Arkan hanya menoleh sekilas tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.
Setelah selesai mengelap motornya Arkan masuk kedalam kosnya, mungkin menggambil tas yang biasa dia bawa saat mengajar.
Benar dugaanku kalau Arkan menggambil tasnya. Tapi setelah itu menaiki motornya dan menghidupkan mesin motornya bersiap untuk jalan.
Reflek kucekal lengannya.
"Arkan, kamu kenapa?" Tanyaku.
Arkan melepaskan cekalan tanganku sambil berkata "maaf, aku sudah terlambat."
Arkan pergi begitu saja.
Kulangkahkan kakiku masuk kedalam rumah dengan gontai.
Apa salahku? Kenapa Arkan berubah secepat itu? Ada apa dengannya?
Kubaringkan tubuhku diatas kasur sambil menghadap kejendela untuk melihat kos Arkan. Seketika aku ingat waktu pertama kali bertemu dengan Arkan diruang tamu rumah Nenek. Bahagianya saat itu.
Tapi kenapa kebahagiaan itu hanya bersifat semu?
Jika memang aku dan Arkan tak ditakdirkan untuk berjodoh, kenapa kita ditakdirkan untuk bertemu? Jika memang aku dan Arkan ditakdirkan untuk berjodoh, kenapa rintangan yang aku lalui bersama Arkan begitu sulit?
Jika aku boleh memilih, aku lebih memilih tak mengenalmu, Arkan. Daripada aku harus mengenalmu terus mencintaimu hingga pada akhirnya harus melupakanmu.
Tanpa sadar ternyata aku tertidur cukup lama, hingga saat kulihat jam dihandpone sudah menunjukkan pukul 3 sore.
Aku ketiduran lama amat astaga, dari pagi sampai sore.
Kulihat kembali keluar jendela untuk melihat Arkan. Belum ada tanda-tanda Arkan pulang. Pintunya pun masih tertutup rapat.
Kemana kamu Arkan?
Tok tok tok
Suara pintu kamarku diketuk.
Segera kumembuka pintu kamar untuk melihat siapa yang ngetuk. Dan ternyata Nenek. Pasti mau nyusur makan. Rasa aku sama sekali nggak berselera makan jika Arkan sedang marah padaku. Padahal aku pun tak tau apa yanv membuat Arkan marah.
"Ada apa, Nek?" Tanyaku saat pintu sudah kubuka.
"Kamu ini kebiasaan banget sih kalau tidur kayak kebo. Bolak-balik Nenek mengetuk pintu kamarmu nggak ada sahutan juga. Nggak dengar apa?" Ucap Nenek dengan suara keras. Dikira aku budek apa?
"Kalau Amaira dengar juga dari tadi pasti sudah bangun lah, Nek." Ucapku tak kalah keras.
"Pelan-pelan aja ngomongnya. Telinga Nenek masih normal." Ucap Nenek sambil menonyor kepalaku. Lah kan akh cuma ngikutin suara Nenek aja, kok jadi aku yang salah. Nenek-Nenek memang selalu benar, yang selalu salah itu laki-laki. Oopss hihi.
"Nek, Arkan nggak nyari Amaira sama sekali?" Tanyaku pada Nenek.
"Enggak. Arkan juga belum pulang dari tadi pagi." Jawab Nenek.
"Kalau Dini? Sudah pulang?" Tanyaku lagi.
"Udah pulang dari tadi siang. Habis makan langsung kembali kekamarnya. Heran banget deh sama anak gadis jaman sekarang, suka banget mengurung diri didalam kamar. Memang dikamar ada apanya sih? Lebih baik nonton sinetron uang lagi booming, berasa jadi pemeran utamanya nih Nenek." Ucap Nenek panjang lebar. Antusian banget kalau disuruh ngomongin sinetron satu itu. Mungkin berasa jadi muda lagi kali Nenek.
"Ingat umur, Nek." Ucapku sambil nyelonong keluar kamar menuju kekamar Dini.
"Diniiii.. buka pintunya." Teriakku didepan pintu kamar Dini.
"Ada apa, Ra?" Tanya Dini dengan lemas. Kayak baru bangun tidur juga nih anak.
"Lo baru bangun tidur?" Tanyaku pada Dini.
"Iya, Ra. Habis makan siang tadi gue langaung tidur." Jawab Dini sambil sesekali menguap.
"Gue mau tanya sesuatu sama lo, Din." Ucapku yang membuat Dini mengerutkan keningnya.
"Tanya apa? ngobrol didalam aja, Ra. Nggak enak ngobrol sambil berdiri, capek tau." Ucap Dini sambil berjalan kedalam kamar.
"Tadi Arkan ngajar nggak, Din?" Tanyaku yang hanya diangguki oleh Dini. "Kira-kira sekarang dia kemana ya, Din?" Lanjutku. Dini hanya mengendikkan kedua bahunya.
"Oh, iya, Ra. Lo tau nggak tadi disekolah, wajah Arkan sama Zain sama-sama bonyoknya loh. Gue curiga kalau Arkan itu habis berantem sama Zain." Ucap Dini yang membuatku melototkan mata tak percaya.
"Tapi untuk apa mereka berantem?" Tanyaku lagi. Barangkali Dini dengar sesuatu saat disekolah.
"Kayaknya ngerebutin lo deh, Ra." Jawab Dini sambil memanikan handponnya.
"Terus kenapa Arkan seolah ngejauhi gue, Din?" Tanyaku lagi pada Dini.
"Mungkin karena Arkan diancam sama Zain." Jawab Dini antusias.
Masa iya Arkan diancam Zain? Terus kenapa Arkan menuruti ancaman Zain? kalau memang Arkan takut sama Zain, nggak bakalan Arkan sampai berantem. Tapi nggak mungkin sih kalau Arkan takut sama Zain, karena waktu diHutan itu Arkan kan pernah ngusir Zain saat Zain mencoba mendekatiku. Eeh ehh tapi, bisa aja sih Arkan takut sama Zain, kan setiap Zain mendekatiku, Arkan nggak berani mendekat.
Ahhh entahlah. Pusing kepala incesss.
Arkan.... aku kangen.
Kangen senyumanmu, kangen perhatianmu, kangen kasih sayangmu, kangen semuanya tentangmu.
Terdengar suara mesin motor dari luar.
"Ra, itu Arkan." Ucap Dini sambil menunjuk kearah jendela.
Arkan baru pulang dan masih memakai seragam guru? Dari mana saja dia?
Aku segera berlari keluar menuju kos Arkan. Tak peduli dengan diriku yang belum mandi, tak peduli dengan mukaku yang mungkin masih bau jigong.
Yang terperting saat ini adalah Arkan. Aku harus tanya kenapa Arkan berubah? Kenapa Arkan seolah sengaja menjauhiku?
Setelah sampai didepan kos Arkan aku segera masuk tanpa permisi.
"Amaira, ngapain kamu disini?" Tanya Arkan kaget melihatku tiba-tiba berada didalam kosnya.
Aku memang gadis yang nekat demi mencapai suatu tujuan.
"Aku kesini ingin meminta penjelasan darimu, Arkan. Kenapa kamu sengaja menjauhiku?" Tanyaku dengan mata berkaca-kaca.
"Sudahlah, Amaira. Kamu nggak usah drama pakek nangis-nangis segala. Kan kita memang nggak ada hubungan apapun. Apa ada yang salah jika aku menjauhimu." Ucap Arkan tanpa rasa bersalah.
"Kenapa kamu berubah seperti ini, Arkan?"
"Kamu kemarin bertanya tentang siapa aku sebenarnya kan? Kamu ingin tau semua tentangku kan? Inilah aku yang sebenarnya, Amaira."
"Enggak, nggak. Kamu bukan Arkan yang aku kenal. Aku benci kamu, Arkan. Aku benci kamu."
Setelah mengatakan hal itu aku segera berlari menuju rumah. Aku sangat berharap Arkan akan mengejarku seperti sebelum-sebelumnya.
Tapi nihil, Arkan sama sekali nggak peduli. Setelah kepergianku Arkan buru-buru menutup pintu kosnya.
Aku terduduk lemas dipojok kamar.
"Apa salahku Tuhan, kenapa Engkau mempertemukanku dengan Arkan, kenapa Engkau membuatku jatuh cinta sama Arkan, tapi akhirnya Engkau memisahkanku dengan Arkan. Kenapa Tuhan kenapa?"
Oh, iya. Aku ingat. Aku masih punya misi untuk mendekati Zain agar aku tau apa rahasia-rahasia yang tak ku ketahui.
Dengan begini aku bisa lebih leluasa mendekati Zain tanpa peduli perasaan Arkan.
Arkan aja sama sekali nggak peduli denganku.
Aku harus kuat menahan gejolak cinta pada Arkan sebelum mencapai sebuah tujuanku. Pasti butuh waktu yang sangat lama untuk mengetahui semuanya.
Semangat Amaira.. semangat..
Waktu masih sangat banyak.