Felix's pov
Kurasa aku sudah gila.
Kantor tempat saudaraku bekerja adalah salah satu tempat yang tak akan pernah kukunjungi. Begitu kataku dulu.
Sebab tak banyak orang yang tahu jika kami bersaudara. Mungkin lebih tepatnya, untuk apa mengatakan pada orang-orang jika aku ini saudaranya. Bahkan orang terdekat pun rata-rata bilang bahwa hanya wajah kamu yang mirip. Kepribadian dan otak jauh berbeda.
Seperti Januari ke Desember.
Aku tahu artinya itu, dan tak terlalu mempermasalahkannya. Namun pagi ini aku melanggar janjiku.
Perkataanku seakan menguap, kini aku sudah berada di depan ruang kerja Faiz setelah berlari.
Darimana aku tahu ruangan ini? Apa gunanya denah jika aku harus mondar-mandir tak jelas.
Aku mengetuk pintu itu pelan. Berharap Faiz sedang sendiri, kelihatannya sih begitu sebab aku tak mendengar ada percakapan dari luar.
Demi mengamankan privasi aku mengenakan masker, untuk kali ini berwarna putih, untuk menghindari kecurigaan. Kurasa ini berhasil karena aku tak di cegat pihak keamanan satu pun.
Pintu terbuka, Faiz kini menatapku seakan-akan aku baru saja meluncur dari wahana rollercoaster.
Bahkan suaranya ikut berubah ketika memanggil namaku.
"Boleh aku masuk?" tanyaku sebelum kakiku keram. Karena berlari dan berdiri terlalu lama.
Faiz nampak menyingkir, memberi jalan untukku masuk. Begitu pintu ditutup, saat itu juga aku telah duduk di kursi sofa, lumayan ini empuk, segera ku buka masker yang menghalangi sirkulasi udara.
Sepertinya Faiz peka hingga ia menyodorkan minuman padaku, segera saja ku teguk dengan beringas.
Aku tak terlalu memerhatikannya, kini ia ikut duduk pada sofa di depanku.
"Kenapa kau bisa ketemu gadis itu?" Kataku ketika selesai minum.
Faiz memasang ekspresi datar.
"Gadis? Oh kau sudah melihat videonya?"
"Ya, dia kenalanku." kataku pada akhirnya.
"Kenalan?" ulangnya.
Aku bisa melihat Faiz kini menatapku dengan tatapan menyelidik dan ini bukan pertama kalinya.
"Sungguh kenalanmu, atau kau berpura-pura menjadi diriku?"
Aku terdiam, memang tak mudah bicara dengan seorang jaksa, kata-katanya tepat sasaran.
"Itu—" aku melihat sekeliling, terlalu sulit untuk mengatakannya.
Faiz terlihat mendesah pelan sambil memijit kepalanya.
"Bukankah sudah kubilang untuk tak bermain menggunakan namaku?"
Kali ini Faiz terdengar berang. Memang salahku juga sih, tapi aku punya alasan tersendiri.
"Dia berbeda, dia gadis yang pernah kubilang padamu waktu itu."
Kali ini giliran Faiz yang terdiam. Sisa raut wajahnya perlahan turun. Tak semarah tadi, agaknya ia sedang mencerna maksud dari ucapanku. Jika itu memang benar harusnya ia maklum.
"Jika itu memang benar, bukankah kau seharusnya tak menggunakan namaku? Dia kan kenalanmu!" bentak Faiz.
Aku tersentak, ini pertama kalinya Faiz marah. Aku yakin, selama ini ia tak pernah membentak ku sekalipun. Sikapnya tenang, namun ia semarah ini sekarang.
"Maaf, aku tak tahu harus berbuat apa," kataku dengan nada lemah.
Faiz berdecak menatapku tak percaya.
Ia mengatakan jika bukan karena aku, gadis tadi tak akan terluka. Mendengar kata terluka membuatku mengerjap bingung.
"Dia terluka?" Ulangku terkejut.
"Ya, jika kau tak sok akrab, dia terluka saat berusaha menyelamatkanku, kau membuat pikiranku tak tenang saja! Ku mohon berhenti lah bermain Felix."
Aku mencengkeram celanaku, merasa bersalah karena gadis itu sampai terluka. Bukan itu yang kumau. Ada jeda keheningan lama di antara kami. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri.
"Aku hanya ingin dekat dengannya— kau tahu kan seperti apa aku sekarang, kupikir jika itu kau, situasinya akan mudah," kataku menjelaskan.
Kurasakan mata Faiz berubah, terlihat simpati.
"Berpura-pura menjadi orang lain demi dekat dengan seseorang, bukankah itu sama saja dengan penipu? Kau bilang dulu kalian cukup dekat, seharusnya kau jujur saja."
Aku mengganguk, memang benar yang diucapkan Faiz. Namun aku sudah kelanjur bilang begitu, tidak mudah untuk menariknya kembali.
"Tolong biarkan sebentar saja, aku akan mengatakan yang sebenarnya, tapi tidak sekarang, bisa kan?"
Terdengar egois, namun hanya ini yang bisa kulakukan.
"Berhenti bersikap rendah diri, tidak ada yang mau dekat dengan mu jika kau seperti itu."
Tepat ketika Faiz mengatakan itu, ponselnya terdengar berbunyi. Ia melirikku dan langsung mengangkatnya, ia hanya menjawab pendek ketika berbincang. Entah dengan siapa.
Kemudian segera menyuruhku pergi karena ia akan kedatangan tamu, dan pembicaraan ini bisa dilanjutkan nanti.
Aku mengucapkan maaf sekali lagi dan akhirnya pergi.
Yang kulakukan hanya berdiam di dekat air mancur di samping kantor. Tidak ada banyak orang di sekitar sana. Sepertinya orang-orang masih sibuk bekerja. Aku memerhatikan tetesan air mancur yang turun, sambil memikirkan haruskah aku menjenguknya. Tapi alasan nya apa, dia belum tentu bisa mengingatku, terlebih aku tak sedekat itu bisa datang ke rumahnya tiba-tiba.
Ini sangat sulit, aku tak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi aku tak ingin membebaninya, sisi yang lain aku takut ia akan pergi menjauh setelah tahu keadaan yang sebenarnya.
Tetap saja aku merasa gelisah. Jika tak melakukan apa-apa.
Aku benar-benar berharap ia bisa mengingat ku meski ini sudah lewat beberapa tahun sekali pun.
Aku tahu itu salahku, pergi tanpa alasan yang jelas.
Angin bertiup, terdengar desiran angin yang mengenai dedaunan di atas pohon, rasanya udara tiba-tiba menjadi lebih dingin padahal cuaca sedang cerah, kudongakkan kepala ku atas menatap langit cerah.
Dalam imajinasiku kumpulan awan seketika menjadi siluet seorang gadis mengenakan setelan pakaian kebesaran yang menenggelamkan tubuhnya. Rambutnya sebahu, tanpa riasan ia tersenyum tenang menatap padaku, menyuruhku untuk mengikutinya.
Dia Kaira.
Aku segera berdiri, kuputuskan untuk menemuinya sekarang. Setidaknya daripada aku tak bisa tidur. Mungkin aku bisa datang ke kafe, berpura-pura menjadi pembeli, jika Irina melihattku aku yakin ia akan mempertemukanku dengan Kaira.
Setelahnya...
Aku mengambil napas dalam, setelahnya aku akan menanyakan keadaannya. Meminta maaf atas sikapku saat di kantor. Ya berpura-pura menjadi Faiz.
Setidaknya hanya sementara, sembari memikirkan waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya.
Meski di otakku sudah tersusun sebagian kata-kata nya, tapi aku bukan mereka yang mudah berbincang.
Bahkan saat pertama kali bertemu setelah sekian lama. Aku terus menahan gemetar, jangan membuat kesalahan, bersikap seperti biasa dan beragam pikiran lain.
Aku menghela napas lega ketika bisa melakukan semua itu tanpa membuat masalah.
Sifat grogiku bisa muncul kapan saja, dan itu lebih buruk daripada orang lain. Aku bisa membuat meja terbalik, menumpahkan minuman. Menyemburkannya atau membuat suasana menjadi gaduh. Pada akhirnya aku menjadi pusat perhatian, dan... Aku akan dikucilkan karena dianggap tak bisa bergaul hanya bisa mengacau saja.
Seperti di kantor, beruntung sebagian dari mereka termasuk Aldo sudah paham dengan sifatnya.
Aku kembali menaiki bis, memakai masker dan menatap jalanan dari jendela.