Kaira mengusap tengkuknya ketika Irina kini memandangnya dengan tatapan horror. Apalagi sekarang. Perasaan ia tak berbuat kesalahan.
Pengunjung kafe hari cukup ramai, karena itu juga ia malas bergabung di antara keramaian hingga kini berada di ruang istirahat.
Ruangan dengan jendela menjorok ke jalanan, ada bangku-bangku di dekatnya dan juga sofa di bagian dekat dinding. Ruangannya dingin karena nyala AC. Alunan musik kekinian terdengar di seantero kafe. Salah satu daya tariknya. Kafe yang terlalu tenang tak begitu mengenakan. Setidaknya harus ada pengiring, Irian benci senyap.
Kai ingat sekali, dulu Irina pernah mengatakan itu, ketika mereka sering mampir ke kafe yang begitu senyap, baginya rasanya kurang nyaman. Hingga Kai berceloteh kalau tak suka buat saja kafe impianmu sendiri.
Walau Irina memang sering mengatakannya, siapa yang menduga ia benar-benar melakukannya. Memang bakat berdagang Irina sudah kelihatan sejak lama. Ia termasuk gadis yang tekun dan sabar, lagipula ia betah berlama-lama menghitung sesuatu, memikirkan segala kemungkinan. Sangat berbanding terbalik dengannya.
Mungkin karena Kai tak benar-benar menemukan hal yang disukainya.
Bahkan kuliah hanya sekedar pelepas status pengangguran. Cita-citanya menjadi ilmuan nasa, sayang sekali ia ditentang orang tuanya yang berpikir apakah Kai ingin bekerja di pusat luar angkasa, jauh dari orang-orang. Menyendiri di atas sana. Kalau pun itu memang ada.
Padahal yang kai pikirkan adalah duduk di ruang pusat kendali, bukan luar angkasa. Toh tidak semua tentang NASA hanya soal astronot. Jika semua ilmuan nasa jadi astronot, lalu yang memantau siapa?
Pada akhirnya ia harus menyerah juga walau sudah dijelaskan. Orang tuanya ingin ia bekerja seperti kebanyakan orang saja. Jangan yang aneh-aneh katanya. Dan lihatlah ia sekarang, mondar-mandir mencari pekerjaan yang sesuai untuk beberapa bulan sebelum dipecat pada akhirnya.
"Bagaimana wawancara mu?" tanya Irina kini menatapnya penuh selidik.
"Begitulah," jawab Kaira singkat.
"Begitu apanya?" tukas Irina.
"Ya, gitu."
Irina tertawa pelan. Ia bergumam tentang sesuatu yang di luar dugaan, sementara Kaira tak begitu peduli karena sibuk dengan bobanya.
"Kau sebentar lagi viral," kata Irina. "Mungkin memang sudah viral," sambungnya lagi.
Kaira ingin membuka mulut, namun ia urungkan karena masih berusaha mencerna apa maksudnya. Gadis itu kini sudah bertelanjang kaki, sepatunya ia lepas karena merasa tak nyaman. Rambutnya ia ikat sekenanya.
"Apa maksudmu?" tanyanya pada akhirnya karena tak menemukan jawaban apapun.
Ting.
Sebuah notif terdengar di ponsel Kaira, dengan dagunya Irina menyuruhnya untuk melihatnya, ada sesuatu yang baru saja ia kirim.
Mulanya, Kaira masih dengan wajah yang sama. Tak nampak tertarik. Namun setelahnya ia menatap ke arah Irina dengan wajah cemas.
"Kapan mereka merekam itu?" Gumamnya.
"Itu cctv bodoh!" Irina memijat kepalanya, jujur saja ia sedikit tak percaya walau sudah melihatnya. Walau tindakan Kaira bagus, tapi tetap saja itu membahayakannya.
"Ceritakan bagaimana caranya kamu bisa ada di sana, sementara tempat wawancaramu ada di lantai berbeda, lagipula itu tempat persidangan, bukan ruang rekreasi."
"Pria bernama Faiz, aku bertemu dengannya di sana," kata Kaira menjelaskan.
Jika tidak temannya itu akan terus mengomel.
"Apa?"
"Tapi ia tak terlihat seperti mengenalku."
Keduanya diam, ada jeda keheningan cukup lama.
"Kenapa dia tak mengenalmu? Setelah semua yang terjadi," tanya Irina.
"Bagaimana aku tahu? Kau sendiri yang menyuruhku mengembalikan pena itu jika bertemu dengannya."
Irina diam. Ia tersenyum kalem, memang benar dirinya lah yang telah membuat Kaira menemui pria itu lagi. Ia pikir pena yang ditemukan nya itu bisa menjadi tiket terbaik untuk temannya. Siapa yang tahu mereka bisa menjadi lebih dekat lagi.
Tapi setelah mendengar hal barusan. Agaknya Kaira hanya menjadi korban rasa penasarannya, tak ia duga jika pria itu pintar gombal.
"Maafkan aku,' katanya terdengar menyesal. Setelahnya ia tak ingin menyinggungnya lagi. Cukup batas situ saja. Apalagi ketika mendengar semua cerita Kaira. Berani sekali malah berpikir Kaira ingin nomor ponselnya, padahal pria itu sendiri yang bersikap sok sebelumnya.
***
Felix kini tengah berada di sebuah ruangan kecil, ada beberapa orang lainnya tengah sibuk menyoret papan berbentuk seperti kaca di depan.
Mereka tengah mengadakan rapat khusus.
Setidaknya hanya ini yang bisa ia lakukan.
Mungkin ia memang tak bisa membuat nama keluarga harum seperti Faiz. Tapi setidaknya ia tak menjadi beban.
Walau orang tuannya tahunya ia cuma berkeliaran tak jelas.
Salah seorang dari mereka menutup rapat.
Satu jam lewat sedikit, sudah cukup untuk berdiskusi. Jika terlalu lama bisa mencar ke mana-mana.
Salah seorang dari mereka akhirnya berseru. Sambil memperlihatkan ponselnya yang tengah memutar video, yang lainnya ikut nimbrung. Hingga mereka berdesakan. Sesekali terdengar suara decak kagum.
Hanya Felix yang nampak tak berminat.
"Dia membantingnya?!"
"Gila, dia pinter beladiri ya!"
"Eh, tunggu, kayaknya tangan dia terluka deh!"
Ada beragam tanggapan yang dilontarkan. Felix sedikit melirik karena suara ribut, Aldo, rekan sekantornya yang memakai kacamata bulat dengan rambut keriting mendekat ke arahnya.
Ia awalnya juga tak tertarik, sampai tiba-tiba salah satu dari rekannya mengirimkannya.
"Kejadiannya beberapa jam yang lalu, ini terlihat menarik," kata Aldo menyerahkan ponselnya pada Felix.
Pria itu diam dan hanya menonton saja. Keningnya berkerut, segera ia dekatkan layar itu ke wajahnya, seketika matanya membelalak. Ia pikir tadi hanya berhalusinasi.
Tapi tidak, itu Kaira, ia yakin sekali, dan dua orang yang bersebelahan itu adalah Faiz dan rekannya Ana. Walau mereka tak terlihat jelas karena sengaja diblur, namun ia yakin sekali. Yang ditonjolkan di video itu hanya Kaira. Dengan judul aksi heroik seorang gadis menyelamatkan orang-orang di dekatnya.
Aldo yang melihat ekspresi Felix langsung berseru ringan.
"Wah, tumben tertarik pada hal seperti ini."
Felix tak menjawab dan langsung memberikan ponsel itu kembali pada Aldo, kemudian langsung mengecek ponselnya yang sengaja ia silent kannya suaranya.
Benar saja, sudah ada beberapa panggilan tak terjawab dari Faiz. Terlebih sebuah pesan yang dikirimnya.
"Sepertinya kau berutang penjelasan padaku."
Segera ia menoleh pada Aldo. Mengatakan ada hal yang harus ia lakukan dan ini mendesak. Hingga ia harus pamit pergi sekarang. Jika ada kepentingan bisa menghubunginya nanti.
Tanpa sempat menjawab, Felix sudah pergi lebih dahulu meninggalkan Aldo yang masih kebingungan.
Felix dengan cepat turun, berlari ke arah pinggir jalan raya, kemudian menghentikan sebuah taksi yang kebetulan lewat.
Satu-satunya hal yang ia pikirkan adalah kenapa gadis itu bisa ada di sana. Dan sepertinya keduanya sudah bertemu. Apa yang mereka katakan, ia tak menduga mereka bisa bertemu.
***
Faiz memasang wajah datar, saudaranya tak bisa dihubungi. Meski sudah ia coba berkali-kali. Satu hal lagi ia tak bisa menghubungi siapapun untuk ditanyai tentang keberadaannya. Saudaranya itu sedikit anti sosial, dan tentunya ia tahu kenapa seperti itu.
"Kenapa dia tak mengangkatnya," gumamnya mondar-mandir.
seseorang mengetuk pintunya. Ia mengeryit ketika sadar sedang tak ada pertemuan dengan siapapun, jika itu teman kerjanya biasanya mereka akan langsung memanggilnya bukan hanya ketukan kosong seperti itu.
Padahal ia tak ingin bertemu dengan siapapun sekarang.
Mau tak mau pintu segera dibukanya, ia disambut dengan sesosok pria mengenakan masker muncul di depan pintunya.
"Felix?" gumamnya tak percaya.