Semangat Amaira.. semangat..
Waktu masih sangat banyak.
Aku yakin suatu saat nanti jika semuanya sudah terbongkar, hubunganku dengan Arkan akan kembali membaik. Aku harus membuang kerikil-kerikil kecil yang berserakan agar jalan kembali mulus. Itu hanya sebuah perumpamaan.
Zainal.. biasa dipanggil Zain.
Temanku masa kecil, tapi aku sama sekali nggak ingat. Mungkin aku bisa mengorek informasi dari sana. Dari masa kecilku bersama Zain. Agar dia nggak terlalu curiga.
Saat aku ingin menutup mataku untuk tidur tiba-tiba aku tak sengaja melihat Arkan didepan kosnya. Aku hanya bisa melihatnya dari sini, aku hanya bisa memperhatikannya secara diam-diam.
Aku nggak percaya dengan ucapan Arkan yang tadi aku dengar.
Aku yakin jika ada sesuatu hal yang membuat Arkan menjauhiku.
Apa aku harus menyewa detektif untuk memata-matai Arkan? Oh, no. Aku bisa mengatasi semuanya sendiri. Akulah detektif yang sesungguhnya. Jangan panggil aku Amaira jika aku nggak bisa memecahkan teka-teki ini.
Target pertama adalah Zainal, untuk target kedua dan seterusnya akan aku fikirkan nanti jika teka-teki tentang Zain sudah terpecahkan.
Yang masuk dalam daftar targetku adalah Zainal, Papa dan Arkan. Untuk Nenek dan Mama, aku yakin mereka berdua hanya menutupi suatu rahasia tentang salah satu dari nama yang tertera dalam daftar targetku.
******
Seperti janjiku kemarin, setelah aku sembuh aku akan menelfon Papa untuk bilang kalau aku sudah keluar dari rumah sakit.
Aku akan mengikuti permainan Papa terlebih dahulu.
Papa kemarin bilang akan mengajakku bertemu Om Ramlan, Papa Zain.
"Pa, Amaira sudah keluar dari rumah sakit. Katanya Papa kemarin bilang ada hal penting yang bersangkutan dengan Amaira, hal penting apa, Pa?" Tanyaku pada Papa saat telefon sudah tersambung.
"Yaudah, Papa kesana sekarang. Nanti aja kalau Papa sudah sampai bakal ceritain semuanya sama kamu." Ucap Papa sambil mematikan sambungan telefon.
Kebiasaan memang. Tanya kabar dulu kek, atau apa gitu. Asal main matiin aja.
Aku menunggu Papa disofa ruang tamu sambil bermain handpone.
Nenek datang menghampiri dan ikut duduk disebelahku.
"Tumben keluar kamar?" Tanya Nenek heran.
"Nungguin Papa disini, Nek." Jawabku tanpa mengalihkan panjangan dari layar handpone.
"Papa kamu kesini lagi?" Nenek bertanya lagi yang hanya kuangguki dengan kepala.
Tiba-tiba aku ingat kalau kemaren Papa pernah bilang mau mengajakku kerumah Om Ramlan karena ada hal yang menyangkut tentang aku dan juga Zain.
"Nenek, katanya Papa nanti mau mengajak Amaira kerumah Zain. Papa bilang ada hal penting yang ingin Papa bicarakan tentang Amaira dan Zain. Nenek tau nggak hal penting apa yang dimaksud Papa?" Tanyaku pada Nenek sambil memangdang wajah Nenek dengan lekat.
Nenek seperti sedang memikirkan sesuatu, pandangannya menerawang jauh lurus kedepan.
"Nenek sedang memikirkan apa?" Tanyaku yang membuat Nenek tersada dari lamunannya.
"Ahh.. eng.. enggak. Nenek nggak mikirin apa-apa kok." Jawab Nenek gugup.
Tak berselang lama Papa pun sampai didepan rumah Nenek.
"Amaira, ayo berangkat." Ucap Papa.
Baru juga sampai, Papa nggak capek apa.
"Kalian mau kemana?" Tanya Nenek.
"Kan tadi Amaira sudah kasih tau Nenek." Jawabku yang membuat Papa mengerutkan keningnya.
"Kamu ngomong apa sama Nenek?" Tanya Papa.
"Amaira bilang katanya kamu mau ngajak dia kerumah Ramlan, mau ngapain kamu ngajak Amaira kesana?" Tanya Nenek pada Papa.
"Bukan urusan Ibu. Ayo amaira kita berangkat." Jawab Papa sambil menyeret tanganku untuk keluar dari rumah Nenek.
"Ingat ya Amran, sampai kapanpun Ibu nggak pernah setuju tentang hal itu." Teriak Nenek yang masih bisa kudengar.
Apa maksud ucapan Nenek tadi? Nenek nggak setuju soal apa?
Aku hanya diam tanpa berkata saat didalam mobil. Papa pun hanya fokus mengemudi.
Akhirnya kita sampai didepan rumah yang kemarin sempat aku kagumi, rumah berhalaman luas dan sangat enak dipandang.
Tapi, saat ingat siapa penghuni rumah ini aku jadi ingin segera pulang. Rasanya malas lama-lama disini.
"Ayo Amaira." Ucap Papa sambil melangkah mendahuluiku. Aku mengikuti dibelakangnya.
"Selamat datang Pak Amran." Ucap seorang laki-laki yang kuyakini itu adalah orang yang bernama Ramlan, Papa Zain.
"Ternyata sudah ditunggu disini, haha." Ucap Papa sambil tertawa terbahak.
Apanya yang lucu sih.
"Ini Amaira?" Tanya Pak Ramlan sambil memandangku.
"Iya, ini Amaira." Jawab Papa sambil mengelus pelan pundakku.
"Tunggu sebentar ya, Zain sedang keluar sebentar." Ucap Pak Ramlan.
"Oke-oke, santai aja." Ucap Papa sambil sesekali tertawa.
Aku merasa jadi orang asing disini.
Buat apa coba pakek ngajak aku segala kalo ujung-ujungnya hanya dijadikan obat nyamuk disini.
Terdengar suara deru mesin mobil didepan halaman rumah, mungkin itu Zain baru pulang.
"Papa." Panggil Zain saat baru pulang.
"Eh, Zain. Sini, ini Om Amran dan Amaira sudah datang." Ucap Pak Ramlan.
Zain duduk disebelah Papanya.
"Mama mana, Pa? Kok nggak ikut gabung?" Tanya Zain pada Papanya.
"Biasa lah, Mama kamu lagi arisan." Jawab Papa Zain.
"Jadi gimana sekarang?" Tanya Papa pada Om Ramlan.
"Ehmmm, Amaira sudah tau soal hal ini?" Tanya Om Ramlan.
"Belum, yaudah kita kasih tau aja sekarang. Mumpung lagi kumpul disini kan." Ucap Papa sambil memandangku.
"Kenapa kamu nggak coba bilang sama Amaira lebih dulu? Nanti kalau dia menolak gimana?" Tanya Om Ramlan.
Aku jadi semakin bingung sendiri, apa yang sedang mereka rencanakan? Bilang apa? Dan menolak apa?
Aku jadi semakin bingung sendiri, apa yang sedang mereka rencanakan? Bilang apa? Dan menolak apa?
"Emmm, maaf nih ya, Papa, Om Ramlan, dan Zain. Sebenarnya saya diajak kesini untuk apa ya? Apa ada hal yang penting?" Tanyaku sambil melihat mereka satu persatu.
"Kamu ya sangat penting lah, Amaira. Kan kamu pemeran utamanya." Ucap On Ramlah yang membuatku mengerutkan dahiku.
Memangnya mereka mau ngajak aku syuting?
"Mau bikin film ya Om?" Tanyaku polos.
"Iya, film tentang sebuah pernikahan." Ucap Om Ramlan sambil menahan tawa.
"Pernikahan siapa, Om?" Tanyaku lagi, aku semakin kepo dibuatnya.
"Pernikahan kamu dengan Zain." Ucap Papa dan Om Ramlan bersamaan.
"Apa? Maksudnya apa, Pa?" Tanyaku pada Papa.
"Papa dan Om Ramlan ingin menjodohkan kamu dengan Zain." Ucap Papa kalem.
"Amaira kan masih sekolah, Pa. Lagian kenapa buru-buru banget sih?" Tanyaku lagi.
Aku ingin marah, tapi jika aku marah rencana yang udah aku susun bakal berantakan. Aku akan pura-pura menerima perjodohan ini.
"Bukan buru-buru, Sayang. Kami merencanakan hal ini sudah sangat lama saat kalian masih kecil." Jawab Papa. "Kamu setuju kan, Amaira?" Papa menatapku seolah mencari jawaban.
Aku mengangguk pelan, membuat semua orang senang termasuk Zain. Kamu jangan senang dulu Zain. Pernikahan kita nggak akan pernah terjadi.