Di sebuah pertigaan jalan di ujung desa Mojokembang pas di depan gapura selamat datang masuk desa. Sebelah gapura samping kanan Rudi terduduk sambil termenung sendiri.
Matanya hanya menatap lurus kearah padi yang mulai menguning tertanam di atas sawah yang membujur sepanjang jalan depan pertigaan ke barat hingga timur.
"Oh desa ku, aku akan meninggalkan mu sesaat. Demi perjuangan panjang ku yang hendak dimulai untuk meraih cita-cita," gerutu Rudi terduduk di tepian gapura hendak menunggu angkot warna kuning atau merah yang hendak ia naiki agar membawanya sampai ke stasiun kota Jombang.
Sebuah angkot bertulis huruf H besar di muka angkot yang selalu di tempelkan dari bahan perekat yang biasa dibuat sebagai stiker motor.
Hufffftz...
Helaan nafas panjang lurus sealur angin pagi menjelang siang berhembus begitu saja dari mulut Rudi dengan dada agak sengal.
Seakan impitan segala masalah terpusat di dalamnya, selayaknya hijrah ia ingin meninggalkan desa dengan segala kenangan pahit yang telah ia alami, walau ia tidak menang dalam urusan asmara setidaknya ia masih dapat berusaha dan mengejar cita-cita.
Begitulah sekiranya terucap dalam otak Rudi yang penuh sesak dengan beban hidup dan semua problematik kongkret sifat manusia pedesaan yang masih saja mengotak-kotakkan dan memberi jarak dengan istilah kasta bagi yang kaya dan si miskin sungguh ironi.
Rudi melihat lagi keadaan sekitar depan pertigaan yang mungkin suatu hari nanti ia rindukan. Berjajarnya pohon akasia di sepanjang jalan yang selalu ia lewati saat pergi dan pulang dari kampus bersama rindu.
Mata Rudi sedikit terpejam, tiba-tiba alur otaknya mengingat kembali nama Rindu yang beberapa waktu yang lalu. Dalam kurun masa empat tahun bersama menempuh pendidikan di universitas Bina Bangsa. Kini Rindu hendak di persunting lelaki lain pilihan kedua orangtuanya.
"Ya sudahlah...!" ucap Rudi agak melegakan rongga dada agar longgar tak lagi terisi semua beban kenangan pahit.
"Mungkin juga hari ini ia tengah bersukaria akan acara wisuda bersama Jaka di kampus. Untuk apa aku mengingat kembali sebuah nama yang tak mengingatku lagi," ucap Rudi menatap pilu langit di atasnya yang hampir panas, karena sang matahari sudah hampir bertengger jelas di atas ubun-ubun.
"Ah, maaf Bapak, maaf Ibu dan maaf adikku. Bukan maksud ku meninggalkan kalian tapi ini jalan terbaik agar aku tak mengingat lagi sebuah kisah dimana cinta yang belum tersampaikan namun telah di kalahkan oleh sebuah tradisi kesenjangan sosial si miskin dan si kaya," gerutu Rudi.
"Semoga Bapak pulang dengan senyum kali ini. Setelah mengambi ijazah ku. Aku yakin aku berhasil menjadi yang terbaik karena usahaku yang begitu keras selama ini semoga itu menjadi hadiah terindah ulang tahunmu hari ini Bapak, selamat ulang tahun bapak dan maaf di hari bertambah tua usiamu aku harus pergi meninggalkan rumah demi sebuah cita-cita," ucap Rudi menggumam lirih dan berkata-kata sendiri demi menghibur hatinya yang sudah teramat luka.
Dari kejauhan sebuah motor metik warna hitam melaju menuju ke arahnya dari arah barat. Rudi menatap motor yang di kendarai seorang gadis masih berbalut baju toga.
"Sepertinya aku kenal dengan motor itu, gadis itu mangkinkah itu Dik Rindu. Tapi kenapa ia pulang ah mungkin hanya bayanganku saja. Sial benar kenapa aku terus teringat dengannya sudah Rudi sadar-sadar dia bukan milikmu. Sudah dimiliki lelaki lain dan itu sahabatmu sendiri Jaka," ucap Rudi menepuk-nepuk pipinya kanan dan kiri seperti orang yang hendak menyadarkan diri dari lamunan.
"Mas Rudi...," teriak Si Gadis yang mengendarai motor melaju ke arahnya.
"Loh..., ternyata benar itu Rindu," ucap Rudi sangat kaget dan tersentak hingga ia berdiri dari duduknya.
"Mas Rudi...!!, kau mau kemana Mas," ucap Rindu berhenti pas didepan Rudi menurunkan standar samping motornya seraya memeluk Rudi erat lalu menangis.
"Hei ada apa Rindu?" ucap Rudi kali ini tak membalas pelukan Rindu seperti biasanya ia hanya diam saja lalu perlahan melepaskan pelukan Rindu. Namun semakin Rudi berusaha melepaskan pelukan Rindu semakin erat pula pelukan Rindu kepada Rudi.
"Hey Rindu sudah lepaskan tidak enak dilihat orang," ucap Rudi berusaha menenangkan Rindu dengan kata-kata pengertian.
"Mas maafkan Rindu, maafkan Rindu, maafkan Rindu," kata maaf berulang tiga kali terlontar dari mulut Rindu yang sudah basah dari mata hingga dagu oleh air mata dari usai tangisnya.
"Kenapa, apa salah Rindu? Sehingga Mas harus memaafkan mu," ucap Rudi mencoba menetralisir keadaan.
"Tuhkan Mas Rudi marah pada Rindu, benarkan mas Rudi marah," ujar Rindu terus memeluk Rudi dan terus menangis.
"Kenapa Mas harus marah kenapa? Coba jelaskan?" ucap Rudi.
"Aku tahu Mas Rudi marah, karena kalau Mas marah Mas Rudi hanya memanggil ku Rindu. Tak memanggilku Dik Rindu seperti biasanya," ucap Rindu masih terus memeluk Rudi tak mau melepaskan walau Rudi berusaha melepaskan pelukannya.
"Oalah siapa juga yang marah ya sudah lepaskan dulu pelukan Adik Rindu. Bicara perlahan dan hentikan tangisanmu kenapa kamu kemari bukanya hari ini kamu wisuda Dik?" tanya Rudi kali ini usahanya untuk melepaskan pelukan Rindu berhasil. Rindu perlahan mau melepaskan pelukan eratnya namun berganti melingkarkan lengan dan tangannya di pundak Rudi.
"Mas Jangan pergi ya?" ucap Rindu menatap wajah Rudi dengan tatapan tajam.
"Tidak Dik hari ini walau kau yang menghadang Mas, Mas akan tetap pergi," ucap Rudi dengan tegas.
"Mas tahukan sebenarnya aku tak cinta dengan Jaka dan Adik ini hanya cinta denganmu Mas Rudi. Kita kawin lari yuk Mas ajak Adik pergi jauh yang penting dengan mu," ucap Rindu.
"Loh, loh, loh, kok malah kamu bicara begitu. Tanpa restu dari orang tuamu Dik aku takkan membawamu pergi. Sudahlah Dik lupakan saja Mas sekarang masa depan mu sudah terjamin bersama Jaka. Biarkan aku pergi patuhilah kedua orang tuamu itulah jalan terbaik untuk kita," ucap Rudi membelai pipi Rindu dan mengusap air matanya.
"Tapi aku hanya cinta pada mu Mas Rudi," teriak Rindu kembali memeluk tubuh Rudi erat dan kembali menangis kali ini lebih kencang sehingga orang yang lewat pun seketika melihat Rudi dan Rindu penasaran.
"Dik sekarang kau sudah milik orang lain dan jarimu sudah melingkar cincin suci pemberian lelaki lain. Walau janur kuning belum melingkar di halaman rumahmu, tetapi aku tak mau menyakiti siapa pun sebab janji ayahmu sudah di utarakan dan di sanggupkan pada Jaka aku tak bisa berbuat apa-apa. Mungkin begini takdir kita hanya bisa sebatas teman masa kecil tak lebih," ucap Rudi menegaskan.
Lalu sebuah angkot merah berlambang H di depan muka angkot berhenti pas di depan Rudi dan Rindu.
"Mau Naik Mas?" ujar sang sopir angkot menawarkan jasa kepada Rudi.
"Oh ia Bang naik," jawab Rudi melepaskan pelukan Rindu dengan agak memaksa dan terpaksa sehingga membuat Rindu agak terpeleset lalu jatuh dengan posisi terduduk namun tak begitu keras.
"Mas Rudi jangan pergi Mas...?" teriak Rindu melihat Rudi masuk ke dalam angkot.
Mata Rudi meneteskan bulir-bulir bening satu tetes jatuh membasahi lantai angkot lalu iya mengusapnya perlahan.
"Maaf Rindu," ucapnya lirih.
Angkot mulai berjalan meninggalkan Rindu terduduk sambil terus menangis di pertigaan depan desa Mojokembang dan terus menangis. Sedangkan laju angkot terus berjalan ke arah barat membawa Rudi ke arah kota menuju stasiun kota Jombang.
"Jangan pergi Mas Rudi...!" teriak Rindu.