Chapter 8 - Diantar Jaka

Koperasi Desa Mojokembang

Beberapa kuli nampak memanggul beras ke atas truk yang terparkir didepan pintu gudang. Seorang lelaki paruh baya berbadan tambun terlihat berdiri di samping bak truk yang telah dibuka pintu belakangnya.

Dengan membawa sebuah buku catatan dan bolpoin hitam ia terus mengomandoi para kuli untuk bergegas memindahkan berkarung-karung beras dari dalam gudang menuju ke dalam bak truk tersebut.

Dialah Pak Kades Sugeng sekaligus kepala gudang koperasi desa Mojokembang kata orang beliau adalah penanam saham paling banyak dikoperasi tersebut.

"Hei, kau Pak Pardi cepat sedikit ini sudah terlalu siang untuk mengirimkan beras ke kota Surabaya. Bagaimana kau ini apa aku harus merugi karena kerjamu yang lambat?," ucap Pak Sugeng sambil bertolak pinggang agak marah.

"Hei Jono apa yang kau lihat kenapa kau mematung saja lekas kerja. Kalau kau tidak mau kerja disini bilang. Biar aku cari pengganti mu nanti, masih banyak yang butuh kerjaan di luar sana," teriak Pak Kades Sugeng memarahi salah satu pegawai.

"Bukankah dia hanya kepala gudang kenapa jadi semena-mena," gerutu salah satu kuli sambil terus memanggul beras kedalam truk.

"Sudah jangan bicara lagi kalau Pak Kades sampai dengar habis lah kita. Mau kasih makan apa anak istri kita kalau kita diberhentikan kerja," ucap salah satu kuli yang lain.

"Hei kalian aku mendengarnya jangan bicara terus mulailah mengangkut beras-beras itu mau kalian aku pecat. Kalian tidak tau apa aku juga salah satu penggagas didirikannya Koperasi ini sehingga desa ini menjadi makmur dan aku pula telah menggelontorkan banyak dana di dalamnya. Memangnya kalian yang bisanya Cuma mengeluh saja," gerutu Kepala desa Sugeng berjalan menuju kantor gudang yang berada di tingkat dua.

"Setiap hari para kuli bikin kesal saja. Lama-lama bisa terkena strok aku di sini," kata Pak Kades Sugeng mengomel tak karuan seraya duduk diatas kursi putar di belakang meja kerjanya.

"Permisi Pak Kades," Pak Kasturi yang baru datang langsung menghadap Pak Kades Sugeng ke dalam kantor.

"Oh Pak Kasturi silahkan, silahkan duduk," ucap Pak Kades Sugeng mempersilahkan duduk Pak Kasturi.

"Mana Rudi bukankah katamu hari ini dia tidak ada kuliah. Katanya mau ikut bekerja di waktu senggang saat tak ada kelas di kampusnya?," tanya Pak Kades Sugeng.

"Rudi sudah bergabung dengan yang lain Pak Kades. Membongkar muatan yang baru datang dari pelabuhan perak di pintu dua," ucap Pak Kasturi.

Terlihat Rudi sudah ikut memanggul beras dalam karung berisi 50 kg yang baru datang dari Pelabuhan Perak di pintu dua.

Gudang Koperasi desa Mojosari memang memiliki empat pintu. Dua pintu di fungsikan untuk keluarnya beras dan dua pintu lagi di fungsikan untuk masuknya berkarung-karung beras yang datang dari Pelabuhan Tanjung Perak maupun dari para penebas padi di desa-desa.

"Ya, ya, aku melihatnya kau memiliki anak yang kuat dan tangguh Pak Kasturi. Aku iri padamu, Rudi itu sudah cerdas mendapatkan biaya siswa selain itu dia juga mau membantu mencari penghasilan di sela-sela kuliahnya. Aku sangat mengagumi pemuda yang gigih dan ulet seperti Rudi andai anakku Agus seperti dia," ucap Pak Kades Sugeng.

"Ada perlu apa Pak Kasturi menghadap ku pagi ini?," tanya Pak Kades Sugeng sambil terus membuka-buka catatan pembukuan di depanya.

"Begini Pak Kades masalah Nak Agus?," ucap Pak Kasturi terbata-bata.

"Ada apa rupanya dengan anakku yang satu itu apa dia berulah lagi di desa?," ujar Pak Kades Sugeng.

"Saya mau meminta maaf karena tadi pagi Rudi sudah memukuli nak Agus sampai babak belur," kata Pak Kasturi agak takut.

"Oh itu yah, yah tadi pagi memang aku sempat bertemu Agus sebelum berangkat kemari. Aku tanya padanya, kenapa kok sampai babak belur, dia menjawab dipukuli Rudi katanya, aku tanya lagi kan kok bisa sampai dipukuli. Katanya dia menggoda anak gadis kampung sebelah temanya Rudi, apa benar itu Pak Kasturi," ucap Pak Kades Sugeng menatap lekat Pak Kasturi.

"Benar itu Pak Kades makanya saya menghadap Bapak untuk meminta maaf atas kesalahan anak saya Rudi," ucap Pak Kasturi tak berani memandang wajah Pak Kades Sugeng yang tengah menatap wajahnya begitu dekat.

"Hahaha, santai saja Pak Kasturi. Aku tidak akan marah apa lagi melarang Rudi untuk ikut bekerja di sini. Agus memang perlu di beri pelajaran, biar Agus itu mengerti tata Krama dan kesopanan," ucap Pak Kades Sugeng.

"Oh ia Pak Kasturi ngomong-ngomong adiknya Rudi yang kuliah di Surabaya sudah gede ya aku lihat kemarin pas dia pulang montok banget. Boleh tuh jadi istri ketiga ku, hahaha...," ucap Pak Kades Sugeng sambil tertawa.

"Dia masih kecil Pak, masih baru awal masuk kuliah," sahut Pak Kasturi.

"Ia, ia saya bercanda, ya sudah sana kembali bekerja," ucap Pak Kades Sugeng.

"Baik Pak," jawab Pak Kasturi seraya berdiri dari duduknya berjalan meninggalkan kantor menuju ke lantai satu untuk bergabung bersama kuli yang lain.

***

Kampus Bina Bangsa

Rindu yang tengah bersiap untuk pulang, karena kelas sudah usai lebih awal dari biasanya. Nampak iya meraih hp yang iya taruh di dalam tas di saku samping sebelah dalam. Terlihat layar hp ia geser ke kanan dan ke kiri mencari nama Rudi di dalamnya.

"Nah ini ketemu telepon dulu Mas Rudi," ucap Rindu sambil tersenyum-senyum sendiri baginya setiap pertemuannya dengan Rudi adalah satu hal terindah di setiap hari-harinya.

Tut... Tut... Tut...

Namun teleponnya tidak terangkat jua oleh Rudi dan hanya berbunyi tutut...," Rindu mulai menampakkan raut wajah kekesalan.

"Coba sekali lagi mungkin masih mandi Mas Rudinya," ujar Rindu kembali lagi menekan lambang telepon berwarna hijau tanda bahwa ia akan menelepon kembali.

Namun sekali lagi hanya bunyi Tutut tak ada jawaban dari Rudi. Kini Rindu bertambah kesal raut wajahnya mulai di tekuk kesal.

Tangannya mulai mengucek-ucek tali tas yang ada di pangkuannya.

"Mas Rudi kemana sih tadi janjinya mau jemput Rindu ini di telepon malah tidak diangkat kesel deh. Terus Tindu pulangnya bagaimana, sama siapa?," gerutu Rindu mulai marah-marah tak karuan.

"Eh Dek Rindu loh kok belum pulang, nunggu jemputan ya lah mana Mas Rudinya?," ucap Jaka menghampiri Rindu dari luar kelas.

Namun Rindu hanya diam tak menjawab diatas kursi kelas nampak merapikan buku-buku pelajaran.

"Loh kok enggak di jawab kemana cowok terkeren idola para mahasiswi di kampus ini si Mas Rudi mu itu? Masak gadis yang paling cantik di kampus ini di tinggal sendiri," ucap Jaka duduk di kursi samping Rindu.

"Kamu ini Jaka datang bukanya mengucap salam malah jelek-jelekin Mas Rudi," ucap Rindu.

"Oh ia, maaf lupa Assalamualaikum Dik Rindu ku yang cantik," ucap Jaka.

"Waalaikumsalam," jawab Rindu agak ketus.

"Loh jawabnya kok agak bentak. Tidak baik loh menjawab salam sambil marah-marah," celetuk Jaka terus menggoda Rindu.

"Ada apa sih kamu kemari Jaka? Ganggu saja," ucap Rindu masih dengan jawaban yang judes.

"Loh jangan marah begitu nanti cantiknya luntur loh. Aku tadi kebetulan lewat melihat kamu kok belum pulang padahal yang lain sudah pulang. Niatku baik loh kalau Mas Rudi mu itu tidak jemput barangkali sudah lupa sama Adik Rindunya ini. Mas Jaka ini siap mengantar pulang," ucap Jaka sambil mengedip-ngedipkan mata.

"Ih jijik aku," ucap Rindu.

Namun dalam hatinya berkata, kenapa Mas Rudi tidak menjemputku, apa ia marah karena aku menyatakan perasaanku kepadanya tadi pagi, ah sudahlah dari pada aku tidak bisa pulang lebih baik aku menerima ajakan Jaka untuk pulang bareng. Biar nanti kalau ketemu Mas Rudi di jalan aku pegangan saja sama Jaka agak mesra biar nanti dia cemburu terus menerima cintaku.

"Loh kok malah bengong, mau tidak, mau ya," ujar Jaka terus merayu dan memohon pada Rindu.

"Baik sekali ini saja ya," jawab Rindu.

"Ok cantikku Rindu ku," ucap Jaka yang nampak sangat bahagia karena ajakannya untuk mengantar Rindu diterima.

"Mari Dik Rindu?," ucap Jaka mempersilahkan Rindu untuk berjalan dahulu menuju tempat parkiran.

Namun lagi-lagi Rindu tak menjawab dan hanya berjalan berlalu menuju tempat parkir diikuti Jaka dari belakang.

"Biarlah jutek asal mau diantar pulang," gerutu Jaka mengikuti langkah Rindu dari belakang menuju parkiran.