Sebenarnya apa yang disembunyikan sama Nenek.
"Ada apa dengan Zain, Nek? Dan siapa Zain sebenarnya? Kenapa dia bisa tau semua tentang Amaira dan juga Arkan?" Tanyaku memberondong pertanyaan pada Nenek. Kulihat exspresi wajah Nenek jadi berubah. Ada apa dengan Nenek.
"Zain itu anak teman Papa kamu, Amaira. Dia teman kamu semasa kecil, mungkin kamu juga sudah lupa. Dulu, waktu itu kamu mungkin masih berumur 3 tahun. Jadi kamu nggak akan pernah ingat siapa itu Zain. Dan untuk soal Arkan, Nenek sama sekali nggak tau menahu kenapa Zain tau tentang Arkan. Nenek aja nggak tau. Padahal Arkan tinggal sama Nenek juga sudah bertahun-tahun, kurang lebih 4-5 tahun." Jelas Nenek panjang lebar. Tapi aku masih merasa Nenek masih menyembunyikan sesuatu dariku.
Kulihat Dini hanya bengong mendengar obrolanku sama Nenek. Mungkin dia bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Jangankan Dini, aku sendiri aja bingung, aku sangat bingung dengan keadaan ini.
"Nenek keluar sebentar ya? Biar Dini yang jagain kamu disini. Nenek akan kembali lagi nanti." Pamit Nenek padaku yang hanya kutanggapi sebuah anggukan.
Aku merasa Nenek sengaja menghindari pertanyaanku.
Sepergian Nenek, Dini mulai bertanya.
"Sebenarnya apa sih yang tadi lo obrolin sama Nenek? Gue nggak ngerti deh, Ra." Tanya Dini sambil menatapku dengan expresi bingung.
"Semua yang terjadi, semua yang aku alami, itu semua gara-gara Zain." Jawabku sambil menatap lurus kedepan. Aku menyimpan kebencian yang amat besar terhadap Zain.
Aku benci, aku sangat benci sama Zain.
"Aku semakin bingung deh, Ra. Kenapa semua gara-gara Pak Zain? Emang dia habis ngapain lo, Ra?" Tanya Dini lagi yang hanya kutanggapi dengan gelengan kepala.
"Udahlah, Din. Nanti aja kalau udah di rumah gue ceritain." Ucapku pada Dini sambil membaringkan tubuhku dibrankar rumahsakit.
"Terserah lo deh ra." Jawab Dini cuek.
Hari sudah berganti malam. Kenapa Arkan belum datang juga, apa Arkan ketiduran hingga dia nggak jadi ke rumahsakit buat nemenin aku. Arkan jahat banget sih kenapa dia ingkar janji.
Arkan jahat.
Nenek menghampiriku, mungkin Nenek tau kalau cucunya ini sedang gelisah.
"Kamu nungguin Arkan ya?" Tanya Nenek dengan senyum.
"Iya, Nek. Nenek dengar sendiri kan Arkan tadi bilang bakal kesini lagi kalau sudah malam, sekarang kan sudah malam, Nek." Jawabku dengan nada manja.
"Mungkin Arkan ketiduran. Besok juga bakalan kesini lagi." Ucap Nenek menenangkan.
"Tapi Amaira maunya sekarang, kalau Arkan nggak jenguk Amaira, Amaira mau pulang aja sekarang, Nek." Pintaku memohon.
"Nggak boleh, badan kamu masih lemas. Nanti kalau pingsan lagi gimana." Ucap Nenek dengan nada tinggi.
"Amaira itu nggakpapa, Nek. Sebenarnya Amaira itu cuma laper aja, makanya pingsan." Jawabku dengan mengedip-ngedipkan sebelah mataku, berharap Nenek akan luluh.
"Sekali nggak ya nggak. Lagian kamu kenapa pakai mengunci diri dalam kamar segala. Hah?" Tanya Nenek marah.
"Itu karena Arkan marah sama Amaira, Nek. Arkan diemin Amaira, itu semua gara-gara Zain. Asal Nenek tau, kemarin Amaira itu sama sekali nggak ada janji apapun sama Zain, Nek. Tapi Nenek main seenaknya aja ngizinin Amaira pergi sama Zain. Kalau waktu itu Amaira diapa-apain Zain gimana? Apa Nenek mau tanggung jawab?" Aku balik marah pada Nenek. Biar Nenek tau kalau Zain itu nggak sebaik dan sepolos yang Nenek kira. Kelihatannya aja imut-imut kayak kucing, tapi sebenarnya kayak macan yang pengen menerkam mangsanya.
"Iya, iya, maafin Nenek. Nenek kan nggak tau. Lain kali Nenek nggak akan ngizinin Zain keluar bareng sama kamu kalau kamu nggak ada janji sebelumnya." Ucap Nenek merasa bersalah.
Aku hanya mengangguk.
"Yaudah, Nek. Amaira mau tidur dulu ya." Ucapku pada Nenek. Nenek mengangguk sambil menyelimutiku.
"Kalau gitu Dini pulang dulu ya, Nek. Soalnya besok sekolah. Ra, gue pulang dulu ya, cepat sembuh lo. Nggak enak banget gue nggak ada teman." Pamit Dini.
"Lo hati-hati ya, Din." Ucapku.
Dini hanya membalas dengan jari tangan membentuk huruf O.
"Nek, nanti kalau Arkan kesini tolong bangunin Amaira ya, Nek." Pintaku pada Nenek.
"Iya. Iya. Udah cepetan tidur. Biar besok udah boleh pulang." Ucap Nenek sambil duduk dikursi sebelahku.
Baru kupejamkan mataku belum sempat untuk tertidur tiba-tiba handponku berbunyi. Menandakan ada pesan masuk.
Segera kubuka pesan tersebut, ternyata dari Dini.
(Ra, Arkan tuh nggak tidur. Noh, dia lagi duduk diteras kosnya). Pesan Dini yang disertai foto Arkan sedang nyantai di teras kos sambil bermain handpone.
Tega banget sih Arkan bohongin aku. Kenapa Arkan begitu tega denganku? Apa yang membuat Arkan membohongiku? Apa yang membuat Arkan mengingkari janjinya padaku?
Aku mencari nomor Arkan dan segera menggeser tombol untuk memanggil.
Tuut tuut tuut
Nggak diangkat, tapi bukan Amaira namanya kalau gampang menyerah.
Lagi-lagi nggak diangkat. Berkali-kali kucoba menghubungi namun sama sekali nggak ada jawaban.
(Kok gue telfon nggak diangkat ya, Din) pesan kukirim pada Dini.
(Sesekali Arkan menaroh handponnya diatas meja, cuma dilirik doang habis itu dipegang lagi. Gitu terus kurang lebih 6-7 kali, Ra) balas Dini.
Berarti waktu aku telfon Arkan sengaja menaroh handponnya diatas meja, dan cuma dilirik doang tanpa berniat untuk mengangkat. Apa karena tadi Arkan dicuekin sama Papa? Jadinya dianyuekin aku. Tapi apa salahku? Kan yang nyuekin Arkan itu Papa bukan aku. Kenapa marahnya sama aku?
(Arkan kenapa jadi gitu ya, Din? Padahal lo dengar sendiri kan kalau dia bakal nemenin gue malam ini?) Balasku pada Dini yang kuberi emoticon nangis.
(Tapi ada yang aneh deh, Ra. Setelah gue perhatiin dari jendela kamar gue, Arkan kayak habis berantem deh. Mukanya bonyok gitu, merah-merah) balas Dini yang membuatku menyerngitkan dahi.
Arkan berantem? Berantem sama siapa? Apa berantemnya Arkan ada hubungannya denganku, makanya dia nggak nepatin janjinya buat menemani aku di rumahsakit.
Sebenarnya ada apa denganmu, Arkan?
Setelah itu aku tak membalas pesan Dini, ingin segera tidur agar hari cepat esok. Aku nggak sabar ingin cepat pulang.
***
Pagi hari aku sudah diperbolehkan pulang. Nenek segera mengemasi barang-barang yang akan dibawa pulang dan membayar administrasi.
Saat sampai rumah aku benar-benar melihat wajah Arkan babak belur. Apa yang terjadi pada, Arkan?
Nenek masuk rumah lebih dulu karena membawa banyak barang-barang yang kemarin aku butuhkan dirumahsakit. Aku melangkahkan kakiku kearah Arkan yang sedang mengelap motornya bersiap untuk berangkat mengajar.
Kenapa Arkan seolah nggak melihatku dari tadi? Aku yakin dia tau kalau aku berada disini.
Kulangkahkan kakiku lebih cepat hingga sampai dihadapan Arkan.
"Arkan." Panggilku pelan.
Arkan hanya menoleh sekilas tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.