"Rindu, bangun!" teriak Ibu Wulan dari arah dapur membangunkan Rindu yang masih tidur di kamarnya.
"Ia Bu," sahut Rindu masih dengan bermalas-malasan terbaring di kasur menggerakkan badanya sambil menguap.
"Kamu itu anak gadis kok bangunnya siang bagaimana nanti kalau sudah jadi istri orang. Apa kata mertuamu nanti melihat kamu yang ogah-ogahan," teriak Ibu Wulan mengomel sambil memotong sayuran untuk dimasak pagi ini.
"Cerewet ah Ibu nih kalau aku nikah nanti ya aku rubah enggak bangun siang lagi," gerutu Rindu dengan rasa yang masih mengantuk mulai turun dari kasur berjalan kearah kamar mandi. Kebetulan kamar mandi tepat di sebelah dapur tempat Ibu Wulan memasak.
"Apa hari ini kamu tidak kuliah cepat mandi?" kata Ibu Wulan yang melihat Rindu berjalan gontai kearah kamar mandi.
"Ia ibu," sahut Rindu mengambil handuknya yang berada di sampiran pas di belakang ibunya lalu menuju kamar mandi.
"Kalau mandi jangan lama-lama kayak putri keraton saja. Itu sudah ada Nak Rudi di depan menjemputmu," kata Ibu Wulan.
Dalam hati Rindu terkejut kenapa Rudi menjemputnya pagi-pagi tidak biasanya, "Loh Bu, kenapa Mas Rudi kesini. Dia kan tidak ada kelas hari ini?," kata Rindu.
"Kemarin Bapakmu yang meminta tolong. Kalian kan kuliah di kampus yang sama, apa lagi kemarin kamu digodain anak berandal yang suka nongkrong di depan pertigaan ujung desa jadi bapakmu khawatir. Terus mintak tolong Nak Rudi supaya kamu ada yang jagain," ujar Ibu Wulan
"Kan jadi merepotkan Mas Rudi Bu," teriak Rindu dari dalam kamar mandi.
Byur, Byur, Byur,
Terdengar suara Rindu tengah mengguyurkan air dari gayung yang terbentuk dari batok kelapa.
"Sudahlah kamu nurut saja sekali-kali kenapa sih, ini semua demi kebaikanmu juga. Nanti kalau kamu diapa-apain para berandal itu gimana? kalau ada Nak Rudi kan bapak dan ibu jadi tidak khawatir. Lagian kamu kan jadi tidak menggoes sepeda lagi bareng Nak Rudi dibonceng naik motor," teriak Ibu Wulan yang mulai menumis sayuran yang ia potong.
"Ibu ini jadi merepotkan anak orang kan," kata Rindu keluar kamar kecil dengan masih memakai handuk yang dipakai menutupi badanya dibuat kemben lalu bergegas menuju kamarnya kembali.
"Punya anak gadis satu cerewet amat. Yang satunya lagi adiknya apa lagi haduh pusing," kata Ibu Wulan menepuk jidat.
Diluar rumah Rudi tengah menunggu Rindu di teras sedang duduk di atas kursi panjang dari kayu sambil menikmati kopi yang dibuatkan Ibu Wulan beberapa saat yang lalu.
Sedangkan Pak Ahmadi tengah menjemur gabah atau padi hasil panen sawahnya yang tak seberapa luas tapi cukup untuk makan sekeluarga.
Nampak Pak Ahmadi sedang mengurai padi diatas terpal di pekarangan depan pas di depan Bagus yang tengah duduk.
Terdengar sayup-sayup Pak Ahmadi riang menyanyikan syair Jawa kuno peninggalan para sunan atau wali songo dengan wajah nampak semringah, karena pagi yang begitu cerah dan mulai panas.
"Turi putih Turi putih
Ditandur Ning Kebon Agung
Ono Cleret Tibo Nyemplong
Tibo Nyemplong
Mbok Iro Kembange Opo
Mbok Iro Kembange Opo,"
"Lagu apa Pak itu kok saya belum pernah dengar?" kata Rudi memperhatikan Pak Ahmadi mengurai padi di atas terpal.
"Loh Nak Rudi belum pernah dengar syair-syair Jawa kuno toh," kata Pak Ahmadi masih dengan memegang sorok dan masih mengurai-urai padi yang ia jemur.
"Belum Pak, lagu apa itu Pak?" kata Rudi tak mengerti.
"Oalah anak jaman sekarang memang tidak mengenal lagi syair peninggalan para wali songo ya," kata Pak Ahmadi.
"Ceritakan Pak tolong beritahu saya syair itu bercerita tentang apa dan siapa penciptanya. Agar saya sebagai anak muda zaman sekarang tidak melupakan para pendahulu," jawab Rudi tersenyum hormat.
"Oh iya, iya sebentar Bapak mau menyeruput kopi dulu," kata Pak Ahmadi ikut duduk disamping Rudi mengambil segelas kopi yang terletak di atas meja depan mereka lalu meneguknya.
"Syair Turi Putih adalah syair Jawa kuno Nak Rudi peninggalan Kanjeng Sunan Giri dan Kanjeng Sunan Ampel. Dimana syair ini berisi tentang petuah bijak akan kematian," kata Pak Ahmadi.
"Loh kok bisa tentang kematian pak, apa hubungannya bunga turi putih sama kematian?" tanya Rudi nampak penasaran.
"Begini Nak Rudi Turi Putih disini diartikan Turi berarti tak aturi yang berarti dalam bahasa Indonesia sini aku beri tahu. Putih yang berarti kain putih ya kain kafan untuk orang meninggal," kata Pak Ahmadi menjelaskan.
"Terus-terus pak," kata Rudi semakin berminat menyimak dengan rasa penuh keingintahuan.
"Di tandur ning Kebon agung artinya ditanam di kebun besar ya pemakaman itu Nak Rudi," kata Pak Ahmadi.
"Maksudnya gimana Pak?," kata Rudi tak begitu mengerti.
"Maksudnya kuburan atau pemakaman disini di umpamakan seperti kebun tanamannya ya si mayat itu. Bagaimana tidak dalam ayat Alquran kan sudah di jelaskan saat kiamat nanti di Padang Maksar semua yang mati akan di hidupkan lagi layaknya tumbuhan yang baru bertunas," kata Pak Ahmadi.
"Oh iya, ya Pak," kata Rudi mengangguk tanda setuju.
"Lalu Pak, lalu apa lagi arti selanjutnya?" tanya Rudi semakin antusias mendengarkan petuah dari arti Turi Putih.
"Ono cleret tibo nyemplong yang artinya ada kilat jatuh nyemplong atau dalam bahasa Indonesia begini. Hidup ini sementara seperti datangnya kilat cepat sekali tahu-tahu sudah jatuh di liang kubur begitu Nak Rudi," kata Pak Ahmadi menuturkan pada Rudi.
Sementara Rindu masih di dapur tengah menikmati sarapan sepiring nasi dan telur ceplok kesukaannya.
"Rindu Nak Rudi itu ganteng ya," celetuk Ibu Wulan sambil mengulek sambal di atas cobek atau layah kecil tempat membuat sambal dengan cara tradisional.
"Uhuk... Uhuk...," suara Rindu tersedak mendengar perkataan Ibunya.
"Pelan-pelan sayang jangan buru-buru makanya ini minum dulu," kata Ibu Wulan menyodorkan air putih satu gelas pada Rindu lantas Rindu meminumnya.
"Apa tidak sebaiknya kamu pacari saja itu Nak Rudi," kata Ibu Wulan sambil menyenggol-nyenggol bahu Rindu dan mengedip-ngedipkan mata menggodanya.
"Ibu....," teriak Rindu namun mukanya nampak jadi memerah karena malu.
"Halah, kamu pasti juga demen kan, ia kan?" kata Ibu Wulan masih menggoda anak gadisnya itu.
"Tau ah Bu," kata Rindu menyelesaikan sarapan pergi ke tempat cucian piring hendak mencuci piring bekas ia gunakan sarapan.
"Mbak Rindu," kata Sekar yang tiba-tiba ada di depan Rindu.
"Eh kamu Dik jangan ngagetin Mbak gitu ah. Kamu ini udah kayak hantu saja tiba-tiba ada," kata Rindu menaruh piring di rak Piring yang telah ia cuci.
"Kata Bapak Mbak Rindu di suruh buru-buru sudah ditunggu Mas Rudi," kata Sekar.
"Iya, ia," sahut Rindu bergegas pergi ke depan menemui Rudi.
"Mbak Rindu...!," belum beberapa lama Rindu berjalan Sekar memanggilnya lagi.
"Apasih Dek...!" jawab Rindu menoleh.
"Kalau Mbak Rindu tidak mau biar Mas Rudi buat Sekar saja ya hehehe," ucap Sekar tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan telapak tangannya.
"Idih ganjennya Adik Mbak," kata Rindu bergegas kembali pergi ke depan rumah sambil mengambil tas yang ditaruh diatas meja ruang tengah.
"Nah itu Rindunya Nak Rudi," celetuk Pak Ahmadi melihat Rindu keluar dari pintu depan.
"Mas Sudah lama ya, maaf ya Rindu tadi sarapan dulu, Mas Rudi sudah sarapan?," kata Rindu seraya menyalami tangan Rudi.
"Belum lama kok Dik, terimakasih ya Mas sudah sarapan kok," kata Rudi bosa-basi.
"Bohong itu Rindu sudah sejam Nak Rudi disini kamu kelamaan Ndok (sebutan anak perempuan oleh orangtuanya)," kata Pak Ahmadi.
"Tidak apa-apa Pak lagian aku juga lagi tidak ada kelas," sahut Rudi.
"Maaf ya Mas jadi merepotkan Mas Rudi," kata Rindu.
"Tidak apa-apa Dik kita kan teman sedari kecil. Apa lagi Pak Ahmadi teman Bapakku juga," kata Rudi.
"Ya sudah ayo berangkat Mas?" kata Rindu berpamitan pada Pak Ahmadi menyalami tangannya lalu mencium punggung tangan Pak Ahmadi di ikuti Rudi melakukan hal yang sama.
"Pak Rindu berangkat kuliah dulu," kata Rindu berpamitan.
"Ia Ndok, Nak Rudi pelan-pelan bawa motornya?," kata Pak Ahmadi pada Rudi yang sudah berada di atas Motor lalu Rindu naik di belakang membonceng duduk menyamping.
"Tidak pamitan sama Ibu Dik," kata Rudi.
"Bu..., Rindu berangkat..," teriak Rindu.
"Ia hati-hati," terdengar Ibu Wulan menyahut dari dalam dengan berteriak.
"Eh Dik jangan begitu dong tidak baik masak teriak-teriak," kata Rudi.
"Hehehe, lain kali tidak deh, Adik sudah hampir telat Mas ayo berangkat," kata Rindu.
Rudi pun mulai menyalakan motornya lalu roda-roda motor Rudi mulai bergerak maju meninggalkan pelataran depan rumah Rindu menyusuri jalanan utama kampung menuju kampus yang berada di tengah kota Jombang.