Kamu jangan senang dulu Zain. Pernikahan kita nggak akan pernah terjadi.
Aku masih punya waktu banyak untuk membongkar segala sesuatu yang kalian semua tutupi dariku. Karena aku sangat yakin kalau Papa nggak akan menikahkanku disaat masih SMA.
Setelah berbincang-bincang cukup lama, akhirnya Papa pamit untuk segera pulang. Papa mengantarku kerumah Nenek terlebih dahulu.
"Papa pulang ya, Amaira." Pamit Papa.
Aku hanya mengangguk tanpa bersuara.
Papa mulai menjalankan mobilnya keluar dari halaman rumah Nenek.
Apa aku harus cerita sama Nenek tentang perjodohan ini? Sebenarnya aku ingin sekali menceritakan pada Nenek beban hidup yang aku jalani. Tapi aku takut kalau Nenek juga ikut terlibat didalamnya.
"Nenek." Panggilku pelan saat melihat Nenek dari dalam rumah menuju kearahku.
"Kamu kenapa nggak masuk? Kok malah berdiri disini?" Tanya Nenek sambil mengelus rambutku. Nenek pasti tau apa yang aku rasain sekarang.
"Ayo duduk dulu." Pinta Nenek sambil menuntunku duduk diteras rumah. "Ceritalah kalau kamu ingin cerita sama Nenek." Ucap Nenek pelan.
Aku hanya menggeleng.
"Nenek tau apa yang kamu rasakan." Ucap Nenek mengusap pelan tanganku, seolah memberi semangat.
"Papa menjodohkan Amaira dengan Zain, Nek." Ucapku pelan. Tak terasa air mata jatuh membasahi pipi.
Nenek mengelus pelan pipiku yang sedikit basah karena air mata yang tak bisa kubendung.
"Nenek sudah menduga." Ucap Nenek dengan mengalihkan pandangan kearah jalan.
"Apa Nenek tau sesuatu?" Tanyaku sambil menghapus air mataku agar tak semakin banyak yang berjatuhan.
Nenek mengangguk.
"Sebenarnya kalian itu sudah dijodohkan sejak kalian masih kecil. Zain sangat mengharapkanmu, dari kecil sampai kalian sudah pada dewasa Zain hanya menginginkanmu. Setiap saat Papa Zain meminta fotomu pada Amran karena suruhan Zain. Zain sangat berharap jika dia bisa miliki kamu, Amaira. Waktu itu Nenek pernah menolak rencana Papa kamu, tapi Papa kamu malah marah besar hingga pindah ke kota dan meninggalkan Nenek didesa sendirian." Jelas Nenek panjanv lebar.
"Kalau Papa marah sama Nenek, kenapa sekarang Papa malah menitipkan Amaira pada Nenek?" Tanyaku.
"Karena sebenarnya perpindahan kamu kesini itu adalah rencana Papa kamu dari jauh-jauh hari. Tapi semuanya gagal. Karena kamu lebih dulu mencintai Arkan sebelum kamu mengenal Zain." Jawab Nenek menjelaskan.
"Terus sekarang Amaira harus gimana, Nek? Nenek tau sendiri kan kalau Amaira hanya mencintai Arkan. Amaira ngga mau menikah dengan Zain, Nek." Aku ingin tau apa jawaban dari Nenek.
"Kamu tenang aja dulu, lagian kan sekolahmu juga masih lama. Masih ada waktu yang cukup untuk berfikir." Ucap Nenek menenangkan.
Ternyata Nenek juga nggak setuju jika Papa menjodohkanku dengan Zain. Ship lah, aku bisa minta bantuan Nenek suatu saat jika aku membutuhkan bantuan.
Kulihat Arkan keluar dari kos dan bersiap untuk pergi.
"Nek, Arkan mau kemana ya?" Tanyaku pada Nenek yang hanya mendapat jawaban sebuah gelengan kepala.
"Nenek lihat sendiri kan sikap Arkan pada Amaira sekarang."
Air mata ini kembali jatuh jika mengingat Arkan.
Aku pamit pada Nenek untuk iatirahat dikamar.
Kulihat pintu kamar Dini sesikit terbuka saat aku hendak memasuki kamarku, akhirnya kuurungkan. Aku malah memasuki kamar Dini.
Astagaaaa. Berantakan banget.
Kamarnya juga kosong. Kemana Dini?
Terdengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi.
Tak berselang lama pintu kamar mandi pun terbuka, dan menampilkan Dini yang baru selsai mandi.
"Amaira." Ucap Dini kaget dengan kedatanganku. "Udah kayak hantu aja lo, Ra." Lanjutnya.
"Hehe." Hanya kutanggapi dengan ketawa.
"Lo masih punya hutang sama gue ya, Ra." Ucap Dini yang membuatku bingung.
"Heh? Hutang apaan? Asal lo tau ya, duwit gue sendiri tuh banyak. Ngapai juga gue pakek hutang-hutang lo segala." Ucapku marah karena merasa gak ada hutang sama Dini. Enak aja Dini ngomongnya. Amaira punya hutang? Enggak banget deh.
"Astaga, Amaira. Bukan hutang duwit, tapi hutang janji. Waktu dirumahsakit lo udah janji bakal cerita semuanya sama gue. Jangan pura-pura lupa deh, lo." Ucap Dini sambil melempar bantal kearahku.
"Iya, iya, nanti gue cerita. Sekarang gue mau mandi dulu. Bye." Ucapku sambil lari menuju kamarku. Masih sedikit kudengar Dini mengoceh nggak jelas. Biairin ajalah, bomat. Haha
Setelah mandi aku nggak langsung keluar kamar. Biarin aja Dini menunggu. Hihi.
Aku duduk disebelah ranjang dekat jendela, menatap lurus ketempat Arkan. Rasanya kangen banget sama Arkan.
Kira-kira Arkan sekarang lagi ngapain ya?
"Amaira, makan dulu, Sayang." Kudengar suara Nenek dari luar.
"Amaira tadi sudah makan sama Papa, Nek." Kusahuti suara Nenek dari dalam.
Rasanya malas buka pintu kamar, malas keluar kamar.
Sudah kebiasaan kalau bete pasti mengurung diri dalam kamar. Mungkin ada baiknya aku cerita sama Dini.
(Din, kalau sudah selesai makan lo kekamar gue ya) pesan kukirimkan pada Dini.
(Ok) balas Dini.
Tok tok tok
Itu pasti Dini, cepat banget nih anak makannya, nggak pakek dikunyah kali ya.
Kubuka pintu kamarku, setelah Dini masuk aku kunci kembali.
"Sebenarnya lo ada masalah apa sih, Ra?" Tanya Dini mengawali pembicaraan.
"Gue punya masalah besar, Din." Jawabku dengan sedih.
"Kenapa lo nggak pernah cerita sama gue?" Tanya Dini lagi.
"Kalau gue cerita sama lo nggak bakal selesai 7 hari 7 malam." Jawabku yang membuat Dini menonyor kepalaku pelan.
"Nggak usah lebay deh lo."
"Jadi gini, Din. Sebenarnya...." aku sengaja menggantung ucapanku hingga sebuah bantal melayang kearah mukaku.
"Lo diem napa." Bentakku pada Dini.
"Gue gemes banget sama lo, Ra." Ucap Dini dengan menggerutukkan giginya, seperti ingin mengunyahku. Hihi.
"Gini, Din. Sebenarnya gue dijodohin sama Papa. Dan lo tau nggak siawa cowok yang bakal dijodohin sama gue? Zain, Din. Dia Zainal, cowok yang selalu gangguin gue sama Arkan." Ucapku sambil memukul-mukul bantal yang tadi dilempar Dini kearahku.
"Kok bisa, Ra?" Tanya Dini semakin penasaran.
"Zain itu ternyata...
Sengaja kugantungkan ucaanku agar Dini semakin penasaran.
"Ternyata apa sih, Ra. Lo nggak jelas banget deh." Dini berkata sambil melempar bantal kearahku.
banget deh." Dini berkata sambil melempar bantal kearahku.
"Zain itu ternyata anak dari teman Papa, Din. Papa sengaja memindahkan gue kesini agar gue bisa bertemu Zain. Tapi rencana yang Papa buat gagal, karena gue lebih dulu jatuh cinta sama Arkan sebelum gue ketemu sama Zain." Jelasku panjang lebar.
"Arkan gimana, Ra?"
"Entahlah, Din. Saat ini gue masih belum tau alasan Arkan menjauhi gue. Tapi gue yakin, ini semua ada hubungannya sama Zain."
"Lo yakin, Ra?"
"Gue yakin banget, Din. Pasti Zain telah mengancam Arkan agar nggak nemuin gue lagi. Gue nggak akn tinggal diam, Din. Gue bakal nyari tau semuanya tentang Arkan, Zain, Papa, dan tengtang gue."
"Arkan? Ada apa dengan Arkan? Dan lo juga, cari tau tentang lo maksudnya apaan sih, Ra. Gue gak ngerti deh."
Memang susah menjelaskan apa yang sedang terjadi saat ini.