Daun luruh pohon Flamboyan di sepanjang bujur rel kereta api menemani Rudi yang berdiri mematung memandang arah tak tentu. Matanya seakan ingin menangis tapi hatinya berkata untuk selalu tegar.
Iya ingat kata petuah bijak sang bapak, bahwa lelaki itu harus tegar di setiap situasi apapun kondisi yang menerpa atau badai kehidupan sebesar apapun harus tetap tegar. Begitu sekiranya kata bapak waktu dulu.
Angin sore pukul setengah tiga di bawah atap ruang tunggu stasiun kereta kota Jombang Rudi serasa sepi walau kondisi di sekitarnya begitu ramai. Begitu riuh hiruk-pikuk oleh sejumlah calon penumpang kereta api gaya baru malam yang hendak ia tumpangi tanpa arah dan tujuan. Serta lalu-lalang pedagang asongan yang berkali-kali menawarkan barang dagangannya tak pula Rudi menggubris.
Rudi hanya mematung menunggu rangkaian gerbong yang mungkin berlari tertatih dari rel nun jauh arah timur stasiun Pasar Turi Surabaya. Belum jua datang sang kereta ekonomi tujuan akhir Stasiun Gambir Jakarta Pusat. Sebuah kertas kecil warna kuning berbentuk persegi panjang sekiranya berukuran 2x4 cm, iya pegang dan terus di bolak-balik.
"Gerbong 5 nomor bangku 5 A," gerutu Rudi lirih menghafalkan di mana tempat duduknya dalam kereta nanti.
Sejenak ia memandang langit kota Jombang yang hari ini harus iya tinggalkan sejenak mungkin juga untuk waktu yang lama. Terlintas sebuah pertanyaan dalam benak apakah akan sama langit yang akan ku lihat di tanah perantauan?.
"Huftz, ya sudahlah semua sudah terjadi. Yang sudah terjadi biarlah terjadi," ucap Rudi agak sesak memenuhi rongga dadanya.
Hufffftz..., Kembali helaan nafas panjang kali ini agak terlalu panjang iya hembuskan seakan ingin mengeluarkan semua beban yang ada di dalamnya.
"Kereta api gaya baru malam jurusan Stasiun Pasar Turi Surabaya menuju Stasiun Gambir Jakarta pusat akan segera datang para penumpang di himbau untuk bersiap-siap," terdengar lantang suara petugas Stasiun terdengar dari salah satu pengeras suara mengabarkan kereta akan segera merapat.
Prit... Prit...
Salah satu petugas stasiun memakai seragam serupa masinis memberi kode dengan bendera kecil dan tiupan sempritan kecil di mulutnya. Layaknya penggalang Pramuka yang memberi kode sandi Morse. Sang petugas mengomando kereta agar memelankan laju untuk berhenti tepat di muka stasiun.
Jekejes... Jekejes...
Ton...
Sriiing...
Suara kereta api Gaya baru malam berhenti dengan rem-rem angin dan tungku uap yang terus mengebul. Membuat asap hitam pekat membumbung ke udara, berhenti tepat di muka stasiun Jombang.
Tap...
Langkah kaki pertama Rudi menapak tangga dari pintu gerbong lima seakan di awali dengan angin sore yang membisik di telinganya dan berkata pergilah untuk masa depan sehingga pijakan kedua semakin memantapkan hati Rudi untuk hijrah agar dapat merubah nasib lebih baik di perantauan.
Tubuh Rudi sudah hilang tenggelam bersama penumpang yang lain di dalam gerbong kereta api gaya baru malam sudah tak terlihat kembali.
Prit...
Prit...
Kembali petugas stasiun yang tengah berada di ujung stasiun paling kanan nampak memberi aba-aba agar kereta segera berangkat. Tak lama dari itu gerbong-gerbong yang memanjang dengan kepala kereta di depan dengan dua orang masinis di dalamnya bergantian menjalankan laju kereta. Perlahan kereta mulai menjauh dari stasiun kota Jombang tertatih membawa penuh penumpang dengan ribuan macam harapan dan tujuan di tanah perantauan.
***
"Wah besan kenapa banyak sekali bawaannya jadi merepotkan," ujar Pak Santoso Ayah Jaka menyambut keluarga Pak Ahmadi Ayah Rindu.
Karena sore ini tengah berlangsung acara lamaran dari pihak perempuan. Sudah adat istiadat kalau lah setelah pihak laki-laki datang ke rumah pihak perempuan dengan sanak keluarga bertujuan melamar. Dan sebagai acara kelanjutan untuk menunjukkan bahwa lamaran diterima pihak keluarga perempuan gantian datang ke rumah pihak laki-laki sebagai tanda bahwa lamaran sang laki-laki diterima dan acara tersebut juga bertujuan untuk mencari hari yang tepat dalam adat kebiasaan orang Jawa. Dengan cara mencocokkan weton atau hari kelahiran calon mempelai laki-laki dengan calon mempelai perempuan.
Dihitung menurut hari pasaran Jawa atau hitungan adat Jawa menggunakan panduan paham orang yang dituakan atau primbon (buku panduan hitungan hari atau panduan istilah-istilah tentang adat istiadat) semacam buku panduan dalam adat Jawa.
"Wah ini belum seberapa besan dari pada yang besan bawa seminggu yang lalu. Saat nak Jaka dan besan ke rumah," ucap Pak Ahmadi.
"Mari-mari silahkan masuk, mari silahkan. Yah begini ini rumah Jaka hanya gubuk reot San," ucap Pak Santoso menggandeng Pak Ahmadi mengajaknya beserta rombongan untuk masuk ke dalam ruang tamu untuk memulai acara lamaran kedua.
"Waduh lawong rumah segini besar dan megah Pak Santoso bilang gubuk reyot. Lah rumah kita lalu apa ya Buk?," ucap Pak Ahmadi sembari duduk di temani Bu Wulan dan Rindu di sampingnya.
"Hahaha, Pak Ahmadi bisa saja, ayo silahkan diicip-icip Pak, Buk seadanya," ucap Pak Santoso mempersilahkan para tamu untuk menikmati jajanan tradisional yang di sediakan di piring-piring kecil yang di keluarkan dari dalam rumah namun terlihat begitu banyaknya dan berbagai macam rupa jenis kue pun dihidangkan.
"Wah jadi merepotkan begini loh Buk Wiwik," ucap Bu Wulan sembari mengambil satu kuwe berjenis kue lapis legit yang di hidangkan di hadapannya.
"Ah, Ibu Wiwik ini loh, kita kan sebentar lagi berbesanan jadi tidak apa lah kala aku merayakan hari baik ini dengan menyuguhkan sedikit jajanan tradisional ini jalan Pak," ucap Bu Wiwik sambil tersenyum pada sang suami Pak Santoso.
"Oalah Bu lawong segini banyaknya belum yang di luar yang disuguhkan pada rombongan kami yang berada diluar," ucap Bu Wulan.
"Sudah-sudah kok malah bahas kue ini loh Ibu ini, alangkah baiknya acara segera kita mulai kasihan ini Jaka sudah tidak tahan kayaknya hehehe," ucap Pak Santoso berbosa-basi ringan melirik Jaka yang duduk di samping Ayahnya.
"Baik langsung saja acara ini saya serahkan kepada Pak Haji Tohir selaku sesepuh atau yang dituakan disini untuk menentukan tanggal dan hari baik untuk melaksanakan akad nikah nak Rindu dan Jaka. Monggo Pak Haji waktu dan tempat dipersilahken," ucap Pak Santoso meminta Pak Haji Tohir yang duduk di tengah-tengah pak Ahmadi dan Pak Santoso untuk memimpin pembukaan acara.
"Baik, Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," ucap salam dari Pak Haji Tohir.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," serempak para tamu yang hadir menjawab salam.
"Sebelumnya saya haturkan rasa puja dan puji syukur kehadirad Allah SWT yang dimana kita dapat berkumpul untuk melaksanakan acara baik yaitu pertunangan Adik Jaka dan Adik Rindu. Serta Sholawat dan salam saya aturkan kepada junjungan kita Nabi besar Nabi Muhammad SAW. Baik saya akan mulai menghitung weton dari kedua pasangan berbahagia dan menjumlahkan serta mencocokkan. Sehingga nanti dapat menyimpulkan titik temu kapan hari baik untuk dilangsungkan akad nikahnya," ucap Pak Haji Tohir.
"Monggo (silahkan), tolong hari lahir masing-masing calon disodorkan," ucap Pak Haji Tohir meminta pemberitahuan hari lahir masing-masing calon mempelai.
Dengan bersamaan Pak Santoso dan Pak Ahmadi memberikan secarik kertas berisi tulisan catatan hari lahir dan segala keterangan tentang hari baik dan buruk masing-masing dari anaknya.
Namun setelah hari lahir dari Jaka dan Rindu diberitahukan kepada Pak Haji Tohir nampak Pak Haji Tohir kesulitan menemukan hari yang pas untuk acara akad nikah dilangsungkan. Tersirat dari wajah Pak Haji nampak kebingungan menghitung berulang-ulang sekiranya iya salah menghitung.
"Ada apa Pak Haji apa ada yang salah?," ucap Pak Santoso.
"Iya Pak Haji jadi kapan hari baik untuk acara akad dilaksanakan?," timpal Pak Ahmadi bertanya dengan muka serius.
"Waduh kalau menurut hitungan ini weton atau hari lahir nak Jaka dan nak Rindu bila dijumlahkan ketemunya genap 25 ini. Jadi nanti jatuhnya tibo Pati (dalam istilah Jawa Tibo Pati artinya kedua pasangan akan sengsara dalam mengarungi rumah tangga akan terkena sial semasa hidupnya bisa juga salah satu akan sakit sampai meninggal, wallahualam hanya kepercayaan kearifan lokal)," ujar Pak Haji Tohir menuturkan.
"Loh gimana ini Pak?," ujar Bu Wulan nampak bingung begitupun dengan para hadirin tamu yang hadir nampak ramai membicarakan hal ini.
"Sudah-sudah kalau begitu berhubung kedua mempelai sudah saling mencintai alangkah baiknya kalau kita buat kebo bingung (dalam istilah Jawa kebo bingung artinya tidak tau apa-apa alias pasrah pada Sang Kuasa yakni Allah SWT) saja bagaimana?," ucap Pak Ahmadi.
"Nah itu lebih baik," ujar Pak Santoso.
Sedangkan Rindu hanya terdiam membisu wajahnya tertunduk tak sekalipun menatap wajah Jaka yang sedari awal terus memperhatikan Rindu yang tengah berdandan layaknya gadis Jawa memakai kebaya anggun warna kuning.
Raga Rindu memang menghadiri acara pertunangan ya bersama Jaka namun benak, pikiran dan hatinya terus mengulang pada nama Rudi. Yang terus terbayang dan tak bisa iya hilangkan.
"Mas Rudi kau dimana sekarang...?," ucap Rindu lirih dalam hatinya.