Chereads / Extraordinary Girl / Chapter 14 - Sikap

Chapter 14 - Sikap

Kaira's Pov

Aku tidak bisa menduganya sedikit pun, sebab beberapa kali kepribadian pria itu selalu berubah-ubah, misalnya seperti saat ini, aku bukan bersikap berlebihan, mengingatkan sikapnya terkahir kali membuat ku agak kurang nyaman.

"Dia sedang apa sih?"

Itu kata pertama yang muncul di otakku ketika melihat Faiz kini duduk di salah satu meja kafe. Celingak-celinguk seperti anak ayam hilang dari induknya. Seorang diri.

Ia berada di tempat yang kemarin, kebetulan pengunjung di sana baru saja pergi. Tempatnya terhalang oleh beberapa hiasan. Alunan lagu Ballad masih terputar dan memenuhi kafe.

Kukira Irina hanya bercanda ketika ia bilang ada Faiz yang datang. Tidak, aku tidak menungguinya sungguh, hanya saja. Bagaimana mengatakannya ya

Bukankah itu sungguh aneh? Tadi bersikap seolah-olah tak kenal sekarang malah datang, dan katanya ada yang mau dibicarakan. Sungguh tak bisa ditebak.

"Dia ingin bicara dengan mu," bisik Irina kepadaku, kalau itu sih aku juga tahu tanpa perlu ia kasih tahu. Bukan maksudnya kegeeran.

Aku mendelik ke arahnya karena seharusnya Irina berbohong saja terkait keberadaanku, ia hanya menyengir dan segera melimpir pergi setelah berhasil mendorongku ku keluar.

Aku ingin segera kembali ke ruangan sebelum tatapan pemuda itu kini mengarah tepat kepadaku, dalam artian aku tak bisa berpaling lagi dan pura-pura tak melihatnya, ia tak berkedip dengan ekspresi tak bisa kubaca.

Setelah kuperhatikan ada perbedaan mencolok, di mana saat di kantor tadi ia berpakaian rapi, dan kini tampil layaknya pemuda kebanyakan yang sedang hang out.

Di banding itu, rambutnya agak berantakan.

Begitu mendekat dan duduk di depannya baru ku sadari ia berkeringat banyak. Ada titik-titik di pelipis wajahnya. Padahal kafe ini dingin.

"Kau baik-baik saja?"

Itu kata pertama yang keluar dari mulutku, seharusnya aku diam saja, seperti biasa, aku bukan orang yang pintar berbasa-basi. Ingin kutampar mulutku rasanya karena sudah berbicara lancang. Rupanya aku cukup peduli, habisnya dia kelihatan agak pucat sih. Jangan sampai dia pingsan di sini pikirku.

Namun agaknya ia tak terlalu mendengarkan sebab tatapan pria itu kini mengarah ke lengannya, tepat di arah perban yang kulilit sekenanya, aku pun mengikuti arah pandangan nya dan memang benar.

"Mau ke rumah sakit?" tanyanya akhirnya bicara juga. Setelah hanya diam saja dari tadi.

Aku menghela napas sejenak, kenapa orang-orang bertindak berlebihan padahal aku hanya sedikit tergores saja. Mungkin saja ia tak ingin namanya teecoreng karena ditolong oleh seorang gadis.

"Aku baik-baik saja hanya tergores sedikit," tukasku datar. Kopi latte dan cemilan sedang kini terhidang di atas meja setelah salah satu pelayan membawanya. Aku sudah kenyang tadi jadi tidak ingin makan lagi.

Pria itu kini menatap ke arahku. Wajahnya berubah tambah lesu.

"Maafkan aku," lirihnya.

Bisa dibilang aku pandai mengatur ekspresi wajah, tapi apa-apaan ini, aku tak bisa mengatasi rasa keterkejutan ketika melihatnya sendu, mirip anjing kecil yang tak di kasih mainan. Atau di tinggal main sendirian.

"Untuk apa?" tanyaku tak mengerti, pertanyaan yang bodoh memang.

"Karena menolongku kau terluka."

"Sebenarnya tak perlu minta maaf—" aku terdiam ketika mengatakan itu, mengingat sedikit tentang sikapnya tadi, kalau untuk itu tak apa-apa jika ingin meminta maaf. "Intinya aku bergerak sesuai pikiranku, lagipula ini hanya tergores, jadi, habiskan kopimu karena aku harus pulang."

Dia nampak diam, mungkin sadar ucapanku terdengar seperti mengusir, sementara Irina dari jauh mengode, entahlah ia bilang apa. Sebab pikiranku sekarang tertuju pada list drama yang harus ku tonton. Aku bosan harus berbasa-basi seperti ini. Lebih baik seperti tadi. Seolah-olah hanya orang lewat yang sedikit saling sapa.

Tangan Faiz bergerak menuju gelasnya, ia tak lagi bicara, tak sampai tiga menit ia sudah menghabiskan semuanya. Untunglah pikirku sebab tak harus terlalu lama menunggunya.

Aku segera bangkit, mengucapkan selamat siang dan berlalu pergi tanpa membiarkannya berbicara. Aku tak menoleh sedikit pun bahkan ketika Irina memanggilku.

Jika ia memang tertarik, dia saja yang mengobrol sana, jangan paksa aku.

Beruntung ada ojek online kenalanku di dekat sana, hingga di cuaca seperti ini tak perlu berjalan pulang ke rumah. Walau jaraknya dekat, aku sih kalau cuaca begini, mendingan naik ojek.

Tukang ojek online ini adalah seorang

Pria paruh baya berusia 50 tahun, ia pensiunan dari sebuah pabrik, mungkin karena terbiasa bekerja jadinya ia tak merasa enak jika hanya diam saja di rumah setelah masa pensiunnya, akhirnya memilih melamar kerja menjadi ojek online, kalau untuk itu ia masih kuat katanya.

Rumahnya berada di blok yang berbeda denganku, meski begitu, aku sering bertemu dengannya ketika ada rapat/acara setempat.

Ayahku cukup dikenali karena seorang pengacara ia di hormati hingga memiliki banyak kenalan. Termasuk bapak ini.

Ia cukup ramah hingga mengajakku berbincang. Hanya sekedar tanya jawab. Seperti apa aku baru saja pulang kerja. Ku jawab dengan jujur baru dari wawancara kerja, walau melewati fakta telah membuat kegaduhan di sana.

Sampai di depan rumah yang kuharapkan mama tak melihat video itu.

Dan aku harus menyembunyikan luka di tanganku. Mungkin dengan menggenakan baju berlengan panjang. Aku masuk rumah dengan mengucapkan salam kecil.

Aku bersyukur sebab tak nampak mama di mana pun. Mungkin ia sedang berada di dapur.

Segera saja aku berlari ke kamar, sebenarnya malas mandi, tapi aku merasa gerah.

Setelah mandi, dan berpakaian ku dengar ada banyak ketukan di pintu. Itu Mama.

Aku menelan ludah susah payah.

Tapi ketika kudengar mama bilang membawa camilan segera saja kubuka pintu itu, pantas saja ada aroma harum tadi ketika lewat. Rupanya mama baru saja membuat kue di dapur. Beberapa cake t dengan toping keju dan cokelat.

Aku berseru girang ketika melihatnya, walau aku sudah makan, tetap saja masih ada ruang yang tersisa, cocok buat makanan ringan.

"Makanlah selagi hangat," kata mamaku. Aku ingin membawanya ke kamar, ketika mamaku sudah lebih dulu membawanya ke dekat meja, tak jauh dari kamarku. Tempat bersantai, ruang keluarga kedua.

Aku mengekori dan duduk di salah satu kursi sambil menyomot kue itu. Rasanya manis dan lembut. Meski sudah sering membantu mama membuat kue seperti ini, tetap saja jika aku yang membuatnya, hasilnya bisa dipastikan

Kalau tidak berakhir di tempat sampah maka akan berakhir di dinding. Kevin adalah salah satu korban uji coba ku, walau ia sering menolak. Kecuali jika ku beri penawaran menarik.

Katanya ia hanya punya satu nyawa yang terlalu berharga untuk menjadi korban. Ucapannya terdengar seperti aku ingin meracuninya saja. Walau beberapa kali kue ku rasanya memang sangat aneh.

Bahkan tikus pun enggan menyentuh makanan yang kubuat. Jadi tak perlu kujelas kan bagaimana rasanya.

Kami sejenak berbincang-bincang perihal tadi, tak banyak hal berubah. Sepertinya mama tidak mendapatkan video itu. Untunglah pikirku. Dan lukaku juga kusembunyikan di balik lengan baju panjang.