Jes..., cegejes..., ton...
Grejes..., grejes...
Suara kereta api gaya baru malam melaju kencang di sepertiga malam hampir pagi jua dengan uap pekat hitam yang terus menyembur dari cerobong asab. Dan suara gesekan antara roda kereta dengan bantalan rel-rel kereta terdengar memecah kebisingan sunyi persawahan yang di lewati.
Kabut dan embun mulai membasahi relnya, separuh terlelap dan separuh terjaga suasana di dalam gerbong-gerbong kereta. Selaras dengan keadaan di bawahnya langit nampak agak mendung. Awan berarak searah angin yang berhembus sisa rintik masih di turunkan sesekali dari balik awannya.
Di dalam kereta dengan tertatih lajunya yang nampak jua sudah teramat letih membawa ratusan penumpang dari timur Jawa hingga ibu kota Negara Jakarta. Andai iya dapat berkata tentu sang kereta sudah mengaduh pula.
Rudi masih termenung, menegun bertopang dagu diatas kursi panjang warna hitam. Di dalam gerbong 5 dengan bertuliskan sebuah perekat berbentuk persegi tertempel di sebelah dinding gerbong berwarna kuning 5A.
Walau Moza tengah memperhatikannya yang kerap melamun selama perjalanan Rudi tak begitu jua menggubris Moza. Hanya sesekali menjawab saat Moza mengajak bercakap-cakap sebisanya.
"Karcis-karcis, Karcis Pak, Karcisnya Buk?" suara petugas karcis memeriksa karcis para penumpang di beberapa kursi di belakang Rudi dan Moza terduduk tenang.
"Karcis Mbak, Karcisnya Mas...?" akhirnya sang petugas karcis sampai pada kursi Rudi.
Rudi dan Moza segera mengulurkan karcis yang berada di kantong saku depan mereka. Sedang Moza mengulurkan karcis dari saku celana pendeknya. Petugas karcis mulai melubangi kertas karcis dengan alat pelubang kertas tanda bahwa karcis sudah di cek ulang petugas kereta. Lalu mengembalikannya pada Rudi dan Moza.
"Pak sudah sampai mana ini?" celetuk Rudi bertanya tentang nama daerah yang tengah di lintasi kereta pada Pak Petugas Karcis.
"Sudah hampir sampai Stasiun Jatinegara Mas," sahut Pak Petugas Karcis menjawab pertanyaan Rudi.
"Terimakasih Pak," timpal Rudi untuk jawaban dari pertanyaannya.
"Mbak Moza katanya hendak turun di stasiun Jatinegara benarkah Mbak?" kata Rudi kali ini memulai percakapan terlebih dahulu sejak dari beberapa saat tadi mereka berdua terlihat diam membisu seribu kata tak ada satu pun suara yang terlontar dari mulut mereka berdua.
"Benar Dek Rudi sebentar lagi sampai ini jaket mu Dek," ucap Moza mulai melepaskan jaket Rudi yang dikenakannya sejak beberapa saat yang lalu saat kereta berhenti di stasiun Jogja kota.
"Tidak usah di lepas Mbak anggap saja kenang-kenangan dari Adek," ujar Rudi menghalangi Moza untuk melepas jaketnya yang masih dikenakan Moza.
"Tidak enak Dek Rudi di jaketmu pas dibalik kerahnya ada tulisan warna pink dari spidol marker yang tak bisa di hapus. Di situ tertulis Rudi Love Rindu, aku jadi tahu namanya Rindu. Seorang gadis yang meninggalkan cowok setampan dirimu itu Dek," ujar Moza menuturkan apa yang iya lihat di kerah jaket Rudi.
"Benar Mbak namanya Rindu," timpal Rudi nampak kembali menggambarkan kesedihan di raut wajahnya.
"Sudah-sudah jangan diingat lagi carilah pengganti di perantauan banyak gadis lebih cantik bahkan lebih menerimamu apa adanya. Walau kebanyakan di sana para gadis selalu mementingkan harta daripada cinta. Yah maklum saja alam perantauan. Tetapi di alam perantauan walau tak punya ikatan saudara atau tetangga sekalipun jikalau berasal dari tempat yang sama apa lagi satu kota pasti cepat akrab layaknya saudara," tutur Moza mencoba menetralisir suasana.
"Benar juga kata Mbak Moza," jawab Rudi mengangguk merasa bersemangat.
"Ia Dek, tapi ingat harus selektif memilih teman di perantauan juga banyak cobaannya," ucap Moza memperingatkan Rudi akan suasana di perantauan dan Rudi kali ini menjawab dengan senyum dan anggukan pelan.
"Lain kali kalau Dek Rudi sudah agak lama di perantauan mampir ke Jakarta cari alamat ini aku kos di situ," ujar Moza mengulurkan sebuah sobekan kertas bertuliskan alamat lengkap tempat kosan Moza di Jakarta.
"Baik kak nanti aku mampir tapi apa tak apa aku mampir?" tanya Jaka pada Moza dan Moza tersenyum akan keluguan Rudi.
"Tak apa lah Dek mau kau mampir kapanpun jam berapa pun, tapi kalau bisa malam soalnya aku kalau di kosan paling sore jam 00.30 wib," tutur Moza.
"Itu bukan sore Mbak tapi pagi," kata Rudi melongo heran karena iya tak biasa melihat atau mendengar di kampungnya seorang wanita pulang selarut Moza.
"Kenapa heran ya memang seperti itu pekerjaan ku Dek. Yah aku sudah memiliki anak di kampung yang harus aku bayar biaya sekolahnya buat makan sehari-hari apalagi buat jajannya, karena anakku itu masih kecil dan duduk di bangku SD," ucap Moza menuturkan.
"Loh Mbak Moza sudah mempunyai anak dan suami toh maaf tadi Adek lancang megang-megang tubuh Mbak saat berlari hendak tertinggal kereta di Jogja," kata Rudi merasa bersalah dan tak enak hati.
"Tidak apa Dek lagian tak ada yang marah kok, mau Adek pegang Mbak semalaman juga tidak apa-apa tidak ada yang marah," ungkap Moza dengan tersenyum manis.
"Maksudnya Mbak bagaimana?," kata Rudi bingung.
"Maksud aku, aku ini sudah cerai dengan suamiku dek sebulan yang lalu karena mantan suamiku orangnya tidak mau bekerja hanya maunya menerima uang hasil jerih payahku di Jakarta lalu buat hura-hura minum-minum dan berjudi anakku tidak ada yang mengurus lebih baik aku bercerai dengannya," kata Moza menerangkan maksud dari perkataannya.
"Oh seperti itu," timpal Rudi mengangguk mengerti.
Tiba-tiba sayup-sayup suara petugas stasiun kereta Jatinegara terdengar dari kejauhan, karena kereta api mulai mendekati area stasiun tersebut.
"Kereta Api Gaya baru malam dari stasiun Pasar Turi Surabaya tujuan akhir Stasiun Gambir Jakarta pusat. Telah tiba di stasiun Jatinegara para penumpang yang akan turun dimohon bersiap," begitulah sekiranya suara yang terdengar dari pengeras suara yang terpasang di salah satu sudut stasiun Jatinegara.
"Mbak sudah sampai tujuan mu di stasiun Jatinegara ini tas mu," ucap Rudi sambil mengambilkan tas Moza yang ditaruh di rak tempat barang bawaan pas di atas mereka duduk.
"Makasih Dek Rudi semalam di kereta bersamamu sangat berkesan di hati Mbak terimakasih ya Dek sudah mau jadi teman Mbak di dalam kereta," kata Moza menerima tas dari tangan Rudi.
"Beneran loh Mbak tunggu di kosan Mbak kapanpun kau mau mampir ada nomor telepon mbak di kertas tadi," ucap Moza sebelum berpamitan.
"Siap Mbak," jawab Rudi tersenyum pada Moza.
"Yaudah sampai ketemu lain hari Dek Rudi," kata terakhir dari Moza seraya mengecup pipi Rudi tanda perpisahan seraya berlalu pergi menuju pintu gerbong hendak turun.
Rudi yang tak biasa menerima kecupan dari seorang wanita nampak mematung tertegun sambil terus melihat punggung Moza yang lama kelamaan menghilang melewati pintu gerbong bersama beberapa penumpang yang ikut turun di stasiun Jatinegara.