Chapter 18 - Beberapa Menit Di Jakarta

Kereta api gaya baru malam telah melaju kembali keluar dari pelataran setasiun Jati negara. Untuk kembali menyusuri bantalan rel kereta yang masih memanjang untuk tujuan terakhir di ujung stasiun paling barat pulau Jawa yakni setasiun pasar Senen Jakarta Pusat.

Dalam raungan cerobong asap di atas lokomotif ruang masinis terus menggerakkan rangkaian gerbong yang di satukan menjadi sebuah bentuk alat transportasi masal paling banyak di minati bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah yakni kereta api untuk sebuah perjalanan jauh.

Masih terbayang dan terngiang di mata serta ingatannya lambaian setelah kecupan mesra oleh seorang teman wanita yang ia kenal di dalam kereta si Mbak Moza dan iya pun telah turun beberapa menit yang lalu di stasiun Jati negara, ah kapan aku bisa bertemu lagi dengan Mbak Moza seorang teman yang tak memandang apa pun untuk berteman ucap Rudi dalam hati.

Huftz..., embusan nafas panjang agak lama Rudi keluarkan dengan agak kasar dari mulutnya. Sengaja agar dadanya yang kembali sesak dengan elegi masa lalu terbersihkah oleh udara pengap kereta. Matanya kembali menatap langit-langit gerbong nomor lima, kembali kepalanya tersandar dengan mendongak ke atas di kursi panjang nomor lima A yang ia tempati sambil terus menghapus khayalan masa indah bersama sang mantan yang mungkin kini telah di persunting sahabatnya sendiri.

"Ah sudahlah, kalau aku terus mengingat hari yang telah berlalu kapan aku bisa hadapi haru yang akan datang," gerutu Rudi menggumam lirih.

Lalu ia coba memejamkan mata namun tak tertidur hanya memejam tapi sebenarnya ia terjaga. Hati dan pikirannya masih terjaga penuh. Iya khawatir akan tertidur dan kembali bermimpi tentang masa lalu dikala masih sejuta indah di pematang sawah, di jalanan desa atau kantin kampus dahulu.

Kini Rudi tenggelam bersama laju kencang kereta yang hampir sampai pada tujuan akhir di mana tujuannya sama pula dengan si kereta. Stasiun Senen Jakarta Pusat.

Tampaknya memang tak bisa matanya ia pejamkan walau sebentar terlalu menganga luka kemarin yang ia derita rasanya masih perih di hati. Menyayat bagai samurai menebas tulang-tulang sang lawan hingga patah.

Kembali kelopak mata iya buka perlahan kini menatap di luar jendela. Sudah masuk kota jua kereta api yang ia tumpangi mungkin sebentar lagi sampai ujarnya dalam hati.

"Selamat datang masa depan dan sampai jumpa masa lalu," ucapnya dengan getaran bibir dan suara lirih dan ia tekankan dalam hati.

"Aku harus mampu, aku harus bisa," gumam Rudi kembali menghembuskan nafas kali bernafas biasa seperti biasanya.

"Kereta api gaya baru malam jurusan stasiun pasar turi Surabaya menuju tujuan akhir stasiun Senin Jakarta Pusat telah memasuki area Stasiun pasar Senen, penumpang yang hendak turun di harapkan mengecek barang bawaan jangan sampai ada yang terlewat atau ketinggalan," koar dari suara petugas stasiun pasar Senen sayup-sayup terdengar hingga telinga Rudi.

"Oh sudah sampai ternyata Bismilah hari baru," ucap Rudi seraya mengambil tas ransel kecil yang terletak di tatakan tempat untuk menaruh tas penumpang di atas tiap tempat duduk. Sebuah ransel berisi peralatan Shalat, peralatan mandi dan tak lupa iya membawa baju satu setel untuk ganti.

Dengan perlahan ransel ia bawa dengan cara menaruh di punggung belakang layaknya anak sekolahan yang tengah hendak pergi ke sekolahannya. Dengan rasa mantap Rudi melangkahkan kaki menuju pintu gerbong nomor lima, karena kereta pun sudah mulai memelankan kecepatan lajunya.

Sebuah Setasiun megah di tengah kota Jakarta terlihat begitu memukau mata Rudi seorang pemuda kampung yang belum sama sekali menginjakkan kakinya di sebuah kota besar.

Apa lagi kali ini iya sampai di Jakarta tempat di mana jutaan manusia berkumpul mengadu nasib untuk mengubah kehidupan yang lebih baik lagi.

Walau Jakarta bukan tujuan sebenarnya dari Rudi dan hanya sebagai transit untuk menuju ke kota Serang di mana rumah pamannya berada.

Namun tetap saja Rudi begitu terpukau akan eloknya, gagahnya Ibukota Jakarta dengan segala hiruk-pikuk di dalamnya. Iya mencoba mengambil istirahat pada bangku panjang ruang tunggu dan melihat lagi ponsel yang iya taruh di saku celana samping.

Namun beberapa kali iya mencari ponselnya di dalam saku celana samping. Sesering itu Rudi tak mendapati Ponselnya. Mungkin di tas aku lupa menaruhnya mungkin ucapnya dalam hati. Namun setelah ia buka semua Resleting tas satu persatu dan ia periksa berulang-ulang ia tak mendapati ponselnya di dalam tas.

"Astagfirullah, ke mana ponselku? mana ada alamat Paman di dalam ponsel itu. Kalau hilang aku harus bagaimana. Aku harus mulai dari mana untuk menuju serang ke rumah Paman Ya Allah," gerutu Rudi bingung seraya terus mencoba mencari ponselnya di dalam tas sekali lagi mungkin terselip di antara baju pikirnya.

"Allahuakbar hilang sudah, aku yakin tadi sudah aku bawa dari rumah saat berkemas, Ya Allah apa aku sudah kecopetan. Aku baru ingat ya, ya pasti terjatuh saat aku berlari mengejar kereta saat di stasiun Djokja kota," ucap Rudi.

Huftz...,

Embusan nafasnya kali ini agak sengal dan kesal kenapa iya bisa teledor begini. Kalau beginikan tak bisa lagi iya mencari alamat pamanya yang berada di kota Serang Banten. Karena iya belum sekalipun berkunjung ke rumah Pamanya tersebut jadi iya sangat butuh alamat itu.

"Oalah yowes lah, kamu bisa Rudi semangat," kata Rudi kembali berdiri menjinjing tasnya dengan pikiran iya akan bertanya pada orang di mana arah bus yang menuju serang lewat. Agar iya bisa sampai ke rumah pamanya. Karena sudah mepet besok dia sudah harus datang interviu.

Belum beberapa langkah Rudi menggerakkan kaki-kakinya yang lelah tubuhnya tiba-tiba ditubruk seseorang yang berjalan dengan tergesa-gesa.

"Woi hati-hati dong matamu kau taruh di dengkul ya," kata orang tersebut sambil mengomel dan terus berlalu.

Rudi yang jatuh terduduk akibat ditabrak orang yang berlalu tadi mencoba berdiri kembali, "Memang benar Jakarta orangnya banyak yang egois ya kenapa aku yang ditabrak aku yang dimarahi," gerutu Rudi kesal.

"Oh iya kan pas masih di rumah saat berkemas kemarin pagi. Aku sempat menuliskan alamat paman di sebuah kertas kecil lalu aku selipkan di dompet," ujar Rudi agak lega karena masih ada catatan alamat pamanya yang iya selipkan di dompet.

"Loh, loh, dompetku mana?" Rudi semakin bingung karena kali ini dompetnya yang berisi sejumlah uang untuk hidup sebulan selama di perantauan raib sudah entah ke mana.

Rudi tampak mematung tak percaya dengan apa yang iya alami. Semakin bingung iya berjalan gontai tak tahu arah. Hingga sampailah ia pada sebuah gang kecil di samping toilet umum stasiun.

Di sana ia sandarkan tubuhnya pada tembok di gang kecil di belakang toilet umum satu tempat yang tanpa orang tahu karena berada di belakang toilet biasanya dibuat menaruh sapu dan alat pembersih toilet lainya semacam pantri bagi Office Boy.

Krusek-krusek...,

"Hai berdiri loh," ucap seorang lelaki yang datang berbadan kekar, bertato sekujur badan dan berambut gondrong rupanya preman yang tengah mencari mangsa karena ia menodongkan sebilah pisau pas diperut Rudi. Sehingga kalau Rudi bergeser sedikit saja tentu perutnya tergores belati tersebut.

"Saya tidak punya apa-apa bang," ucap Rudi mencoba menghindar.

"Ah bohong rasakan ini," celetuk sang preman menusukkan belati yang ia genggam pas di perut Rudi.

"Ahhz...," teriak Rudi sambil memegangi perutnya yang mulai mengeluarkan darah segar. Belum sempat Rudi mengelak mungkin karena terlalu lelah semalaman di kereta atau mungkin karena tak fokus akibat kehilangan dompet dan ponsel jadi iya yang notabenenya pemegang sabuk hitam karate malah tertusuk belati di belakang toilet oleh seorang preman.

Bruk...

Tubuh Rudi ambruk jua matanya masih dapat melihat dan merasakan tasnya dicopot paksa oleh preman yang menusuknya.

Juih..., sebuah ludah mendarat di tubuh Rudi dari si preman yang terus berlalu membawa ransel Rudi. Sedangkan Rudi mulai merasa perih di perutnya oleh tusukan sebilah pisau preman agak dalam rupanya.

Matanya mulai menerawang tak tentu di sana terbayang senyum adiknya Nurvia, di sana ada tawa bersama bapaknya sambil menjemur padi di halamab rumah, di sana ada senyum kecil sang ibu saat iya selalu merecoki ibunya itu memasak sarapan pagi.

Mata Rudi mulai menutup perlahan lemas dan lemah dan berucap lirih dalam terkaparnya, "maaf aku ibu."