Rudi mencoba membuka perlahan namun masih berat terasa di sekujur tubuhnya masih terasa nyeri. Dalam benaknya apa ini surga...? apa aku sudah tiada...? iya terus mencoba melebarkan matanya agar terbuka sempurna. Tetapi apa daya terlalu rapuh tubuhnya untuk sekedar membuka kelopak matanya hanya mampu membuka setengah agak sayu.
"Eh..., masnya sudah sadar rupanya," suara dari sosok di sampingnya sambil terduduk dan terus memandanginya.
Rudi tampak terkejut bercampur agak takut sekiranya yang bicara adalah perampok atau komplotannya yang menusuknya berkali-kali di toilet stasiun. Rudi mencoba bangun tapi tak jua bisa bangun karena sakit di perutnya bekas luka tusukan.
"Ahhh...," teriak rudi kesakitan sambil memegang perutnya. Kini matanya dapat iya buka lebar dan jelas. Betapa iya terperangah saat melihat jarum infus yang menancap di lengannya. Rudi mulai meneliti sekitarnya.
"Aku dimanah, anda ini siapa...?" ucap Rudi merasa bingung dengan suasana di sekitarnya. Iya tak tahu kalau iya sudah berada di sebuah ruangan pasien rumah sakit. Terbaring di atas ranjang pasien dengan infus di sampingnya yang kait ujung selang infus itu tertancap di lengannya.
"Tenang Mas, kami dari pihak kepolisian. Kebetulan tadi Bripda Sari sedang berkunjung ke stasiun dan pas iya ke kamar kecil dan melihat mas ditusuk orang terus iya menolong Mas," sahut seorang polisi yang juga berpangkat Bripda berdiri di samping ranjang tempat Rudi terbaring.
"Benar Mas dan semua barang Mas itu kami taruh di samping Mas terbaring lengkap semuanya termasuk ponsel dan dompet yang diambil komplotan copet atau perampok yang menusuk Mas. Semua komplotan pencopet stasiun sudah kami tangkap dan sekarang sedang di proses di polsek Senen," ucap Bripda Sari menuturkan.
"Alhamdulillah terima kasih Bu Polwan sudah menolongku," celetuk Rudi sambil melihat kelengkapan barang-barangnya.
"Coba Mas periksa lagi mungkin ada yang hilang?" kata Bripda Sari.
"Masih lengkap Bu," jelas Rudi.
"Sementara Mas istirahat saja beberapa hari di sini hingga sembuh benar. Rupanya tusukan di perut Mas agak dalam biar lukanya benar-benar kering dahulu. Lagian agar jahitannya tidak copot Mas tak boleh banyak bergerak dahulu," timpal Bripda yang berdiri di samping Bripda Sari.
"Oh iya, kami dari polsek Senen namaku Bripda Soleh dan yang duduk di samping Mas Bripda Sari. Nama Mas siapa dan berasal dari mana dan hendak ke mana?" tanya Bripda Soleh.
"Nama Saya Rudi Pak Polisi dan saya berasal dari Mojowarno salah satu kecamatan di kota Jombang. Saya hendak ke rumah paman saya di Serang untuk melaksanakan interviu di salah satu kantor pabrik di sana. Tetapi semua sudah lewat Pak interviu seharusnya di laksanakan sore ini," jelas Rudi menuturkan.
"Loh Mojowarno sama dong dengan asal kampung halaman saya," ujar Bripda Sari
"Kalau benar begitu keadaannya kami sebagai aparat pengayom masyarakat. Dan karena Mas Rudi pula kami dapat meringkus semua komplotan copet stasiun. Mas Rudi istirahat di sini saja dahulu nanti kalau sembuh kami akan mencarikan pekerjaan di kantor kami," ujar Bripda Soleh.
"Tapi saya tak mampu membayar biaya rumah sakit selama itu Pak, Bu," sahut Rudi.
"Tenang Mas Rudi jangan khawatir semua biaya administrasi sudah kami lunasi hingga Mas sembuh pihak kepolisian yang menanggung," ujar Bripda Sari seraya tersenyum manis.
"Benar Mas saya pun berasal dari Jombang. Rasa persaudaraan sesama warga kota Jombang menggerakkan kami untuk menolong Mas Rudi," jelas Bripda Soleh.
"Baiklah Mas Rudi Istirahat saja dulu kami hendak kembali bertugas. Nanti sore biar Bripda Sari yang kemari menemani Mas Rudi," ucap Bripda Soleh berpamitan untuk kembali bertugas di ikuti Bripda Sari dari belakang keluar ruangan kamar pasien tempat Rudi di rawat.
***
Sementara itu di rumah Rindu, Rindu tengah duduk termenung di balai-balai rumah sambil memegang beberapa surat cinta masa lalu saat dia masih bersama Rudi. Membolak-balik berulang-ulang. Membacanya lagi berkali-kali, karena entah kenapa Rindu sore ini begitu merindukan Rudi kekasihnya terdahulu.
Ehem..., Ehem...,
Betapa Rindu sangat kaget saat sang Ibu ternyata sudah ada di belakangnya berdiri tengah memperhatikannya membaca kembali surat cinta dari Rudi.
"Ada apa toh Buk kok dehem-dehem segala?," ujar Rindu cepat-cepat merapikan tumpukan surat cinta dari Rudi yang masih ia simpan hingga kini. Tampak tangannya mengusap-usap mata dan pipinya mencoba menghapus bekas air mata yang sempat menetes dan basahi pipi.
"Ada apa Ndok kok menangis?," ujar sang ibu mencoba menenangkan Rindu seraya duduk di samping Rindu.
"Indak apa-apa Bu?" jawab Rindu mencoba menutupi perasaannya yang tengah di dera Rindu pada Rudi, namun raut wajah Rindu begitu jelas kentara menampakkan raut wajah kesedihan mendalam.
"Nak Rindu, sudah ya sebentar lagi kan kamu akan segera menikah dengan Nak Jaka. Ibu mohon walaupun sulit lupakanlah Nak Rudi," kata Ibu Wulan sambil mengelus pundak Rindu.
"Tapi Rindu sangat sulit melupakan Mas Rudi Buk," gerutu Rindu seraya menghamburkan pelukan pada ibunya serasa kembali meneteskan air mata.
"Kamu harus bisa Ndok, sudah-sudah jangan menangis nanti bapakmu tahu marah lagi dia nanti, Rindu enggak mau kan jantung bapak kambuh lagi," kata Ibu Wulan mengingatkan Rindu saat lusa yang lalu saat Rindu menolak Jaka berkunjung ke rumah akibatnya hampir saja orang tua Jaka membatalkan acara pernikahan yang sudah kadung tersebar luas undangannya saat itu jantung Pak Ahmadi sakit lagi.
"Ia buk, saya nurut sama Ibu dan Bapak biar kalian bahagia," ucap Rindu mengemasi tumpukan surat dan berlalu begitu saja menuju kamarnya.
***
Di rumah Pak Kasturi dan ibu Amanah tengah duduk berbincang serius di balai-balai rumahnya. Mereka tampak gelisah dan gusar setelah menerima telepon dari sang kakak di Serang sejam yang tadi.
Kata sang kakak yakni Pak Sumadi Rudi belum jua datang dan nomor ponselnya tak dapat dihubungi. Jadi Rudi melewatkan sesi interviu dan di pastikan tidak jadi mendapatkan pekerjaan di sana.
"Pak jadi bagaimana ini Pak, apa sudah ada kabar dari anak kita?" tanya Bu Amanah begitu cemas dan khawatir.
"Belum tahu Buk benar kata Mas Sumadi hanponenya mati tidak bisa dihubungi. Ini bapak coba telepon berkali-kali masih tidak aktif," jawab Pak Kasturi.
"Terus bagaimana Pak, Rudi dimanah Pak...!" teriak Bu Amanah sambil agak panik menggoyang-goyang badan Pak Kasturi karena sangat khawatir dengan anak kesayangannya itu.
"Bu jangan digoyang-goyang begitu kepala Bapak pusing ini. Bapak juga lagi mikir ini bagaimana kok Rudi tidak sampai ke rumah Mas Sumadi?" ujar Pak Kasturi menghentikan Ibu Amanah yang terus meracau.
"Nah ada sms dari Mas Sumadi coba Bapak baca dulu," ucap Pak Kasturi.
"Dek jangan khawatir aku sudah menugaskan beberapa pemuda sini yang bekerja di sekitar Senen untuk mencari keberadaan Rudi. Adik Kasturi dan Adik Amanah tunggu kabar saja dari Mas," bunyi sms dari Mas Sumadi yang di baca dalam hati oleh Pak Kasturi.
"Bagaimana bunyi sms dari Mas Sumadi Pak yang keras dong bacanya," pinta Bu Amanah.
"Sudah sekarang Ibu siap-siap untuk Shalat magrib setelah itu kita buka puasa bareng, kita berdoa pada Gusti Allah semoga anak kita lekas ketemu," ucap Pak Kasturi menuntun Bu Amanah untuk Shalat magrib berjamaah.