauh dari sebelumnya. Tapi hanya mengendarai nya di sekitaran kompleks saja, sebab tak diizinkan pergi jauh karena masih di bawah umur. Mendengar nya aku bahkan sampai loncat kegirangan.
Tapi, Papa tak mengizinkan secara cuma-cuma, ada persyaratan yang harus aku kerjakan yaitu harus punya sim. Walau itu syarat dasar. Tapi tak banyak anak sekolah yang cukup umur untuk membuatnya. Mungkin hanya aku yang terlalu memikirkannya.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang papa berikan. Aku belajar dengan giat untuk mendapatkan SIM ku, saat hari itu tiba, beruntung aku lulus dan dapat nilai yang baik. Jantungnya rasanya mau pindah ke usus sebab aku terlalu gugup, tapi syukurlah ada temannya. Bahkan polisi ikut memujiku, karena kebetulan ada motor yang menggangur, daripada beli yang baru. Jadi aku memaki motor itu.
Pagi ini aku tidak pergi sendiri, hanya berjarak sekitar 10 rumah aku berhenti di samping pagar setinggi setengah meter berwarna hitam, di halaman dekat kolam air mancur kecil, di atas kursi rotan, ada Kinan tengah mengikat sepatu, dia sahabat perempuanku dari SMP. Kebetulan sekelas dan rumahnya dekat denganku.
Kami memang biasanya pergi berdua. Ia agak tomboi, rambut pendek sebahu. Dahulu tubuhnya sangat mungil, tapi beranjak SMA ia cepat meninggi, walau tentu saja aku lebih tinggi, kalau berdiri ia batas bahuku.
Sepertinya ia mendengar suara motorku hingga tanpa perlu ku bunyikan klakson ia sudah menoleh terlebih dahulu dengan wajah jahil.
Kudengar ia memanggil ibunya, pamitan sejenak, aku hanya melambaikan tangan ketika ibunya memanggilku. Rutinitas sehari-hari yang kerap kali dilakukan.
Kuberikan helm yang berada di kaitan motor untuk Kinan. Ia mengambilnya dan duduk di belakang.
"Kami pergi Bu," teriakku pamit ke ibu Kinan.
Entah hanya perasaan ku saja, Kinan bukan tipe gadis pendiam. Namun pagi ini kurasakan ia jadi agak pendiam.
"Kau ambien?" tanyaku ceplas-ceplos. Jika biasanya ia akan memukulku sambil berteriak tak terima kali ini ia hanya mendengus sambil berkata jangan ganggu aku.
Aku sedikit membenarkan sebelah spion motor, melihatnya dari sana. Kinan kini nampak serius memerhatikan buku yang di pegangnya.
"Kau sedang apa?" tanyaku penasaran.
"Hah, kami hari ini ulangan, matematika lagi, dan tahu tidak, baru dikasih tahu tadi pagi di grup, dan ulangannya jam pertama," kudengar Kinan mengerutu sebal. Ternyata ulangan lah yang membuat moodnya turun.
"Kenapa pusing sih? Kau kan pintar," ujarku santai.
Kinan memang pintar, bahkan lebih pintar dariku. Jadi seharusnya tak perlu merasa pusing begitu.
"Tetap saja, aku suka kimia dan fisika, tapi tidak untuk biologi," katanya lagi masih mengerutu.
"Palingan juga nilaimu dapat A+ nanti," kataku tertawa.
Setelahnya, aku hanya diam ketika Kinan berteriak agar aku tak berisik, sebab ia harus belajar.
Perjalanan menuju sekolah sekitar lima belas menit saja. Jalan masih lancar, untungnya tak terjadi kemacetan.
Pak Agus, satpam sekolah tengah duduk di poskonya, seperti biasa aku akan menyapanya, dan ia juga balik menyapa.
Kami termasuk anak yang rajin datang, hingga ia hafal dengan wajah kami, Kinan masih saja belajar bahkan ketika kami sudah sampai di parkiran.
"Ku doakan kau dapat 50," bisikku di dekat telinganya dan langsung kabur ketika ia berteriak tak terima.
Aku berlari sambil tertawa. Ia memang seperti itu. Aku takut ia bisa masuk kolam ikan saking fokusnya membaca.
Udara pagi terasa begitu segar, sudah ada beberapa siswa lain yang sampai.
Anak OSIS yang sibuk menyiapkan peralatan untuk upacara. Ada yang mengeluarkan speaker, microphone, dan peralatan lainnya.
Mereka sangat sibuk, salah satu penyebab ku malas ikut OSIS, satu-satunya yang kuikuti adalah fotografi. Bersama dengan Kinan. Tapi gadis itu juga ikut eskul bahasa.
Aku berhenti sejenak di tangga sekolah, menatap ke arah pohon mangga yang tengah berbuah. Mungkin bisa ku ambil nanti bersama teman-teman.
***
Daun kering mulai berjatuhan di atas rerumputan dan tanah, cuaca mulai memanas, namun banyaknya pepohonan membuat kami tak merasakan cuaca terik ini.
Ada banyak pohon mangga yang di tanam di sekolah. Hingga anak-anak perempuan sering membawa bumbu rujak dari rumah, dan kami, para siswa laki-laki memanjat pohon-pohon yang sudah berbuah banyak, seperti sekarang.
Kami mencari tempat aman yang tak akan dilihat oleh guru, sembari bersembunyi di balik rimbunan daun kehijauan.
Pohon ini tak terlalu tinggi, namun memiliki banyak cabang dengan daun yang rimbun.
Beberapa helainya akan jatuh ketika kami naik ke atasannya. Kami tidak membawa pisau, namun pengupas buah, setidaknya itu tak akan diambil jika ada razia.
Hal terbaik adalah kebersamaan, sekolah kami cukup tenang, tak ada bunyi perkelahian apalagi tawuran.
Malah saat istirahat banyak murid yang memilih berolahraga. Walau kebanyakan akan memilih berada di kantin dan tempat lainnya untuk tidur siang.
Sementara anak-anak lain sibuk makan buah, begitupun denganku. Kulihat Nadin berdiri tak jauh dari samping tembok. Menatap lurus ke arahku. Aku mengambil ponsel di sakuku. Dan benar ada chat darinya ia ingin bertemu.
Oh iya, aku lupa mengenalkan, Nadin ini adalah pacarku. Kami baru berpacaran sekitar tiga minggu ini.
Dia adalah pacar pertamaku.
Dan dia yang menembakku waktu itu. Walau agak aneh, tapi kupikir tak masalah jika aku menerimanya. Gadis itu nampak baik, dan pintar juga. Walau ada juga beberapa gadis lain yang pernah menembakku. Bahkan banyak juga yang memberi kode, tapi aku masa bodoh. Tidak mungkin juga jika kupacari semua.
Dan bagiku Nadin agak berbeda.
Namun akhir-akhir ini ia agak berbeda. Ia Terlihat seperti orang yang kesal.
Dan nampak nya ia kesal denganku, aku tidak tahu apa penyebabnya. Bisa karena banyak hal. Atau memang benar karena aku.
Maka aku segera pamit dengan beberapa temanku, mengikuti Nadin yang berjalan lebih dahulu. Kami akhirnya berhenti di depan laboratorium, tempat yang cukup sepi untuk berbicara.
Ia nampak begitu serius.
Nadin, gadis berbadan kecil, ia memiliki gigi kelinci yang membuatnya makin manis ketika tersenyum.
Rambutnya panjang dan berwarna cokelat.
Dari dekat baru kusadari jika ia memakai bedak dan lipstik. Terlihat dari beberapa tempat di wajahnya yang tak rata bedaknya.
Sekolah kami memiliki larangan untuk tidak memakai aksesoris atau bergaya berlebihan. Ada batasan untuk itu, dan entah kenapa ia bisa lolos.
Saat tengah melamun itulah ia berbalik dan menatapku lurus. Aku mencoba memikirkan sesuatu dan akhirnya mengatakan.
"Ada apa?"
Gadis itu tertawa, dengan tawa yang sama sekali tak terlihat senang. Makin membuatku bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Jika orang-orang mengatakan bahwa pria itu tak peka. Bukankah itu karena wanita yang terlalu banyak kode.
Ayolah, ini sebuah hubungan bukan main tebak-tebakan. Jelaskan jika ada yang salah, bukan marah-marah.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku lagi masih memasang wajah bingung.
"Kamu lupa ya?" ujarnya dengan nada rendah. Pupil matanya terlihat bergetar.
"Lupa?"
Aku terdiam sejenak, memikirkan maksud dari ucapannya. Namun sebanyak apapun aku mencoba mengingat, tak satupun yang mendekati maksud dari perkataan nya barusan.
"Lupa apa?" Ulangku lagi memastikan.
Kulihat ia mendesah berat, wajahnya agak memerah, mungkin karena cuaca yang panas pikirku.
"Bukankah aku menyuruhmu untuk menjemputku?" ujarnya.